Showing posts with label Ulumul Hadits. Show all posts
Showing posts with label Ulumul Hadits. Show all posts

November 15, 2022

Takhrij

A.   Pengertian Takhrij
Secara etimologis takhrij (تَخْرِيجُ) berasal dari kata  kharaja (خَرَّج) yang berarti tampak atau jelas. Seperti : (خَرَّجَتِ السَّمَاءُ خُرُوْجًا) artinya langit tampak cerah setelah mendung.[1]
Secara terminologis takhrij menurut ahli hadits berarti bagaimana seseorang menyebutkan dalam kitab karangannya suatu hadits dengan sanadnya sendiri. Jadi, ketika dikatakan : (هَذَالحدِيْتُ اَخْرجَهُ فُلاَنٌ) maka itu artinya pengarang menyebut suatu hadits berikut sanadnya pada kitab yang dikarangnya. Para muhaditsin berpendapat bahwa kata ikhraj (اِخْرَجَ) memiliki arti sama dengan takhrij (تَخْرِجَ). Menurut Al- Qosimi bahwa kebanyakan para ualam setelah membawa suatu hadits mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh si Fulan,” Maksudnya dia (Fulan) menyebutkan haditsnya itu. Dalam pengertian ini si Fulan disebut mukharrij (pelaku takhrij), yaitu orang yang menyebutkan riwayat Hadits seperti Imam Bukhori.
Terhadap kalimat الْكِتَا بُ خَرَّ جَهُ فُلاَ نٌ وَا سْتَخْرَ جَهُ هَذَ para ahli berpendapat bahwa maksudnya adalah si Fulan menyebutkan hadits-hadits dengan sanad-sanad miliknya sendiri, dan dalam sanadnya bertemu dengan perawi dalam sanad pengarang kitab sebelumnya, baik pada pihak guru pengarang pertama atau di atasnya lagi.
Menurut pendapat yang lain lagi “takhrij” dalam kallimat خَرَّجَ اَحَا دِيْقَ كِتَابِ كَذَ berarti mengembalikan suatu hadits kepada ulama yang menyebutkannya dalam suatu hadits kepada ulama yang menyebutkannya dalam suatu ki9tab dengan memberikan penjelasan krtiteria-kriteria hukumnya. Pendapat demikian diantaranya menurut Al-Manawi. Lengkapnya pendapat beliau adalah menistbatkan hadits-hadits kepada para ulama hadits yang menyebutkan dalam kitab-kitab mereka, baik yang berupa jawami, sunad atau musnad-musnad. Pendapat Al-Manawi ini mengharuskan adanya kejelasan-kejelasan kriteria hukum hadits-hadits.[2]
Takhrij hadits sesuai dengan urutan-urutan pengertiannya tersebut berkembang melalui frase-frase sebagai berikut:
1.      Penyebutan hadits-hadits dengan sanadnya masing-masing. Terkadang pengarang menitikberatkan pada masalah sanad atau matannya.
2.      Penyebutan hadits-hadits dengan sanad milik sendiri yang berbeda dengan suatu kitab terdahulunya. Sanad-sanad pada kitab kedua ini menambah redaksi matan.
Setelah sunnah-sunnah Nabi terkumpul dalam kitab besar, pengertian takhrij berarti penitsbatan beserta penjelasan kriteria-kriteria hukum hadits-hadits tersebut.

B.    Tujuan Takhrij
Takhrij bertujuan menunjukkan sumber hadits-hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits-hadits tersebut.[3]

C.   Manfaat Takhrij
Diantara manfaat takhrij antara lain yaitu:
1.      Takhrij dapat memperkenalkan sumber hadits.
2.      Takhrij dapat menambah perbedaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang ada.
3.      Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad.
4.      Takhrij memperjelas hukum hadits dengan banyak meriwayatkannya itu.
5.      Dengan takhrij kita dapat mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
6.      Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang samar.
7.      Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya.
8.      Takhrij dapat menafikan pemakaian “An” dalam periwayatan hadits oleh seorang perawi mudallis.
9.      Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10.  Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya.
11.  Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak dapat dalam satu sanad.
12.  Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
13.  Takhrij dapat menghilangkan hukum “syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat pada suatu hadits.
14.  Takhrij dapat membedakan hadits yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
15.  Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.
16.  Takhrij dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
17.  Takhrij dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja.
18.  Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadits.
19.  Takhrij dapat menjelaskan masa dan tempat timbulnya hadits.
20.  Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya kesalahan percetakan dengan melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.[4]

