Showing posts with label Filsafat Pendidikan Islam. Show all posts
Showing posts with label Filsafat Pendidikan Islam. Show all posts

November 14, 2022

Aksiologi




a.      Hakikat Aksiologi
Aksiologi adalah studi tentang nilai. Nilai adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan. Nilai yang dimaksud adalah:
1.     Nilai jasmani: nilai yang terdiri atas nilai hidup, nilai nikmat, dan nilai guna.
2.     Nilai rohani: nilai yang terdiri atas nilai intelek, nilai estetika, nilai etika, dan nilai religi.
Nilai – nilai di atas tersusun dalam suatu sistem yang berurutan, yaitu dari nilai hidup – nilai nikmat – nilai guna selanjutnya nilai intelek – nilai estetika – nilai etika – nilai religi.
Berikut ini akan dikemukakan contoh dari hal – hal yang mengandung nilai – nilai tersebut:
            1. Nilai hidup              : sehat-sakit, menelan-memuntahkan
            2. Nilai nikmat            : suka-duka, harum-busuk, manis-pahit
            3. Nilai guna                : Manfaat-mudarat, mengenakan-menanggalkan
            4. Nilai intelek             : cermat-ceroboh, cerdas-bebal
            5. Nilai estetika           : mulus-cacat, mekar-kuncup
            6. Nilai etika                : bakti-durhaka, jujur-curang
            7. Nilai religi               : mustahil-mungkin, meyakini-mencurigai.[1]

b.      Bentuk dan Tingkatan Nilai
Nilai merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan subyek manusia. Nilai – nilai yang ada itu bersifat obyektif dan instrisik yang telah diciptakan oleh Maha pencipta, bukan oleh manusia. Menurut Yinger, nilai bisa dilihat dengan tiga penampilan, antara lain:
1.     Nilai sebagai fakta watak
Nilai sebagai fakta watak menunjukkan bahwa sejauhmana seseorang bersedia menjadikan nilai sebagai pegangan dalam pembimbingan dan pengambilan keputusan.
2.     Nilai sebagai fakta kultural
Nilai sebagai fakta kultural menunjukkan bahwa nilai tersebut diterima dan dijadikan sebagai kriteria normatif dalam pengambilan keputusan oleh anggota masyarakat.
3.     Nilai sebagai konteks struktural
Nilai yang ada baik dari segi fakta, watak, maupun sebagai fakta kultural mampu memberikan dampaknya pada struktural sosial yang bersangkutan.
Namun pada dasarnya nilai – nilai tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Nilai formal, yaitu nilai yang tidak ada wujudnya, tetapi memiliki bentuk, lambang serta simbol – simbol. Nilai ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a)      Nilai sendiri, seperti sebutan bapak lurah bagi seorang yang memangku jabatan sebagai bapak lurah.
b)      Nilai turunan, seperti sebutan “Ibu lurah” bagi seorang yang menjadi istri pemangku jabatan lurah.
2.      Nilai material, yakni nilai yang terwujud dalam kenyataan pengalaman, rohani dan jasmani. Nilai ini terbagi atas dua macam, yaitu:
a)      Nilai rohani, terdiri dari nilai logika, misalkan cerita, nilai estetika; misalkan musik, berpakaian anggun, nilai etika; misalkan ramah, serakah, dan nilai religi; misalkan sangsi, syirik.
b)      Nilai jasmani atau nilai pancaindra, terdiri atas, nilai hidup misalkan bebas, berjuang, menindas, nilai nikmat; misalkan puas, nyaman, aman, dan nilai guna; misalkan nilai butuh, menunjang, peranan.[2]
Charles Morris menyebut nilai – nilai yang diucapkan oleh orang – orang namun tidak diaktualisasikan sebagai “nilai – nilai yang dipahami”. Sementara nilai – nilai yang diaktualisasikan disebutnya sebagai “nilai – nilai operatif”.[3]
c.       Sumber Nilai dalam Kehidupan Manusia
Sumber nilai yang berlaku dalam pranat kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
1.         Nilai ilahi
Nilai ilahi adalah yang dititahkan oleh Tuhan melalui para Rasul-Nya yang berbentuk takwa, iman, adil yang diabdikan dalam wahyu ilahi.
Religi merupakan sumber yang pertama dan utama bagi para penganutnya. Dari segi religi, mereka menyebarkan nilai – nilai agar diaktualisasikan dalam kehidupan sehari – hari.
Nilai ilahi tidak mengalami perubahan, nilai ilahi yang fundamental mengandung kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku pribadi dan selaku anggota masyarakat serta tidak cenderung untuk berubah mengikuti selera hawa nafsu manusia yang berubah – ubah sesuai dengan tuntunan perubahan sosial dan tuntunan individual.
2.         Nilai insani
Nilai insani yang tumbuh atas kesepakatan manusia hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai ini bersifat dinamis, sedangkan keberlakuannya dan kebenarannya relatif nisbi yang dibatasi oleh masyarakat dan waktu.[4]
  ANALISIS
Dari keterangan di atas, dapat diambil analisis, yaitu dalam sebuah nilai, merupakan suatu hal yang berarti bagi manusia. Karena manusia sebagai makhluk individual, juga sebagai makhluk sosial yang membutuhkan akan nilai. Dalam nilai itu sendiri, ada beberapa tingkatan, tergantung manusia itu sendiri mau pilih nilai yang mana.
KESIMPULAN
Aksiologi pada hakikatnya adalah konsepsi – konsepsi abstrak di dalam diri manusia atau masyarakat, mengenai hal – hal yang dianggap baik, benar dan hal – hal yang dianggap buruk dan salah.
Pendidikan pada tahap selanjutnya merupakan proses transformasi nilai, yang cenderung bersifat positif dan penuh makna kebaikan. Nilai selalu terserap dalam lapangan pendidikan. Pendidikan akan dapat menguji dan mengintegrasikan semua nilai di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak.
 PENUTUP
Demikian makalah Aksiologi ini kami buat, semoga isi dalam kandungan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kekurangan dalam makalah Aksiologi ini, itu merupakan suatu kekhilafan dari kami.

