A. Pengertian Hadist Dha’if
Menurut bahasa, dha’if berarti ‘Aziz; yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.
Sedang menurut istilah,Ibnu Shanah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Laraqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalinat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup:
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya: Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadist hasan.”
Karena sesuatu tidak memenuhi syarat-syarat hadist hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.[1]
الحديث الضعيف هو الحد يث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولاصفات الحديث
Artinya : “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”[2]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
B. Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penilaian Perawi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian perawi dari segi :
a. Kebiasaannya mengambil hadits dari guru yang ثِقة [1] guru saja; atau [2] guru yang ضَعِفْ saja; atau [3] campur.
b. Gurunya banya atau sedikit.
c. Meriwayatkan banyak hadits apa sedikit.
d. Muridnya banyak apa sedikit
C. Perawi Ditinjau dari Segi Pujian (التعْدِيْلِ) dan Celaan (التَجْرِيْحِ) Para Ulama
Perawi ditinjau dari segi pujian (التعْدِيْلِ) dan celaan (التَجْرِيْحِ) para ulama terhadapnya dapat dibagi menjadi lima kelompok :
1. مَجْهُوْلٌ: perawinya yang haditsnya hanya diriwayatkan oleh satu saja (satu orang saja). Satu orang ini bukan termasuk pemuka-pemuka muhadditsun [minal-a’immah], bukan juga perawi yang terkenal hanya meriwayatkan hadits dari guru yang ثِقة dan tidak ada ulama yang menilai dirinya dari sisi اَلْجَرْحُ dan التَّعْدِيْل-nya. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang masuk dalam kategori ini pada prinsipnya tidak bisa diterima (مَرْدُوْدٌ).
2. مَسْثُوْرٌ : perawi yang haditsnya diriwayatkan oleh dua orang atau lebih. Orang ini bukan termasuk pemuka-pemuka muhadditsin [minal-a’immah], bukan juga perawi yang terkenal hanya meriwayatkan hadits dari guru yang ثِقة dan tidak ada ulama yang menilai dirinya dari sisi اَلْجَرْحُ dan التَّعْدِيْلnya. Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang masuk dalam kategori ini; pendapat mereka berkisar di antaraمَقْبُوْلٌ, مَرْدُوْدٌ danتَوَقُّفٌ hingga diketahui status اَلْجَرْحُ dan التَّعْدِيْل-nya.
3. مُتَّفَقٌ عَلَى تَوْثِيْقِه: Perawi yang ada ulama yang meniali dirinya dari sisi اَالْجَرْحِ dan اَلتَّعْدِلُ-nya dan para alim tersebut sepakat akan ke- ثِقة-annya. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang termasuk kategori ini pada prinsipnya bias diterima (مَقُبُوْلٌ).
4. مختلق فيه: Perawi yang ada ulama yang menilai dirinya dari sisi التَّعْدِيْلdan اَلْجَرْحِ nya berselisih pendapat dalam menilainya. Untuk mengetahui status yang tepat perawi yang termasuk kategori ini, harus dipelajari dulu perbedaan pendapat ulama tersebut dengan menggunakan kaidah -kaidah وَالتَّعْدِيْل عِلْمُ اَلْجَرْح; apabila indikasi pujian (التعْدِيْلُ) lebih kuat maka statusnya berada di bawah perawi yang masuk kategori مُتَّفَقٌ عَلَى تَضْعِيْفِه , namun apabila indikasi (اَلْجَرْح) lebih kuat maka statusnya berada di atas perawinya yang masuk kategori مُتَّفَقٌ عَلَى تَضْعِيْفِه dan status haditsnya juga berbeda-beda sesuai indikasi-indikasi yangada.
5. مُتَّفَقٌ عَلَى تَضْعِيْفِه : Perawi yang ada ulama yang manilai dirinya dari sisi اَلْجَرْح dan اَلتَّعْدِلُ-nya dan para alim tersebut sepakat akan kedho’ifannya. Hadits perawi yang termasuk kategori ini pada prinsipnya tidak bias diterima (مَرْدُوْدٌ).[4]
D. Pembagian Hadist Dha’if yang Rendah Kualitas Perawinya
1. Hadits Maudu’
Hadits maudu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw tapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa sengaja
Tanda-tanda kemaudhu’an hadits, terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Tanda-tanda pada sanad
1) Perawi itu terkenal pendusta dan haditsnya tidak diriwayatkan oleh seorang yang dapat dipercaya.
2) Pengakuan, perawi itu sendiri
3) Menurut sejarah mereka tidak mungkin bertemu.