D.   Contoh untuk Memperjelas Kegunaan Takhrij
Bunyi Hadits:
رُوِىَ عَنِ الْمُعِيْرَةِ بْنِ سُعْبَةَ قَالَ: وَضَاءْتُ النَّبِىَّ سَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى عَزْ وَةِ تَبُوْكَ فَمَسَعَ اَعْلَى الْخُنَيْنِ وَاَسْفَلَهُمَا
Bila kita menggunakan metode takhrij maka akan tampak hadits ini diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, dan Ibnu Majah. Setelah ditakhrij pada masing-masing kitab, maka hadits tersebut lengkapnya berbunyi:
1.      Menurut Imam Turmudzi:
حَدَّثَنَااَبُوْالوَلِيْدِ۷ لدِّمَشْقِيُّ |حَدَثَنَا ألوَلِدُبْنُ مُسْلِمٍ اَخْبَرَنَا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَ عَنْ رَحَا ءَبْنِ حَيْوَةَ عَنْ كَاتِبِ الْمُغِيْرَةِبْنِ شُعْبَةَ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مَسَحَ اَعْلَى الْخُفِّ وَاَسْفَلِهِ.
2.      Menurut Imam Abu Daud
حَدَّثَنَامُوْسى بْنُ مَرْوَانَ وَمَحْمُوْدَبْنُ حَا لِدٍ الدِّمَشْقِىُّ الْمَعْنَ قَا لاَحَدَّثَنَا الْوَلِيْدٌ-قَالَ مَحْمُوْدٌ-قَالَ اَخُبَرَ نَا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَعَنْ رَحَا ءَبْنِ حَيْوَةَ عَنْ كَا تِبِ الْمُغِيْرَةِبْنِ شُعْبَةَ عَنِ الْمُغِرَةِبْنِ سُعْبَةَ قَالَ وَضَا ءْتُ النَّبِىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ فَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
3.      Menurut Riwayat Imam Ibnu Majah
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ|ثَنَا الْوَلِيْدُبْنُ مُسْلِمٍ, ثَنَا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَ, عَنْ رَ حَاءَبْنِ حَيْوَةَ, عَنْ وَرَّا دٍ, كَا تِبِ الْمُغِيْرَةِبْنِ شُعْبَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ هَعْلَى الْخُفِّ وَاَسْفَلِهِ.
Dengan memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka kita dapat mengetahui:
1.      Hadits di atas diriwayatkan oleh tiga ulama hadits, yaitu: Imam Turmudzi, Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah.
2.      Pada riwayat Abu Daud terdapat nama perawi yang samar yaitu: Al-Walid riwayat Turmudzi dan riwayat Ibnu Majah menjelaskan nama yang sebenarnya, yaitu Al-Walid bin Muslim.
3.      Katib Mughirah tidak diketahui nama yang sebenarnya pada riwayat Abu Daud dan Turmudzi. Pada riwayat Ibnu Majah katib mughiroh yang dimaksud adalah Warrad. Menurut Ibnu Hazam, katib mughiroh adalah perawi yang tidak diketahui namanya. Ini karena Ibnu Hazam, mungkin tidak ingat bahwa ada riwayat Ibnu Majah yang menjelaskan nama sebenarnya. Warrad diriwayatkan oleh banyak ulama hadits. Ibnu Hibban mengelompokkannya pada kelompok tsiqat.
4.      Setelah Turmudzi meriwayatkan hadits ini adalah ma’lul, karena tidak seorangpun meriwayatkan hadits ini, beliau mengatakan bahwa, hadits ini adalah ma’lul, karena tidak seorangpun meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid selain Walid bin Muslim. Lalu beliau menanyakannya kepada Abu Zur’ah dan Imam Bukhori. Keduanya mengatakan, hadits ini tidak sahih, karena Ibnu Mubarok meriwayatkan dari Tsaur dari Roja’ bin Haywah, beliau berkata: “Jadi hadits ini mursal, karena mughiroh tidak disebut ini dalam sanad tersebut.”
5.      Setelah Abu Daud meriwayatkan hadits ini beliau berkata: “Yang saya ketahui bahwa Tsaur tidak mendengar hadits ini dari Roja’”
6.      Riwayat Abu Daud menjelaskan sejarah timbulnya hadits ini yaitu peperangan Tabuk.”
7.      Teks yang terdapat pada susunan riwayat Abu-Daud adalah berbunyi
فَمَسَحَ عْلَى الْخُفَّيْنِ وَاَ سْفَلِهِمَا. Setelah penulis teliti kembali melalui Sunan Turmudzi dan Sunan Ibnu Majah, penulis berkesimpulan terjadi kesalahan cetak pada teks Sunan Abu Daud. Yang tepat adalah berbunyi:
فَمَسَحَ اَعْلَى الْخُفَّيَيْنِ وَاَ سْفَلِهِمَا
Demikian sebagian kegunaan takhrij dan akan lebih banyak lagi kegunaan tersebut dengan melakukan komparasi hadits ini dari ketiga riwayat di atas dengan Sunan Al-Baihaqi dan kitab talkhis al-Habir karangan Ibnu Hajar.[5]