DAFTAR PUSTAKA


Khobir, Abdul. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Knight, George R. 2007. Filsfat Pendidikan. Penerjemah: Mahmud Arif. Yogyakarta: Gama Media
Syam, Mohammad Nor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsfat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional


[1] Tri Prasetya, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hal. 135-136.
[2] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 38-40.
[3] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Penerjemah: Dr. Mahmud Arif (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 48.
[4] Ibid., hal. 40-41.

Epistimologi


a.      Pengertian Epistimologi
Istilah epistimologi pertama kali dipakai oleh L.F. Ferier pada abad 19 di Institut of Metaphisics (1854). Epistimologi didefinisikan sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar – dasarnya serta realitas umu dari tuntutan pengetahuan sebenarnya.[1] Sedangkan secara etimologi, epistimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistimologi dapat diartikan sebagai teori, uraian tentang pengetahuan. Sedangkan dalam segi istilah epistimologi merupakan suatu cabang filsafat yang mengkaji secar mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan. Epistimolgi juga berarti cabang filsafat yang mempelajari soal watak, batas – batas dan berlakunya ilmu pengetahuan.
Dengan demikian epistimolgi atau teori tentang ilmu pengetahuan adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Epistiomologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang – cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber – sumbernya dan menetapkan batas – batasnya.[2]

b.      Jenis – jenis Ilmu Pengetahuan
Manusia berusaha mencari pengetahuan dan kebenaran, yang dapat diperolehnya melalui beberapa sumber antara lain sebagai berikut:
1.     Pengetahuan wahyu
Pengetahuan wahyu firman Allah yang berisi pengetahuan yang diturunkan kepada manusia pilihan, yaitu Nabi atau Rasul. Wahyu menyangkut berbagai aspek kehidupan khususnya hubungan manusia dengan Khalik yang disebut ibadah, juga hubungan manusia dengan sesama makhluk, yang disebut muamalah.[3] Kebenaran wahyu bersifat mutlak dan abadi. Pengetahuan wahyu bersifat eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar diri manusia.


