Showing posts with label Keilmuan dan Keterampilan. Show all posts
Showing posts with label Keilmuan dan Keterampilan. Show all posts

November 15, 2022

Pemikiran Ibnu Rusyd

 

A.    Biografi Ibnu Rusyd

Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, di lahirkan di Cordova Andalusia pada tahun 510 H/1126 M. Ia lebh populer dengan sebutan Ibnu Rusyd, orang barat menyebutnya dengan nama Averrois.[1]

Ia berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia. Ia sendiri pernah menjadi hakim di Seville dan beberapa kota lain di Spanyol. Selanjutnya ia pernah pula menjadi dokter istana di Cordova, dan sebagai filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar dikalangan istana, terutama di zaman sultan Abu Yusuf  Ya’qub al-Mansur (1184-99M)[2]

Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghirahnya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melancarkan jalan baginya menjadi ilmuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai berbagai disiplin ilmu, sperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab, dan lainnya.

Suatu hal yang mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut ilmu Abrar, sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berfikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.[3]

Kesibukan Ibnu Rusyd sebagai pejabat negara, ketua Mahkamah Agung, Guru Besar, dan Dokter Islam, menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua tidak menghalanginya dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan.

Karirnya Ibnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar, memang saat permulaan pemerintahan kholifah Ya’qub Ibnu Yusuf, Ibnu Rusyd tetap menerima kehormatan. Akan tetapi tahun 1195 M, ia dituduh kafir, diadili dan dihukum di buang ke Lucena, dekat Cordova dan dicopot dalam segala jabatannya. Lebih dari itu, semua bukunya di bakar, kesuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni.

Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd tak berlangsung lama. Tahun 1197 M, kholifah mencabut hukumannya dan posisinya dirahabilitasi kembali. Namun Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut. Ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun.[4]

 

B.     Karya-Karya Ibnu Rusyd

 

Telah dikemukakan bahwa Ibnu rusyd seorang pengarang yang produktif. Namun amat disayangkan, karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada, sudah diterjemahkan kedalam bahas alatin dan Hebrew, bukan dalam bahasa aslinya.

Kendatipun demikian, sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang dapat kita temukan adalah sebagai berikut:[5]

1.      Bidayatul Mujtahid, berisi perbandingan madzhabi (aliran-aliran) dalam fiqih.

2.      Fashul-Maqal fi a baina al hikmati was-syari’at min al ittisal

3.      Manahij al adilah fi aqaidi ahl al millah

4.      Tahafut at tahafut.[6]

 

 

 

 

 

C.    FILSAFAT IBNU RUSYD

1.    Dalil Wujud Tuhan

Ibnu Rusyd menerangkan tentang dalil-dalil wujud Tuhan menurut syara’ yang meyakinkan, yaitu dalil Inayah dan Ikhtira, yang kedua-duanya terdapat dalam al-Qur’an.

Menurut penelitian Ibnu Rusyd, ayat-ayat al-Qur’an bisa dibagi dalam tiga golongan. Pertama, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil Inayah. Kedua, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil Ikhtira. Kertiga, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap kedua dalil tersebut bersama-sama.

Kedua dalil tersebut sesuai untuk orang-orang awam dan filosof dan bisa diterima oleh keduanya. Perbedaan antara keduanya hanya bersifat kualitatif saja.[7]

a.    Dalil Inayah

Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat sesuai dengan kehidupan manusia, persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukan adanya pencipta yang sangat bijaksana

b.    Dalil Ikhtira’

Termasuk dalam dalil ini adalah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi. Segala yang maujud di dalam ini adalah diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan.

c.    Dalil Harkah

Alam semesta ini bergerak dengan sesuatu gerakan yang abadi. Gerakan tersebut menunjukan adanya penggerak yang pertama yang tidak bergerak dan bukan benda yaitu Tuhan.[8]

 

2.    Tanggapan Terhadap Al-Ghozali

Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari Al Ghazali terhadap para filosof muslim, 3 butir diantaranya para filosof muslim dihukumnya kafir: kadimnya alam, Allah tidak megnetahui rincian di alam dan kebangkitan jasmani diakhirat tidak ada

a.    Alam Kadim

Menurut al Ghozali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog muslim alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof muslim, alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada.[9]

Pendapat Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada, didukung oleh beberapa ayat al-Qur’an, seperti pada surat Hud ayat 7:

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan arsy-Nya diatas air agar dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.”