E.    Hal yang Mendasar dalam Takhrij
Mentakhrij matan suatu hadits berarti mengungkapkan perawi hadits tersebut dalam kitabnya disertai bab dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kitab tersebut.
Setelah mentakhrij suatu hadits hendaknya dapat menjelaskan sekitar hadits tersebut seluas mungkin, seperti tentang keshahihannya, ketersambungan sanadnya dan lain-lain. Ini tentunya dengan cara menyambungkan sanad-sanad yang ada.
Yang menjadi sasaran pokok mencari hadits adalah materinya. Dan hendaknya kita tidak terkecohkan oleh perbedaan lafal. Selama ada kesamaan sahabat dan kesamaan pengertian dalam susunan kalimatnya, tetap dinamakan hadits memang wajar jika ada perbedaan kata dan matan. Imam Zailai berkata: “Kewajiban seorang muhadits hanyalah membahas materi hadits dan meneliti perawi yang megeluarkannya. Adapun perbedaan lafal, tambahan atau pengurangan tidak banyak mempengaruhi.
Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa takhrij mengenalkan kitab-kitab induk hadits dengan segala seluk beluk hadits tersebut beserta metode yang dipakainya.
Tahrij tidaklah terbatas pada matan hadits akan tetapi mencakup :
-          Mentahrij matan hadits dari berbagai kitab induk
-          Mentahrij sanad-sanad hadits beserta biografi dan penilaian terhadap perawi
-          Mentahrij lafal-lafal yang asing
-          Mentahrij lokasi kejadian dalam hadits melalui kitab-kitab yang dikarang untuk itu
-          Mentahrij nama-nama karangan melalui kitab-kitab yang diperuntukkan bagi bidangnya.[6]

F.    Metode-Metode dalam Takhrij
Ada beberapa macam metode takhrij yaitu :
1.      Takhrij melalui lafal pertama matan hadits
Penggunaan metode ini tergantung dari lafal pertama matan hadits. Berarti metode ini juga mengkondisikasikan hadits-hadits yang lafal pertama dengan urutan huruf hijriyah. Setelah itu ia melihat huruf pertamanya melalui kitab-kitab takhrij yang disusun dengan metode ini, demikian pula huruf yang kedua dan seterusnya. Contoh : مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Langkah-langkah untuk dengan metode ini adalah :
a.       Lafal pertama dengan melakukannya pada bab (م)
b.      Kemudian mencari huruf kedua (nun) setelah (mim)
c.       Huruf-huruf selanjutnya adalah ghain (غ) lalu syin (س) serta nun(ن)
d.      Dan seterusnya, begitu juga dengan urutan huruf-huruf pada lafal matan.
Kelebihan dan kekurangan dalam metode ini. Dengan menggunakan metode ini kemungkinan besar kita dengan cepat menemukan hadits-hadits yang dimaksud. Hanya saja bila terdapat kelainan lafal pertama tersebut sedikitpun akan berakibat sulit menemukan hadits.
Ada beberapa kitab-kitab yang menggunakan metode ini antara lain: kitab al-Jami’ al-Shaghir, kitab Faidh al-Qadir, kitab al-Fath al-Kabir, dll.[7]
2.      Takhrij melalui Kata-kata dalam Matan hadits
Metode ini tergantung kepada kata-kata yang terdapat dalammatan hadits baik berupa isim atau fi’il. Para penyusun kitab-kitab takhrij hadits menitikberatkan peletakan hadits-haditsnya menurut lafal yang asing. Semakin asing suatu kata, maka pencarian hadits akan lebih mudah dan efisien. Contoh :
اِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِ يَيْنِ اَنْ بُؤْعَلَ
Sekalipun kata-kata yang dipergunakan dalam pencariannya dalam hadits di atas banyak, seperti يُؤْكَلَ, طَعَامِ, نَهى akan tetapi sangat dianjurkan mencarinya melalui kata  المُتَبَارِ بَيْنِkarena kata tersebut sangat jarang sekali adanya. Menurut penelitian kata تَبَارى  digunakan dalam kitab hadits yang sembilan, hanya dua kali.