2.     Pengetahuan intuitif
Pengetahuan intuitif diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri tatkala ia menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif ini muncul dalam diri manusia secara tiba – tiba dalam kesadaran diri manusia. Proses kerjanya, manusia itu tidak menyadarinya. Pengetahuan ini sebagai hasil dari penghayatan pribadi, sebagai hasil keunikan dan ekspresi individu, sehingga validitas pengetahuannya bersifat pribadi, dan memiliki watak yang tidak komunikatif, sehingga sulit untuk menlukiskan seseorang memilikinya atau tidak.
3.     Pengetahuan rasional
Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio atau akal semata, tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa – peristiwa faktual. Prinsip berpikir dengan menggunakan logika formal dan matematika murni menjadi paradigmanya, sehingga kebenarannya bersifat abstrak.
4.     Pengetahuan empiris
Pengetahuan empiris diperoleh melalui pengindraan dengan penglihatan, pendengaran, dan sentuhan indra – indra lainnya, sehingga kita memiliki konsep dunia di sekitar kita. Paradigma pengetahuan empiris adalah sains yang diuji dengan observasi atau ekperimental.
5.     Pengetahuan otoritas
Kita menerima pengetahuan itu benar bukan karena telah mengkroscekkan dengan keadaan yang ada di luar diri kita, melainkan telah dijamin otoritasnya di lapangan. Kita menerima pendapat orang lain karena ia pakar dibidangnya. Misalnya kita menerima pendapat tentang sesuatu dalam bidang tertentu dengan mengutip dari ensiklopedia.

c.       Pendekatan dan Metode Perolehan Ilmu Pengetahuan
Banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam perolehan ilmu pengetahuan, dan setiap pendekatan itu mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dan kekurangan yang ada tergantung kepada subjek yang menggunakannya.
Adapun pendekatan utnuk memperoleh ilmu pengetahuan antara lain:
1.      Skeptisme
Bagi aliran ini, tidak ada suatu cara yang sah untuk memperoleh ilmu pengetahuan, mengingat kemampuan pancaindra dan akal manusia terbatas.
2.      Aliran keraguan
Suatu aliran yang dalam perolehan ilmu pengetahuan berpangkal dari keraguan sebagai jembatan perantara menuju kepada kepastian.
3.      Empirisme
Cara pencarian ilmu pengetahuan melalui pancaindra, karena indra tersebut yang menjadi instrumen untuk menghubungkan ke alam.
4.      Rasionalisme
Suatu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan mengandalkan akal pikiran, karena akal dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.
5.      Aliran yang menggabungkan pendekatan empiris dan Rasionalisme
Menurut aliran ini cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan adalah dengan mengandalkan pikiran, karena akal dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.
6.      Intuisi
Suatu pendekatan dalam memperoleh ilmu pengetahuan dengan menggunakan daya jiwa.[4]
Kelemahan atau bahaya intuisi adalah bahwa ia tidak terwujud sebagai metode yang aman untuk memperoleh pengetahuan ketika digunakan sendirian. Ia mudah berjalan kesasar dan mungkin mengarah ke anggapan – anggapan yang absourd jika ia tidak dikontrol atau dicek dengan metode – metode untuk mengetahui lainnya. Pengetahuan intuitif, bagaimanapun, mempunyai kelebihan yang berbeda untuk bisa melompat melewati keterbatasan – keterbatasan pengalaman manusia.[5]
7.      Wahyu
Pendekatan ini bersifat metafisik dan bercirikan trasendental. Untuk itu, pendekatan ini harus disadari oleh kepercayaan.
           Sedangkan metode yang dapat digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan menurut Socrates dapat dilakukan melalui dialektik yang ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
1.         Dialektik artinya metode yang digunakan oleh dua orang atau lebih yang pro dan kontra atau memiliki perbedaan pendapat
2.         Konferensi adalah metode yang dilakukan dalam bentuk percakapan atau komunikasi lesan.
3.         Tentatif provisional adalah kebenaran yang dicari hanya bersifat sementara dan tidak mutlak, dan merupakan alternatif – alternatif yang terbuka untuk segala kemungkinan – kemungkinan
4.         Empiris Induktif artinya segala yang dibicarakan dan cara penyelesaiannya bersumber pada hal – hal yang bersifat empiris
5.         Konseptual artinya metode yang ditujukan untuk tercapainya pengetahuan, pengertian dan konsep – konsep yang lebih definitif daripada sebelumnya.[6]
  ANALISIS
Dari pembahasan di atas, dapat diambil analisis yaitu bahwa sebuah pengetahuan itu sangat penting bagi manusia. Di dalam menggali sebuah pengetahuan ada pilihan yang digunakan untuk menetapkan sebuah pengetahuan. Namun, tidak semua pilihan itu dapat digunakan, hanya sebagian saja yang dapat digunakan.

KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia ini dan untuk memperolehnya perlu dilakukan usaha dan kerja keras. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, ia akan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.


PENUTUP
Demikian makalah Epistimologi ini kami buat, semoga isi dalam kandungan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kekurangan dalam makalah aliran Epistimologi ini, itu merupakan suatu kekhilafan dari kami.

DAFTAR PUSTAKA


Idi, H. Jalaluddin dan Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media
Khobir, Abdul. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Knight, George R. 2007. Filsfat Pendidikan. Penerjemah: Mahmud Arif. Yogyakarta: Gama Media
Prasetya, Tri. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia


[1] H. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), hal.128.
[2] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 25-26.
[3] Tri Prasetya, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hal. 115.
[4] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 25-26-31.
[5] George R. Knight, Filsfat Pendidikan, Penerjemah: Mahmud Arif, (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal.40.
[6] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal.32.

Ontologi





a.      Hakikat Ontologi
Secara etimologi ontologi berasal dari bahasa Yunani “ethos” dan “logos” ethos adalah kata kerja dari einai artinya yang sedang berada, sedangkan logos berarti ilmu. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang ada. Atau dengan kata lain ontologi adalah bagian cabang filsafat yang membahas tentang hakikat hidup.[1] Ontologi berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya: apakah hakikat di balik alam nyata ini. Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi pancaindra kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk satu unsur, dua unsur, ataukah terdiri dari unsur yang banyak.[2]
Dapat ditarik suatu alur bahwa ontologi itu sebagai salah satu cabang dari filsafat yang ingin mencoba menemukan hakikat dari suatu yang ada, realitas merupakan bagian dari yang ada itu sendiri. Hakikat dari realitas adalah segala sesuatu yang mengitari kita. Sisi dari realitas merupakan esensi dan hakikat esensi adalah eksistensinya, yang akan berhenti setelah adanya ketetapan atau jawaban yang benar. Dapat dipahami bahwa hakikat ontolog adalah memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang realitas mengontrol pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpa adanya pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh jawaban darimana kita nantinya akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan menetapkan disiplin tentang masalah – masalah pokoknya.