Alam ini juga bersifat kekal dalam zaman yang akan datang, sebagaimana dapat disimpulkan dari surat Ibrahim ayat 47-48.

“ Karena itu janganlah sekali-kali kamumengira Allah akan menyalahi janjinya kepada raul-rasulnya. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit dan mereka semuanya (dipadang mahsyar) berkumpul menghadap kehadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”

Dengan berpegang pada ayat ini, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam ini betul diwujudkan, tetapi diwujudkan terus menerus. Dengan kata lain alam ini adalah kekal.[10]

 

b.    Allah tidak mengetahui rincian di alam

Ibnu Rusyd mengatakan bahwa al Ghozali salah paham, karena tidak pernah kaum filosof mengatakan demikian yang dikatakan kaum filosof, menurut Ibnu Rusyd adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.

c.    Kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada

Ibnu rusyd menuduh al Ghozali mengatakan hal-hal yang bertentangan. Dalam Tahafut al falasifah. Al Ghozali mengatakan bahwa tidak ada orang Islam yang mengatakan kebangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Keterangan ini, menurut ibnu Rusyd bertentangan dengan tulisan al Ghozali sendiri dalam buku lain, dalam buku itu al ghozali menyebut bahwa pembangkitan kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Oleh karena itu, tidak terdapat Ijma’ ulama tentang soal pembangkitan dihari kiamat. Dengan demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan jasmani, tidak ada tidaklah dapat dikafirkan.[11]

 

 

 



[1] Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),hlm. 221

[2] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:N.V. Bulan Bintang, 1983), hlm. 47

[3] Sirajuddin, op. cit.,hlm. 222

[4] Ibid., hlm. 223-224

[5] Ibid., hlm. 225

[6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: PT. Bulan bintang, 1996), hlm. 166

[7] Ibid., hlm. 170

[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 118

[9] Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof Dan Filsafatnya), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 225-226

 

[10] Op. Cit., hlm. 121-122

[11] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta:N.V. Bulan Biintang, 1983), hlm. 53-54


Pemikiran Al Gazali

 



A. RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI

Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali. Beliau dilahirkan disebuah kampung bernama Ghazala pada Tahun 450 H / 1059 M. Dan wafat di Tabristan wilayah provinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir Tahun 505 H atau 1 Desember 1111 M.  Al- Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya dengan mempelajari Dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan untuk berguru kepada Imam al-Haramain Abi Al-Ma’ali Al-Jawainy, seorang ulama yang bermazhab syafi’I yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur. Diantara ilmu yang dipelejari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, Filsafat, Logika, Sufisme dan ilmu-ilmu alam.

Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali pergi ke Al-Azhar untuk berkunjung kepada menteri Nizam al-Mulk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Menteri Nizam al-Mulk akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M sebagai guru besar (professor) pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad dan kemudian mengajar di sana selama empat tahun.

Pada tahun 488 H Al-Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dan kemudian setelah selesai mengerjakan haji, ia pergi ke Syiria untuk mengunjungi Baitul Maqdis , kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Pada saat itulah ia sempat mengarang sebuah kitab yang sampai saat ini kitab tersebut sangat terkenal  yaitu Ihya’ Ulumuddin. Ia tinggal di Damaskus selama kurang lebih 10 tahun dimana ia hidup dengan sederhana apa adanya.

Setelah Penulisan kitabnya selesai, ia kembali ke Baghdad untuk diminta mengajar kembali ke di Perguruan Nizamiyah, tetapi hanya berlangsung 2 tahun, dan akhirnya kembali ke kampong asalnya, Thus. Di kota Thus inilah akhirnya ia meninggal pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M.