Kelebihan metode ini :
-          Metode ini mempercepat pencarian hadits-hadits.
-          Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi hadits-haditsnya dalam beberapa kitab induk menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman.
-          Memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits
Kekurangan metode ini :
-          Keharusan memiliki kemampuan bahasa arab beserta perangkat ilmu-ilmunya yang memadai karena metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata-kata kuncinya kepada kata dasarnya.
-          Metode ini tidak menyebutkan perawinya dari kalangan sahabat yang menerima hadits dari Nabi Saw, mengharuskan kembali pada kitab-kitab aslinya setelah mentakhrijnya dengan kitab ini.
-          Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata yang lain.
Adapun kitab takhrij yang menggunakan metode ini, yaitu : kitab al-Mu’jam al-Mufahras, dll.[8]
3.      Takhrij melalui Perawi Hadits Pertama
Metode takhrij yang ketiga ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadits, baik dari kalangan sahabat bila sanad haditsnya bersambung kepada Nabi (mutasil), atau dari kalangan tabi;in bila hadits itu mursal. Sebagai langkah pertama kita harus mengetahui perawi pertama setiap hadits yang kita inginkan diantara hadits-hadits yang tertea di bawah perawi pertamanya itu. Jika sudah ditemukan, maka kita akan mengetahui pula ulama hadits yang meriwayatkannya.
Kelebihan metode ini antara lain :
-          Metode ini memperpendek masa proses takhrij dengan diperkenalkannya ulama hadits yang meriwayatkan beserta kitab-kitabnya.
-          Metode ketiga ini memberikan manfaat yang tidak sedikit, diantaranya memberikan kesempatan melakukan persanad, danjuga faedah-faedah lainnya yang disebutkan oleh para penyusun kitab takhrij dengan metode ini.
Kekurangan metode ini antara lain :
-          Metode ini dapat digunakan dengan baik tanpa pengetahuan terlebih dahulu perawi pertama hadits yang kita maksud
-          Terdapatnya kesulitan-kesulitan mencari hadits diantaranya yang tertea di bawah setiap perawi pertamanya.
Adapun kitab-kitab dengan metode ini, yaitu kitab-kitab al-Athraf, kitab-kitab Musnad.[9]
4.      Takhrij Menurut Tema Haidts
Takhrij denganmetode ini bersandar pada pengenalan teman hadits yang akan kita takhrij. Kerap kali suatu hadits memiliki teman lebih dari satu. Sikap kita terhadap hadits seperti ini mencarinya pada tema-teman yang dikandungnya. Contoh :
بُنِىَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى حَمْسٍ : شَهَادَةِ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّالله ُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَاِقَامِ الصَّلاَةِ وَاِيْتَاءِ الرَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَصَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً.
Hadits ini dicantumkan pada kitab iman, tauhid, sholat, zakat, puasa dan haji untuk itu, kita harus mencarinya dalam tema-teman tersebut.
Kelebihan metode ini, yaitu :
-          Metode tema hadis tidak membutuhkan pengetahuan-pengetahuan lain dari luar hadits.
-          Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits pada diri peneliti
-          Metode ini juga memperkenalkan pada peneliti maksud hadits yang dicarinya dan hadits yang senada dengannya.
Kekurangan metode ini, yaitu :
-          Terkadang kandungan hadits sulit disimpulkan
-          Terkadang pula pemahaman peneliti tidak sesuai dengan pemahaman penyusun kitab.[10]
Adapun kitab-kitab takhrij yang menggunakan metode ini antara lain : kitab Kanz al-‘Ummai, kitab Bulughul Marom, Kitab Nushub al-Raayah, dll
5.      Takhrij berdasarkan Status Hadits[11]
Metode kelima ini mengetengahkan suatu hal yang baru berkenaan dengan upaya para ulama yang telah menyusun kumpulan hadits-hadits yang berdasarkan status hadits. Kitab-kitab sejenis ini sangat membantu pencarian berdasarkan statusnya, seperti : hadits qudsi, hadits yang sudah masyhur, hadits mursal, dll.
Kelebihan metode ini, yaitu :
-          Dapat memudahkan proses takhrij, karena sebagian besar hadits-hadits yang dimuat dalam suatu karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadits sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit.
Kekurangan dalam metode ini, yaitu :
-          Hanya metode ini cakupannya sangat terbatas, karena sedikitnya hadits-hadits yang dimuat
Sistematika penulisan dalam metode ini :
Penulis sengaja mempersingkat pembicaraan sekitar metode ini mengingat hadits-hadits sekitar metode ini hanya sedikit.
Adapun kitab yang disusun dengan menggunakan metode ini yaitu kitab hadits mutawatir, seperti اَ ْلاَزْ هَارُالْمُتَنَا ثِرَةُ فِى اْلاَخْيَارِالْمُتَوَاتِرَةِ , karangan Sayuthi. Hadits mursal اَالْمَرَا سِيْل karangan Abu Daud, dll.