b.      Scope Kajian Ontologi
Perhatian kita dalam pendidikan yang mengandung masalah – masalah filosof utama adalah ontologi yang merupakan studi tentang realitas yang tertinggi. Cakupan kajian ontologi meliputi yang ada (being) dan yang nyata (realitas) maupun esensi dan eksistensi. Hal ini karena realitas (yang nyata) merupakan bagian yang ada. Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.[3] Berikut ini akan dijelaskan scope kajian ontologi antara lain;
a.       Yang ada (being)
Apakah hakikat sesuatu yang ada itu diciptakan, atau ada dengan sendirinya. Jika diciptakan siapa yang menciptakan dan bagaimana proses berlangsungnya penciptaan tersebut dan jika ada dengan sendirinya apakah mungkin?
Dalam pengalaman hidup kita sehari – hari, tidak ada yang ada dengan sendirinya dan tidak ada yang ada secara kebetulan. Proses yang berjalan adalah mekanisme hukum alalm. Oleh sebab itu, tidak ada yang ada dan yang mengadakan dalam satu ada. Dengan kata lain tidak ada pencipta dan ciptaan, sebab dan akibat menyatu dalam ada yang satu dan berada dalam ruang dan waktu yang sama.
Pada prinsipnya ada itu ada dua, ada menciptakan dan ada yang diciptakan, ada yang menyebabkan dan ada yang diakibatkan.
b.      Yang nyata (Realitas)
Masalah realitas dapat dipahami dengan pernyataan bahwa nyata dan ada mempunyai pengertian serupa. Kata ada kita pandang sebagai keragaman yang spesifik dan prosedur ontologi yang pertama digunakan untuk membedakan apa yang sebenarnya nyata atau ada eksistensinya dari apa yang hanya nampaknya saja nyata. Sebagai contoh berikut: Sebuah tongkat itu lurus, menurut perasaan dan penglihatan kita, sebelum kita ceburkan ke dalam air. Tetapi setelah di dalam air menurut perasaan dan penglihatan kita ternyata tongkat tersebut bengkok. Kita ambil lagi tongkat tersebut, maka ternyata keadaan tongkat tersebut terlihat seperti biasa yaitu lurus.

c.       Esensi dan Eksistensi
Dalam setiap yang ada, baik yang nyata maupun yang tidak nyata selalu ada dua sisi di dalamnya, yaitu sisi esensi dan sisi eksistensi. Bagi yang ghaib, sisi yang nampak adalah eksistensi, sedangkan bagi yang ada yang konkret, sisi yang nampak bisa kedua – duanya, yaitu esensi dan eksistensi. Dalam kehidupan manusia, yang terpenting adalah eksistensinya, seperti kayu akan lebih bermakna ketika sebuah kayu mempunyai eksistensinya sebagai meja kursi. Eksistensi berada pada hubungan – hubungan yang bersifat konkret, baik vertikal maupun horizontal dan bersifat aktual dan eksistensi juga berorientasi pada masa kini dan masa depan, sedangkan esensi adalah kemasalaluan.

c.       Implikasi Ontologi dalam dunia Pendidikan
Implikasi ontologi secara nyata dapat dibuktikan di dunia pendidikan. Pada sebagian SMA, mata pelajaran yang berpokok  pangkal pada idea, seperti kesusastran umpamanya, masih dianggap oleh sebagian masyarakat mempunyai derajat lebih tinggi. Seluruh kurikulum berisi macam – macam mata pelajaran yang telah diatur dan ditettapkan secara hierarki. Di SMA terdapat pula mata pelajaran yang isinya mengandung idea dan konsep – konsep. Pada tingkatan Universitas, pandangan kaum idealis ini lebih jelas lagi penerapannya. Pengetahuan seni budaya adalah bidang studi yang mempersiapkan bahan pemikiran dan kebebasan berpikir. Bidang studi yang dianggap penting adalah mata kuliah yang bersifat teoritis, abstrak dan simbolis.
Selain itu pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama pendidikan. Sebab anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Anak – anak di sekolah atau masyarakat akan menghadapi realita, objek pengalaman, benda mati, sub human, dan human. Bagaimana asas – asas pandangan religius tentang adanya makhluk – makhluk yang berakhir dengan kematian. Bagaimana kehidupan dan kematian dapat dimengerti.
Dengan demikian anak – anak harus mendapat bimbimgan agar dapat memahami realita dunia yang nyata ini, sehingga diharapkan anak – anak mampu mengerti perubahan – perubahan didalam lingkungan hidupnya tentang nilai – nilai moral dan hukum. Daya pikir yang kritis akan sangat membantu pengertian tersebut. Kewajiban pendidik kaitannya dengan ontologis ini ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis pada anak.[4]
Implikasi pandangan ontologi terhadap pendidikan adalah bahwa dunia pengalaman manusia yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya alam raya dan isinya dalam arti sebagai pengalaman sehari – hari. Melainkan sebagai sesuatu yang tak terbatas realitas fisis, spiritual, yang tetap dan yang berubah – ubah. Juga hukum dan sistem kesemestaan yang melahirkan perwujudan harmoni dalam alam semesta, termasuk hukum dan tertib yang menentukan kehidupan manusia.[5]