4) Keadaan perawi-perawi sendiri, serta adanya dorngan membuat hadits.
b. Tanda-tanda pada matan
1) Buruk susunannya dan lafalnya (hal ini dapat diketahui sesudah mendalami ilmu bayan)
2) Rusak maknanya, disebabkan:
3) Menyalahi keterangan Al-Qur’an
4) Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal di masa Nabi Muhammad SAW.
5) Fanatik dengan mazhabnya
6) Menerangkan urusan yang menurut seharusnya, kalau ada di nukilkan oleh orang ramai.
7) Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang sangat kecil, atau siksaan yang sangat besar.[5]
Contoh:
قلوب بنى ادم تلين فى الشتاءوذلك لأ ن الله خلق ا دم من طين, والطين يلين
“Hai anak Adam, akan melunak pada musim dingin, karena Allah Swt menciptakan Adam dari tanah, dan tanah itu akan melembek ketika musim dingin.”
Hadits ini maudu’ telah dikeluarkan oleh Abu Na’im dalam al-Hidayah (V/216), dengan sanad dari Umar bin Yahya, dari Syu’bah al-Hajjaj, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma’dan, dari Mu’adz Ibnu Jabal, kemudian Abu Na’im berkata. “secara tunggal, yang memarfu’kan riwayat/sanad ini kepada Nabi Hanyalah Umar bin Yahya, padahal ia termasuk perawi sanad yang tidak dierima riwayatnya oleh jumhur ulama hadits.”
Sementara itu, adz-Dzahabi dalam mengutarakan biografi Umar bin Yahya menyatakan bahwa perawi sanad ini terbukti telah memberitakan berita maudhu’ (palsu).[6]
2. Hadits Matruk atau Hadits Matruh
Hadits Mantruk yaitu hadits yang diriwayatkan melaui hanya satu jalur yang di dalamnya terdapat seorang periwayat tertuduh pendusta, Basiq atau banyak lalai.
من فا م ليلتي العيدين محتسبا الله, لم يمت قل به يوم تموت القلوب
“Barang siapa menyemarakkan malam dua hari raya hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika hati manusia mati,”
Hadits ini sangat dho’if, telah dikeluarkan oleh Ibnu majah (1/542) dengan sanad dari Buqyah bin al-Walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamah r.a.
Sanad riwayat ini dho’if dikarenakan Buqyah dikenal sebagai orang yang suka mencampur aduk perawi, demikianlah yang inyatakan al-Hafizh al-Iraqi dalam Takhrij al Ihya-nya (1/328).
Menurut kami, bahkan Buqyah ini telah terbukti bayak meriwayatkan dari pendusta dan pemalsu, ia juga mengambil riwayat dari para perawi kuat yang kemudian olehnya dicampur adukkan, termasuk menghilangkan atau menambah perawi sanad yang ada. Salah satu diantaranya adalah riwayat ini.[7]
3. Hadits Dha’if
لن تهلك الرعيةوان كانت ظالمة مسيئةاذاكانت الو لاة هاديةمهرية, ولن تهلك الرعيةوان كا نت هادية مهدية اذا كا نت الو لا ة ظا لمة مسيئة
“Tidaklah rakyat akan binasa sekalipun zalim dan bejat moralnya, apabila para penguasanya membimbing dan terbimbing, dan tidaklah rakyat itu akan binasa apabila mereka membimbing dan terbimbing, meskipun para penguasanya zalim dan bejat moralnya.”
Hadits ini dho’if telah diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam fadhilatul-‘Adilin, dengan sanad dari Muhammad bin Hasan as Samti, dari Abu Athiyah, dari Ibnu Umar r.a.
Sanad ini dho’if dikarenakan as Samti ini, yang oleh sebagian pakar hadits dikatakan tsiqah, sedangkan oleh sebagian lain dnyatakan sebagai dho’if, diantara mereka ialah ad-Daruquthni yang menyatakan, “ia sebenarnya tsiqah (kuat dan dapat dipercaya) namun telah meriwayatkan dari para perawi sanad yang dho’if.”
Menurut kami, lebih dari itu, kelemahan riwayat ini juga terdapat pada guru as-Samti, yaitu Abdullah bin Zaid, yang oleh mayoritas (bahkan seluruh) ulama ahli hadits dinyatakan sebagai perawi dho’if.[8]
E. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Dha’if
1. Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-jauzi (579 H)
2. Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, karya Al-Hafiz Jalaludin Al-Suyuti (911 H)
3. Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah, karya Al-Hafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bin Iraq Al-Kannani (963 H)
4. Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (751 H)
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya lemah, dan menurut istilah adalah yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan.