G.   Mencari Keberadaan hadits dalam Kitab kitab Hadits atas Hadits
اِنَّ مِنَ السَّرَف~ أَنْ تَأْكُلَ كُلَّ مَا اشُّتَهَبْتَ
Setelah hadits tersebut ditelusuri dengan menggunakan metode takhrij, maka ditemukan bahwa hadits tersebut tidak ditemukan dalam الحثتب الستة kecuali dalam سنن ابن ماجه  )w 209-272 H). selain itu juga ditemukan dalam :
1.      Kitab الجوع  karya ابن ابى الدليا (w. 281)
2.      Kitab المسند karya ابو سعلى الموصلى  (w. 307 H)
3.      Kitab المدرو مين karya ابن حبان (w. 354 H)
4.      Kitab الكامدفى ءالرخد karya ابن بلاى (w. 365 H)
5.      Kitab الأفراد karya الدار قطى (w. 385 H)
6.      Kitab الفرائد karya  المحلصابو طاهر
7.      Kitab حليه الأولياء karya ابو نعم الابوعاتى  (w. 430 H)
Semuanya melalui jalur sanad:
بقتبة بن الواليد حد ثنا يوسف بن ابى كثير عن نوج بن ذكوان عن الحسن عن انس بن مالك
Sebagaimana terlihat dalam struktur jaringan sanad
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jalur sanad hadits ini mulai dari  بقية بن الليد  adalah jalur sanad tunggal (عريب) meskipun perawi yang meriwayatkan dari بقيه بن الوليد banyak, namun hal itu tidak dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan kualitas sanad ini, karena perawi yang ضعف  (yaitu نوح بن ذاكوان  dan يوسف بن ابى كثر ) berada sebelum بقية بن الوالير dan semua  sanad yang ada melalui dua perawi yang ضعف tersebut.
Pendapat dan keterangan ulama mengenai hadits ini, ulama hadits telah meneliti dan menilai jalur sand ini, diantaranya adalah :
1.       ابن عدى (w. 365 H) dalam kitab الكامد mengatakan hadits-hadits ini termasuk hadits yang diriwayatkan dari الحسن dari ابس tidak terjaga (dari kekeliruan periwayatan)
2.       الدار قطى (w. 385 H) dalam kitab الافرد mengatakan بقيه  sendiri saja dalam meriwayatkan hadits ini dari يوسف dari نوح 
3.      ابو نعم  (w. 430 H) dari kitab حليه الأولبأ mengatakan ini adalah bentuk jalur sanad tunggal dari hadits riwayat الحسن  dan انس  yang saya ketahui hadits ini hanya diriwayatkan oleh  نوح  dari الحسن.
4.      الامام اليصير  (w. 480 H) dalam kitab مصباح الزجاجه mengatakan ini adalah sand yang dlo’if.
5.      السندي  Dalam شرح سنن لبن ماجه  mengatakan dalam kitab الزوائد dinyatakan bahwa sanad hadits ini adalah dlo’if sebab لوح بن ذكوان disepakati تضعيفه sebagai mana diterangkan sebelum ini. Dan  الدميرىmengatakan bahwa hadits ini adalah diantara hadits yang diingkari (kesahihannya) sebagaimana hadits yang sebelum ini.






BAB III
PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami buat tentang takhrij dan menghukumi hadits. Dapat disimpulkan bahwa takhrij merupakan penelusuran tentang matan hadits melalui kitab-kitab yang ada, seperti kitab takhribut tahdzib dan lain-lain. Dalam metode takhrij juga bisa melalui lafal pertama matan hadits, melalui kata-kata dalam hadits, melalui perawi hadits pertama, melalui teman hadits dna melalui status hadits.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Thohhah, Mahmud. 1995. Dasar-dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad. Searang: Dina Utama

Mahdi, Abu M.A. 1994. Metode Takhrij Hadits. Semarang: Dina Utama

Muna, Arif C. Qanul-Fikr Li Dirasati ‘Ulumil Hadits.


[1] Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode takhrij Hadits , (Semarang: 1994), h. 2.
[2] Ibid, h. 2-4
[3] Ibid, h. 4
[4] Ibid, h. 6
[5] Ibid, h. 6-9
[6] Ibid., h. 12
[7] Prof. Dr. Mahmud al-Thohban, Dasar-dasar Ilmu Takhrij (Semarang : Toha Putra, 1995), h. 55.
[8] Abu Muhammad Abdul Mahdi, op.cit., h. 60.
[9] Abu Muhammad Abdul Mahdi, op.cit., h. 78-79.
[10] Abu Muhammad Abdul Mandi, op.cit., h. 120.
[11] Abu Muhammad Abdul Mandi, op.cit., h. 194

Hadist Dha'if




A.    Pengertian Hadist Dha’if
Menurut bahasa, dha’if berarti ‘Aziz; yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.
Sedang menurut istilah,Ibnu Shanah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya: “Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Laraqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalinat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup:
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya: Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadist hasan.”
Karena sesuatu tidak memenuhi syarat-syarat hadist hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.[1]
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحد يث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولاصفات الحديث
Artinya : “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”[2]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan.