Sesaat sebelum meninggal beliau sempat mengucapkan kata-kata yang juga diucapkan oleh Francis Bacon, filosuf Inggris, yaitu : “ kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi seutan dan buah bibir umat manusia di masa yang akan datang”.

Dalam sejarah Filsafat Islam mencatat bahwa Al-Ghazali pada mulanya dikenal sebagai orang yang ragu terhadap berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu yang dicapai melelui panca indera maupun akal pikiran. Dalam ilmu kalam (teologi) yang dipelejarinya dari Al-Juwaini ia mendapat keraguan, hal ini disebabkan karena dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan sehingga dapat membingungkan dalam menetapkan aliran mana yang betul-betul benar diantara semua aliran.

Sebagaimana dalam ilmu kalam, dalam filsafatpun Al-Ghazali meragukannya karena dalam filsafat dijumpai argument-argumen yang tidak kuat dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga ia menentang Filsafat. Al-Ghazali tidak hanya menentang pengetahuan yang dihasilkan akal pikiran tetapi ia juga menentang pengetahuan yang dihasilkan panca indera.  Karena menurutnya panca indera tidak dapat dipercaya yang mengandung kedustaan. Setelah tidak percaya pada kebenaran akal dan panca indera, lalu Al-Ghazali menempuh hidup tasawuf dan dalam tasawuflah ia merasa memperoleh kebenaran yang dicarinya.

  1. TIGA PERSOALAN METAFISIKA YANG BERLAWANAN DENGAN ISLAM

Ada pemikiran tentang filsafat Islam yang menurut Al-ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosuf harus dinyatakan sebagai orang ateis ialah:

1)      Qadimnya alam,

2)      Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal peristiwa-peristiwa kecil,dan

3)      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani

Qadimnya alam

Filosuf-filosuf mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya illat atas ma’lulnya, yaitu dari segi zat dan tingkatan , bukan dari segi zaman. Berikut adalah alas an=alas an mereka dan jawaban Al-Ghazali.


 


 


 


 


 


DAFTAR PUSTAKA

 

Leaman, Oliver. 1989. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : Rajawali

Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang

Nasution, Harun. 1998. Islam Rasional. Bandung : Mizan

Madkour, Ibrohim. 1996. Filsafat Islam Metode dan Penerapan. Jakarta : PT Raja       Grafindo Persada

Mustafa, H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung : C.V. Pustaka Setia