Pembagian hadits dho’if yang rendah kualitas perawinya di bagi menjadi tiga, yaitu: hadits maudhu’, hadits matruk, dan hadits dho’if.
Dalam memahami hadits dho’if perlu diperhatikan dalam penilaian perawi, baik dari segi pujian (اَلتَّعْدِلُ) dan celaan (التَجْرِيْحِ).
[3]Arif Chasanul Muna, Qanuunul-Fikr Lidirasati U’lumul Hadits, h. 11
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 176
[6] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 16-17
Dengan adanya televisi, anak-anak akan jarang bermain. Mereka menjadi manusia-manusia yang individualis dan sendiri-sendiri, setiap kali ia merasa bosan, mereka tinggal memencet tombol kontrol dan langsung menemukan hiburan, dengan menonton televisi mereka seakan-akan tidak mempunyai pilihan lain karena tidak dibiasakan untuk mencari aktifitas, dan ini membuat anak tidak kreatif.
h. Merenggangkan hubungan antara keluarga
Kebanyakan anak-anak menonton televisi lebih dari 4 jam perhari, sehingga waktu untuk bercengkrama dengan keluarga terpotong.[7]
Beberapa upaya-upaya yang harus dilakukan untuk membantu agar anak memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri diantaranya:
- Penataan lingkungan fisik
- Penataan lingkungan sosial
- Penataan lingkungan pendidikan
- Dialog antara orang tua dengan anak
- Penataan suasana psikolog
- Penataan sosial budaya
- Perilaku orang tua saat bersama dengan anak
- Kontrol orang tua terhadap perilaku anak
- Nilai moral dijadikan dasar berperilaku orang tua kepada anak
Interpretai terhadap penataan lingkungan fisik bertujuan untuk menyingkap nilai-nilai moral yang diapresiasikan anak terhadap bantuan yang diberikan orang tua kepada anaknya agar memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Perilaku anak yang memiliki prioritas kantor orang tua adalah perilaku-perilaku dalam merealisaikan nilai-nilai moral dasar di samping nilai-nilai moral lainnya.
Dalam mengontrol, kontrol yang dilakukan bukanlah memaksa atau mengindoktrinisasi tetapi bersifat mengingatkan dan menyadarkan sehingga anak senantiasa berperilaku taat nilai moral walaupun orang tua mereka sedang tidak berada di dalam rumah.
Kontrol yang diberikan dengan penuh kasih sayang, asuh dan kebijakan menyebabkan rasa keterpaksaan yang dialami anak pada awalnya lambat laun berkembang menjadi kesadaran diri. Mereka akan menyadari bahwa apa yang dikontrol orangtuanya semata-mata dilakukan demi kebaikan dan kemaslahatan dirinya.[8]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
- Televisi merupakan sebuah media yang mempunyai peranan dalam kehidupan sehari-hari
- Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh acara televisi baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif
- Perlunya upaya-upaya orangtua dalam membentuk dan mengembangkan dasar-dasar kedisiplinan pada anak
- Terlepas dari pengaruh positif dan negatifnya televisi, pada intinya media televisi telah menjadi cermin budaya tontonan bagi pemirsa dalam era informasi komunikasi dan hiburan yang semakin berkembang pesat.
DAFTAR PUSTAKA
Mohayoni. Anak vs Media. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Sardjo, Drs. 1999. Psikologi Umum. Jawa Timur: PT. Gaoeda uana Indah.
Sochib, Moh., Drs. 1998. Pola Asuh Orang Tua. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Solehuddin, M.Sugeng 2007. Psikologi Perkembangan. Pekalongan: STAIN Press.
Wawan, Kuswandi, Drs. 1996. Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Yatimin, M. Abdullah, Drs. 2007. Studi Akhlak. Jakarta: Amzah.
[1] Mohayani, Anak vs Media, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo), h. 1
[2] Drs. Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), h. 100
[3] M. Sugeng Solehuddin, Psikologi Perkembangan, (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2007), h. 39
[4] Drs. Sardjo, Psikologi Umum, (Jawa Timur: PT. Gaoeda Buana Indah, 1999), h. 68
[5] Drs. M. Yatimin Abdullah, M.A., Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), h. 2-4
[6] Drs. Wawan Kuewandi, Komunikasi Massa, h.
[8] Dr. Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), h. 86
EmoticonEmoticon