B.     Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penilaian Perawi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian perawi dari segi :
a.       Kebiasaannya mengambil hadits dari guru yang ثِقة [1] guru saja; atau [2] guru yang ضَعِفْ saja; atau [3] campur.
b.      Gurunya banya atau sedikit.
c.       Meriwayatkan banyak hadits apa sedikit.
d.      Muridnya banyak apa sedikit
e.       Sisi اَلْجَرْحُ dan التَّعْدِيْل-nya[3]

C.    Perawi Ditinjau dari Segi Pujian (التعْدِيْلِ) dan Celaan (التَجْرِيْحِ) Para Ulama
Perawi ditinjau dari segi pujian (التعْدِيْلِ) dan celaan (التَجْرِيْحِ) para ulama terhadapnya dapat dibagi menjadi lima kelompok :
1.       مَجْهُوْلٌ: perawinya yang haditsnya hanya diriwayatkan oleh satu saja (satu orang saja). Satu orang ini bukan termasuk pemuka-pemuka muhadditsun [minal-a’immah], bukan juga perawi yang terkenal hanya meriwayatkan hadits dari guru yang ثِقة dan tidak ada ulama yang menilai dirinya dari sisi اَلْجَرْحُ dan التَّعْدِيْل-nya. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang masuk dalam kategori ini pada prinsipnya tidak bisa diterima (مَرْدُوْدٌ).
2.      مَسْثُوْرٌ  : perawi yang haditsnya diriwayatkan oleh dua orang atau lebih. Orang ini bukan termasuk pemuka-pemuka muhadditsin [minal-a’immah], bukan juga perawi yang terkenal hanya meriwayatkan hadits dari guru yang ثِقة dan tidak ada ulama yang menilai dirinya dari sisi اَلْجَرْحُ dan التَّعْدِيْلnya. Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang masuk dalam kategori ini; pendapat mereka berkisar di antaraمَقْبُوْلٌ, مَرْدُوْدٌ danتَوَقُّفٌ  hingga diketahui status اَلْجَرْحُ dan التَّعْدِيْل-nya.
3.      مُتَّفَقٌ عَلَى تَوْثِيْقِه: Perawi yang ada ulama yang meniali dirinya dari sisi اَالْجَرْحِ dan اَلتَّعْدِلُ-nya dan para alim tersebut sepakat akan ke- ثِقة-annya. Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang termasuk kategori ini pada prinsipnya bias diterima (مَقُبُوْلٌ).
4.       مختلق فيه: Perawi yang ada ulama yang menilai dirinya dari sisi التَّعْدِيْلdan اَلْجَرْحِ nya berselisih pendapat dalam menilainya. Untuk mengetahui status yang tepat perawi yang termasuk kategori ini, harus dipelajari dulu perbedaan pendapat ulama tersebut dengan menggunakan kaidah -kaidah وَالتَّعْدِيْل   عِلْمُ اَلْجَرْح; apabila indikasi pujian (التعْدِيْلُ) lebih kuat   maka statusnya berada di bawah perawi yang masuk kategori مُتَّفَقٌ عَلَى تَضْعِيْفِه , namun apabila indikasi (اَلْجَرْح) lebih kuat maka statusnya berada di atas perawinya yang masuk kategori مُتَّفَقٌ عَلَى تَضْعِيْفِه dan status haditsnya juga berbeda-beda sesuai indikasi-indikasi yangada.
5.      مُتَّفَقٌ عَلَى تَضْعِيْفِه : Perawi yang ada ulama yang manilai dirinya dari sisi اَلْجَرْح dan اَلتَّعْدِلُ-nya dan para alim tersebut sepakat akan kedho’ifannya. Hadits perawi yang termasuk kategori ini pada prinsipnya tidak bias diterima (مَرْدُوْدٌ).[4]

D.    Pembagian Hadist Dha’if yang Rendah Kualitas Perawinya
1.      Hadits Maudu’
Hadits maudu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw tapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa sengaja
Tanda-tanda kemaudhu’an  hadits, terbagi menjadi 2, yaitu:
a.       Tanda-tanda pada sanad
1)      Perawi itu terkenal pendusta dan haditsnya tidak diriwayatkan oleh seorang yang dapat dipercaya.
2)      Pengakuan, perawi itu sendiri
3)      Menurut sejarah mereka tidak mungkin bertemu.
4)      Keadaan perawi-perawi sendiri, serta adanya dorngan membuat hadits.
b.      Tanda-tanda pada matan
1)      Buruk susunannya dan lafalnya (hal ini dapat diketahui sesudah mendalami ilmu bayan)
2)      Rusak maknanya, disebabkan:
3)      Menyalahi keterangan Al-Qur’an
4)      Menyalahi hakikat sejarah yang telah terkenal di masa Nabi Muhammad SAW.
5)      Fanatik dengan mazhabnya
6)      Menerangkan urusan yang menurut seharusnya, kalau ada di nukilkan oleh orang ramai.
7)      Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan yang sangat kecil, atau siksaan yang sangat besar.[5]
 Contoh:
قلوب بنى ادم تلين فى الشتاءوذلك لأ ن الله خلق ا دم من طين, والطين يلين  
“Hai anak Adam, akan melunak pada musim dingin, karena Allah Swt menciptakan Adam dari tanah, dan tanah itu akan melembek ketika musim dingin.”
Hadits ini maudu’ telah dikeluarkan oleh Abu Na’im dalam al-Hidayah (V/216), dengan sanad dari Umar bin Yahya, dari Syu’bah al-Hajjaj, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma’dan, dari Mu’adz Ibnu Jabal, kemudian Abu Na’im berkata. “secara tunggal, yang memarfu’kan riwayat/sanad ini kepada Nabi Hanyalah Umar bin Yahya, padahal ia termasuk perawi sanad yang tidak dierima riwayatnya oleh jumhur ulama hadits.”
Sementara itu, adz-Dzahabi dalam mengutarakan biografi Umar bin Yahya menyatakan bahwa perawi sanad ini terbukti telah memberitakan berita maudhu’ (palsu).[6]