ANALISIS
Analisis yang dapat diambil dalam materi di atas adalah pada kajian ontologi, seorang filosof berusaha ingin mencari apa yang ada di alam raya ini. Begitu juga para filosof juga memikirkan apa yang nyata dalam alam raya ini. Namun apabila hal ini dilakukan oleh orang awam, maka hasilnya akan membuang waktu saja dan tidak bermanfaat.
 KESIMPULAN
Ontologi adalah ilmu tentang yang ada dan realitas. Meninjau persoalan secara ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas dengan refleksi rasional serta analisis dan sintesis logis.
Cakupan kajian ontologi meliputi realitas yang ada dan yang nyata maupun esensi dan eksistensi. Hal ini karena realitas merupakan bagian yang ada.
Kurikulum merupakan inti dari pendidikan. Dalam muatan kurikulum sangat menekankan pentingnya pandangan filsafat pendidikan yang menyeluruh. Jangkauan maupun isi kurikulum diambilkan dari hal yang telah diketahui manusia dari nilai – nilai yang diperoleh dari alam semesta.
  PENUTUP
Demikian makalah ontologi ini kami buat, semoga isi dalam kandungan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kekurangan dalam makalah ontologi ini, itu merupakan suatu kekhilafan dari kami.



DAFTAR PUSTAKA

http://van88.wordpress.com/filsafat-dan-tujuan-pendidikan/
Idi, H. Jalaluddin dan Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media
Khobir, Abdul. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Syam, Mohammad Nor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsfat Kependidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional


[1] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 17-18.
[2] H. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), hal.83.
[3] http://van88.wordpress.com/filsafat-dan-tujuan-pendidikan/
[4] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 21-23.
[5] Mohammad Nor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsfat Kependidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hal. 32.