Takhrij

A.   Pengertian Takhrij
Secara etimologis takhrij (تَخْرِيجُ) berasal dari kata  kharaja (خَرَّج) yang berarti tampak atau jelas. Seperti : (خَرَّجَتِ السَّمَاءُ خُرُوْجًا) artinya langit tampak cerah setelah mendung.[1]
Secara terminologis takhrij menurut ahli hadits berarti bagaimana seseorang menyebutkan dalam kitab karangannya suatu hadits dengan sanadnya sendiri. Jadi, ketika dikatakan : (هَذَالحدِيْتُ اَخْرجَهُ فُلاَنٌ) maka itu artinya pengarang menyebut suatu hadits berikut sanadnya pada kitab yang dikarangnya. Para muhaditsin berpendapat bahwa kata ikhraj (اِخْرَجَ) memiliki arti sama dengan takhrij (تَخْرِجَ). Menurut Al- Qosimi bahwa kebanyakan para ualam setelah membawa suatu hadits mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh si Fulan,” Maksudnya dia (Fulan) menyebutkan haditsnya itu. Dalam pengertian ini si Fulan disebut mukharrij (pelaku takhrij), yaitu orang yang menyebutkan riwayat Hadits seperti Imam Bukhori.
Terhadap kalimat الْكِتَا بُ خَرَّ جَهُ فُلاَ نٌ وَا سْتَخْرَ جَهُ هَذَ para ahli berpendapat bahwa maksudnya adalah si Fulan menyebutkan hadits-hadits dengan sanad-sanad miliknya sendiri, dan dalam sanadnya bertemu dengan perawi dalam sanad pengarang kitab sebelumnya, baik pada pihak guru pengarang pertama atau di atasnya lagi.
Menurut pendapat yang lain lagi “takhrij” dalam kallimat خَرَّجَ اَحَا دِيْقَ كِتَابِ كَذَ berarti mengembalikan suatu hadits kepada ulama yang menyebutkannya dalam suatu hadits kepada ulama yang menyebutkannya dalam suatu ki9tab dengan memberikan penjelasan krtiteria-kriteria hukumnya. Pendapat demikian diantaranya menurut Al-Manawi. Lengkapnya pendapat beliau adalah menistbatkan hadits-hadits kepada para ulama hadits yang menyebutkan dalam kitab-kitab mereka, baik yang berupa jawami, sunad atau musnad-musnad. Pendapat Al-Manawi ini mengharuskan adanya kejelasan-kejelasan kriteria hukum hadits-hadits.[2]
Takhrij hadits sesuai dengan urutan-urutan pengertiannya tersebut berkembang melalui frase-frase sebagai berikut:
1.      Penyebutan hadits-hadits dengan sanadnya masing-masing. Terkadang pengarang menitikberatkan pada masalah sanad atau matannya.
2.      Penyebutan hadits-hadits dengan sanad milik sendiri yang berbeda dengan suatu kitab terdahulunya. Sanad-sanad pada kitab kedua ini menambah redaksi matan.
Setelah sunnah-sunnah Nabi terkumpul dalam kitab besar, pengertian takhrij berarti penitsbatan beserta penjelasan kriteria-kriteria hukum hadits-hadits tersebut.

B.    Tujuan Takhrij
Takhrij bertujuan menunjukkan sumber hadits-hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits-hadits tersebut.[3]

C.   Manfaat Takhrij
Diantara manfaat takhrij antara lain yaitu:
1.      Takhrij dapat memperkenalkan sumber hadits.
2.      Takhrij dapat menambah perbedaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang ada.
3.      Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad.
4.      Takhrij memperjelas hukum hadits dengan banyak meriwayatkannya itu.
5.      Dengan takhrij kita dapat mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
6.      Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang samar.
7.      Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya.
8.      Takhrij dapat menafikan pemakaian “An” dalam periwayatan hadits oleh seorang perawi mudallis.
9.      Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10.  Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya.
11.  Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak dapat dalam satu sanad.
12.  Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
13.  Takhrij dapat menghilangkan hukum “syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat pada suatu hadits.
14.  Takhrij dapat membedakan hadits yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
15.  Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.
16.  Takhrij dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
17.  Takhrij dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja.
18.  Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadits.
19.  Takhrij dapat menjelaskan masa dan tempat timbulnya hadits.
20.  Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya kesalahan percetakan dengan melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.[4]