2.      Hadits Matruk atau Hadits Matruh
Hadits Mantruk yaitu hadits yang diriwayatkan melaui hanya satu jalur yang di dalamnya terdapat seorang periwayat tertuduh pendusta, Basiq atau banyak lalai.
من فا م ليلتي العيدين محتسبا الله, لم يمت قل به يوم تموت القلوب
“Barang siapa menyemarakkan malam dua hari raya hanya semata-mata mengharapkan ridha Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari ketika hati manusia mati,”
Hadits ini sangat dho’if, telah dikeluarkan oleh Ibnu majah (1/542) dengan sanad dari Buqyah bin al-Walid, dari Tsur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamah r.a.
Sanad riwayat ini dho’if dikarenakan Buqyah dikenal sebagai orang yang suka mencampur aduk perawi, demikianlah yang inyatakan al-Hafizh al-Iraqi dalam Takhrij al Ihya-nya (1/328).
Menurut kami, bahkan Buqyah ini telah terbukti bayak meriwayatkan dari pendusta dan pemalsu, ia juga mengambil riwayat dari para perawi kuat yang kemudian olehnya dicampur adukkan, termasuk menghilangkan atau menambah perawi sanad yang ada. Salah satu diantaranya adalah riwayat ini.[7]
3.      Hadits Dha’if
لن تهلك الرعيةوان كانت ظالمة مسيئةاذاكانت الو لاة هاديةمهرية, ولن تهلك الرعيةوان كا نت هادية مهدية اذا كا نت الو لا ة ظا لمة مسيئة
“Tidaklah rakyat akan binasa sekalipun zalim dan bejat moralnya, apabila para penguasanya membimbing dan terbimbing, dan tidaklah rakyat itu akan binasa apabila mereka membimbing dan terbimbing, meskipun para penguasanya zalim dan bejat moralnya.”
Hadits ini dho’if telah diriwayatkan oleh Abu Na’im  dalam fadhilatul-‘Adilin, dengan sanad dari Muhammad bin Hasan as Samti, dari Abu Athiyah, dari Ibnu Umar r.a.
Sanad ini dho’if dikarenakan as Samti ini, yang oleh sebagian pakar hadits dikatakan tsiqah, sedangkan oleh sebagian lain dnyatakan sebagai dho’if, diantara mereka ialah ad-Daruquthni yang menyatakan, “ia sebenarnya tsiqah (kuat dan dapat dipercaya) namun telah meriwayatkan dari para perawi sanad yang dho’if.”
Menurut kami, lebih dari itu, kelemahan riwayat ini juga terdapat pada guru as-Samti, yaitu Abdullah bin Zaid, yang oleh mayoritas (bahkan seluruh) ulama ahli hadits dinyatakan sebagai perawi dho’if.[8]

E.     Kitab-kitab yang Memuat Hadits Dha’if
1.      Al-Maudu’at, karya Al-Imam Al-Hafiz Abul Faraj Abdur Rahman bin Al-jauzi (579 H)
2.      Al-Laali Al-Masnuah fi Al-Hadits Al-Mauduah, karya Al-Hafiz Jalaludin Al-Suyuti (911 H)
3.      Tanzih Al-Syariah Al-Marfuah An Al-Ahadits Al-Syaniah Al-Mauduah, karya Al-Hafizh Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Bin Iraq Al-Kannani (963 H)
4.      Al-Manar Al-Munif fi Shahih wa Al-Dafi, karya Al-Hafizh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (751 H)
5.      Al-Masnu fi Al-Hadits Al-Maudu’ karya Ali Al-Qari (1014 H)[9]

PENUTUP

Kesimpulan
Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya lemah, dan menurut istilah adalah yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan dan yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan.
Pembagian hadits dho’if yang rendah kualitas perawinya di bagi menjadi tiga, yaitu: hadits maudhu’, hadits matruk, dan hadits dho’if.
Dalam memahami hadits dho’if perlu diperhatikan dalam penilaian perawi, baik dari segi pujian (اَلتَّعْدِلُ) dan celaan (التَجْرِيْحِ).