Pengertian dan Ruang Lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan


a.      Pengertian Filsafat Pendidikan
1.     Pengertian filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani: philosophia. Dari kata philosophia ini kemudian banyak diperoleh pengertian – pengertian filsafat, baik dari segi pengertiannya secara harfiah atau etimologi maupun dari segi kandungannya.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, filsafat berasal dari kata Yunani yang tersusun dari dua kata philein dalam arti cinta dan sophos dalam arti hikmat. Orang arab memindahkan kata philosophia dari bahasa Yunani ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan, tabiat susunan kata – kata Arab, yaitu falasafah dengan pola fa’lala, fa’lalah, dan fi’lal. Dengan demikian kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya menjadi falsafah atau filsaf.
Dari pengertian secara etimologi itu, ia memberikan definisi sebagai berikut:
-          Pengetahuan tentang hikmah
-          Pengetahuan tentang prinsip atau dasar  - dasar
-          Mencari kebenaran
-          Membahas dasar – dasar dari apa yang dibahas.[1]
2.     Pendidikan dan filsafat pendidikan
a)      Pendidikan
Menurut Herman H. Horne sebagaimana dikutip pendapatnya oleh Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses penyesuaian drii manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan manusia dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran dan tubuh anak. Bagian – bagian itu tidak boleh terpisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak yang kita didik sesuai dengan dunianya dan dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi – tingginya.[2]
b)      Filsafat pendidikan
Berbagai pengertian filsafat pendidikan telah dikemukakan para ahli. Menurut Al-Syaibany, filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai – nilai dan maklumat – maklumat yang diupayakan untuk mencapainya.
Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek – aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip – prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan – persoalan pendidikan secara praktis.[3]
b.      Ruang Lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan
1.  Sudut pandang filsafat
Pandangan kita terhadap filsafat harus positif dan konstruktif. Filsafat memang mempunyai hubungan dengan kehidupan manusia dan karena dari kehidupan itulah kita menggali filsafat. Jadi filsafat mempunyai dasar atau gejala dari persoalan.
a)      Objek materi filsafat terdiri dari 3 persoalan pokok
1)      Masalah Tuhan, yang sama sekali di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa
2)      Masalah alam yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa
3)      Masalah manusia yang juga belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.
b)      Objek formal filsafat: mencari keterangan sedalam – dalamnya, sampai ke akar persoalannya, sampai kepada sebab – sebab dan menganggapnya yang terakhir tentang objek materi filsafat, sepanjang kemungkinan yang ada pada akal budi manusia.
2.  Sikap manusia terhadap filsafat
Untuk memudahkan dalam peninjauan tentang filsafat pendidikan nantinya, terlebih dahulu akan diketahui bagaimana pandangan, pendirian dan atau sikap orang – orang terhadap filsafat sesuai dengan macam – mcam dan perbedaan pengertian mereka terhadap arti kata filsafat.
Macam – macam dan perbedaan pandangan tersebut digolongkan kepada:
a)      Pandangan yang berpendapat bahwa apabila mendengar kata filsafat maka terbayanglah dihadapan sesuatu yang ruwet dan sulit
b)      Pandangan yang bersifat skeptis yakni orang – orang yang berpendapat bahwa berfilsafat adalah suatu perbuatan yang tidak ada gunanya
c)      Pandangan yang bersifat negatif, karena mengartikan filsafat secara negatif.
d)     Golongan yang memandang dari sudut yang positif.
3.  Masalah pokok filsafat dan pendidikan
Ada tiga masalah pokok, yaitu:
a)      Realita
Mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada masalah kebenaran.
b)      Pengetahuan
Berusaha menjawab pertanyaan – pertanyaan seperti apa hak pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan itu, dan jenis – jenis pengetahuan.
c)      Nilai
Yang dipelajari oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi.[4]
 ANALISIS
Dari pembahasan di atas, dapat diambil analisis yaitu bahwa sebuah filsafat pendidikan sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan agar para siswa dapat menemukan realita, pengetahuan, dan nilai yang terkandung dalam suatu mata pelajaran. Sehingga dapat berkembang menjadi lebih baik.
 KESIMPULAN
Ilmu filsafat merupakan ilmu yang membuat manusia untuk berpikir dengan sungguh – sungguh sehingga menghasilkan suatu apa yang ia pikirkan dan dapat dijadikan dalam dunia pendidikan untuk menjadikan siswa agar dapat berpikir jernih.

 PENUTUP
Demikian makalah filsafat pendidikan ini kami buat, semoga isi dalam kandungan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kekurangan dalam makalah aliran filsafat pendidikan ini, itu merupakan suatu kekhilafan dari kami.



DAFTAR PUSTAKA


Idi, H. Jalaluddin dan Abdullah. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz Media
Khobir, Abdul. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Prasetya, Tri. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia


[1] Tri Prasetya, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hal. 9.
[2] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007), hal. 3.
[3] H. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), hal.19.
[4] Tri Prasetya, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hal. 32-36.

Aliran Eksistensialisme





I.          PENDAHULUAN

Dalam filsafat terdapat berbagai aliran,  seperti aliran Eksistensialisme Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat memiliki berbagai macam aliran, maka dalam filsafat pendidikan akan kita temukan juga berbagai macam aliran. Adapun aliran Eksistensialisme dalam filsafat pendidikan akan kita bahas pada makalah ini.

II.       PERMASALAHAN

Dari perkembangan pemikiran para filosof yang berbeda dalam menanggapi segala sesuatu, maka muncullah berbagai macam karakteristik pemikiran – pemikiran yang kemudian menjadi sebuah ciri khas dari seorang filosof sebagai hasil pemikiran tertinggi. Sejarah mencatat bahwa dalam pertumbuhan dan perkembangan filsafat terdapat berbagai macam perbedaan yang jelas dari masing – masing tokoh filsafat.
Begitu pula halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan atau aliran. Dimana sebuah pemikiran manusia tidak akan pernah final ketika memikirkan sesuatu yang masih mungkin bisa dipikirkan. Oleh sebab itu, dunia filsafat pendidikan pun mempunyai berbagai pandangan ataupun aliran yang berbeda.
Dalam hal ini, ada masalah – masalah dalam aliran Eksistensialisme, yaitu bagaimana latar belakang munculnya aliran Eksistensialisme, tokoh – tokoh aliran Eksistensialisme, dan aliran Eksistensialisme dengan pendidikan.