[1] Moh. Anwar Br, Ilmu Mustalahul Hadits, (Surabaya: Al-Iklas, 1981), h. 112
[2] Muhammad Ahmad. M. Mudzakir, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 112
[3]Arif Chasanul Muna, Qanuunul-Fikr Lidirasati U’lumul Hadits, h. 11
[4] Ibid., h. 11-12
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 176
[6] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 16-17
[7] Ibid. h. 23-24
[8] Ibid. h.18-19
[9] H.M. Ahmad, dkk, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h. 208
Parag| �$C S ` �/$ tyle='margin-left:54.0pt;mso-add-space: auto;text-align:justify;text-indent:-18.0pt;line-height:150%;mso-list:l6 level1 lfo8'>g.      Mempengaruhi kreatifitas
Dengan adanya televisi, anak-anak akan jarang bermain. Mereka menjadi manusia-manusia yang individualis dan sendiri-sendiri, setiap kali ia merasa bosan, mereka tinggal memencet tombol kontrol dan langsung menemukan hiburan, dengan menonton televisi mereka seakan-akan tidak mempunyai pilihan lain karena tidak dibiasakan untuk mencari aktifitas, dan ini membuat anak tidak kreatif.
h.      Merenggangkan hubungan antara keluarga
Kebanyakan anak-anak menonton televisi lebih dari 4 jam perhari, sehingga waktu untuk bercengkrama dengan keluarga terpotong.[7]
Beberapa upaya-upaya yang harus dilakukan untuk membantu agar anak memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri diantaranya:

-       Penataan lingkungan fisik
-       Penataan lingkungan sosial
-       Penataan lingkungan pendidikan
-       Dialog antara orang tua dengan anak
-       Penataan suasana psikolog
-       Penataan sosial budaya
-       Perilaku orang tua saat bersama dengan anak
-       Kontrol orang tua terhadap perilaku anak
-       Nilai moral dijadikan dasar berperilaku orang tua kepada anak
Interpretai terhadap penataan lingkungan fisik bertujuan untuk menyingkap nilai-nilai moral yang diapresiasikan anak terhadap bantuan yang diberikan orang tua kepada anaknya agar memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Perilaku anak yang memiliki prioritas kantor orang tua adalah perilaku-perilaku dalam merealisaikan nilai-nilai moral dasar di samping nilai-nilai moral lainnya.
Dalam mengontrol, kontrol yang dilakukan bukanlah memaksa atau mengindoktrinisasi tetapi bersifat mengingatkan dan menyadarkan sehingga anak senantiasa berperilaku taat nilai moral walaupun orang tua mereka sedang tidak berada di dalam rumah.
Kontrol yang diberikan dengan penuh kasih sayang, asuh dan kebijakan menyebabkan rasa keterpaksaan yang dialami anak pada awalnya lambat laun berkembang menjadi kesadaran diri. Mereka akan menyadari bahwa apa yang dikontrol orangtuanya semata-mata dilakukan demi kebaikan dan kemaslahatan dirinya.[8]


KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
-          Televisi merupakan sebuah media yang mempunyai peranan dalam kehidupan sehari-hari
-          Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh acara televisi baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif
-          Perlunya upaya-upaya orangtua dalam membentuk dan mengembangkan dasar-dasar kedisiplinan pada anak
-          Terlepas dari pengaruh positif dan negatifnya televisi, pada intinya media televisi telah menjadi cermin budaya tontonan bagi pemirsa dalam era informasi komunikasi dan hiburan yang semakin berkembang pesat.




DAFTAR PUSTAKA

Mohayoni. Anak vs Media. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Sardjo, Drs. 1999. Psikologi Umum. Jawa Timur: PT. Gaoeda uana Indah.
Sochib, Moh., Drs. 1998. Pola Asuh Orang Tua. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Solehuddin, M.Sugeng 2007. Psikologi Perkembangan. Pekalongan: STAIN Press.
Wawan, Kuswandi, Drs. 1996. Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Yatimin, M. Abdullah, Drs. 2007. Studi Akhlak. Jakarta: Amzah.


[1] Mohayani, Anak  vs Media, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo), h. 1
[2] Drs. Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), h. 100
[3] M. Sugeng Solehuddin, Psikologi Perkembangan, (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2007), h. 39
[4] Drs. Sardjo, Psikologi Umum, (Jawa Timur: PT. Gaoeda Buana Indah, 1999), h. 68
[5] Drs. M. Yatimin Abdullah, M.A., Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), h. 2-4
[6] Drs. Wawan Kuewandi, Komunikasi Massa, h.
[8] Dr. Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), h. 86