III.    PEMBAHASAN MASALAH
a.      Latar belakang
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filusuf yang memandang bahwa filsafat pada masa yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata eks yang berarti diluar dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret.
Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme ini saya kita ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya didalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan anatar manusia dengan lingkungan budayanya). [1]
b.       Tokoh – tokoh aliran Eksistensialisme
1.      Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2.      Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3.      Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
4.      Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda0benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5.      Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.[2]
c.       Aliran Eksistensialisme dengan Pendidikan
Kaitan Eksistensialisme yang tidak begitu lugas dan jelas tentang pendidikan, sebagaimana diungkapkan sebelumnya, janganlah dilihat sebagai kepuasan terhadap aliran – aliran. Sebaliknya, kalangan Eksistensialisme benar – benar “terganggu” akan apa yang mereka dapatkan pada kemapanan pendidikan. Mereka dengan segera menegaskan bahwa banyak dari apa yang disebut pendidikan sebenarnya tidaklah apa – apa kecuali propaganda yang digunakan untuk memikat audiens. Mereka juga mengungkapkan bahwa banyak dari apa yang dewasa ini dianggap pendidikan sejati adalah sesuatu yang membahayakan, karena ia menyiapkan peserta didik untuk konsumerisme atau menjadikannya sebagai tenaga penggerak dalam mesin teknologi industrial dan birokrasi modern. Bukan malah mengembangkan individualitas dan kreativitas, keluh kalangan eksistensialis, banyak pendidikan justru memusnahkan sifat – sifat kemanusiaan yang pokok tadi.
Van Cleve Morris berpendapat bahwa perhatian utama pandangan pendidikan kalangan Eksistensialisme adalah pada upaya membantu kedirian individu untuk samapi pada realisasi yang lebih utuh menyangkut preposisi berikut:
1.      Aku adalah subjek yang memilih, tidak bisa menghindari caraku menjalani hidup
2.      Aku adalah subjek yang bebas, sepenuhnya bebas untuk mencanangkan tujuan – tujuan kehidupanku sendiri
3.      Aku adalah subjek yang bertanggung jawab, secara pribadi mempertanggungjawabkan akan pilihan – pilihan bebasku karena hal itu terungkapkan dalam bagaimana aku menjalani kehidupanku.
Peran guru bagi kalangan Eksistensialisme tidaklah sebagaimana peran gurudalam paham tradisional. Guru Eksistensialisme bukanlah sosok yang melulu memperhatikan alih pengetahuan kognitif dan sosok yang mempunyai jawaban – jawaban benar tak terbantahkan. Ia kiranya lebih sebagai seseorang yang berkemauan membantu para subjek didik mengeksplorasi jawaban – jawaban yang mungkin.[3]
Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum Eksistensialisme menganjurkan pendidikan sebagai car membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar.[4]



IV.    ANALISIS
Dari penjelasan materi di atas, dapat diambil analisis sebagai berikut eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.

V.       KESIMPULAN
Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filusuf yang memandang bahwa filsafat pada masa yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia.

VI.    PENUTUP
Demikian makalah aliran Esensialisme ini kami buat, semoga isi dalam kandungan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kekurangan dalam makalah aliran Esensialisme ini, itu merupakan suatu kekhilafan dari kami.



DAFTAR PUSTAKA

"http://www.w3.org/1999/xhtml"><headprofile="http://gmpg.org/xfn/11">
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Knight, George R. 2007. Filsfat Pendidikan. Penerjemah: Mahmud Arif. Yogyakarta: Gama Media


[1] "http://www.w3.org/1999/xhtml"><headprofile="http://gmpg.org/xfn/11">
[2]"http://www.w3.org/1999/xhtml"><headprofile="http://gmpg.org/xfn/11">
[3] George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Penerjemah: Dr. Mahmud Arif (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 135-136.
[4] A. Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 106.