D.   Contoh untuk Memperjelas Kegunaan Takhrij
Bunyi Hadits:
رُوِىَ عَنِ الْمُعِيْرَةِ بْنِ سُعْبَةَ قَالَ: وَضَاءْتُ النَّبِىَّ سَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى عَزْ وَةِ تَبُوْكَ فَمَسَعَ اَعْلَى الْخُنَيْنِ وَاَسْفَلَهُمَا
Bila kita menggunakan metode takhrij maka akan tampak hadits ini diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, dan Ibnu Majah. Setelah ditakhrij pada masing-masing kitab, maka hadits tersebut lengkapnya berbunyi:
1.      Menurut Imam Turmudzi:
حَدَّثَنَااَبُوْالوَلِيْدِ۷ لدِّمَشْقِيُّ |حَدَثَنَا ألوَلِدُبْنُ مُسْلِمٍ اَخْبَرَنَا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَ عَنْ رَحَا ءَبْنِ حَيْوَةَ عَنْ كَاتِبِ الْمُغِيْرَةِبْنِ شُعْبَةَ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم مَسَحَ اَعْلَى الْخُفِّ وَاَسْفَلِهِ.
2.      Menurut Imam Abu Daud
حَدَّثَنَامُوْسى بْنُ مَرْوَانَ وَمَحْمُوْدَبْنُ حَا لِدٍ الدِّمَشْقِىُّ الْمَعْنَ قَا لاَحَدَّثَنَا الْوَلِيْدٌ-قَالَ مَحْمُوْدٌ-قَالَ اَخُبَرَ نَا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَعَنْ رَحَا ءَبْنِ حَيْوَةَ عَنْ كَا تِبِ الْمُغِيْرَةِبْنِ شُعْبَةَ عَنِ الْمُغِرَةِبْنِ سُعْبَةَ قَالَ وَضَا ءْتُ النَّبِىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ فَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
3.      Menurut Riwayat Imam Ibnu Majah
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ|ثَنَا الْوَلِيْدُبْنُ مُسْلِمٍ, ثَنَا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَ, عَنْ رَ حَاءَبْنِ حَيْوَةَ, عَنْ وَرَّا دٍ, كَا تِبِ الْمُغِيْرَةِبْنِ شُعْبَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ هَعْلَى الْخُفِّ وَاَسْفَلِهِ.
Dengan memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka kita dapat mengetahui:
1.      Hadits di atas diriwayatkan oleh tiga ulama hadits, yaitu: Imam Turmudzi, Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah.
2.      Pada riwayat Abu Daud terdapat nama perawi yang samar yaitu: Al-Walid riwayat Turmudzi dan riwayat Ibnu Majah menjelaskan nama yang sebenarnya, yaitu Al-Walid bin Muslim.
3.      Katib Mughirah tidak diketahui nama yang sebenarnya pada riwayat Abu Daud dan Turmudzi. Pada riwayat Ibnu Majah katib mughiroh yang dimaksud adalah Warrad. Menurut Ibnu Hazam, katib mughiroh adalah perawi yang tidak diketahui namanya. Ini karena Ibnu Hazam, mungkin tidak ingat bahwa ada riwayat Ibnu Majah yang menjelaskan nama sebenarnya. Warrad diriwayatkan oleh banyak ulama hadits. Ibnu Hibban mengelompokkannya pada kelompok tsiqat.
4.      Setelah Turmudzi meriwayatkan hadits ini adalah ma’lul, karena tidak seorangpun meriwayatkan hadits ini, beliau mengatakan bahwa, hadits ini adalah ma’lul, karena tidak seorangpun meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid selain Walid bin Muslim. Lalu beliau menanyakannya kepada Abu Zur’ah dan Imam Bukhori. Keduanya mengatakan, hadits ini tidak sahih, karena Ibnu Mubarok meriwayatkan dari Tsaur dari Roja’ bin Haywah, beliau berkata: “Jadi hadits ini mursal, karena mughiroh tidak disebut ini dalam sanad tersebut.”
5.      Setelah Abu Daud meriwayatkan hadits ini beliau berkata: “Yang saya ketahui bahwa Tsaur tidak mendengar hadits ini dari Roja’”
6.      Riwayat Abu Daud menjelaskan sejarah timbulnya hadits ini yaitu peperangan Tabuk.”
7.      Teks yang terdapat pada susunan riwayat Abu-Daud adalah berbunyi
فَمَسَحَ عْلَى الْخُفَّيْنِ وَاَ سْفَلِهِمَا. Setelah penulis teliti kembali melalui Sunan Turmudzi dan Sunan Ibnu Majah, penulis berkesimpulan terjadi kesalahan cetak pada teks Sunan Abu Daud. Yang tepat adalah berbunyi:
فَمَسَحَ اَعْلَى الْخُفَّيَيْنِ وَاَ سْفَلِهِمَا
Demikian sebagian kegunaan takhrij dan akan lebih banyak lagi kegunaan tersebut dengan melakukan komparasi hadits ini dari ketiga riwayat di atas dengan Sunan Al-Baihaqi dan kitab talkhis al-Habir karangan Ibnu Hajar.[5]

E.    Hal yang Mendasar dalam Takhrij
Mentakhrij matan suatu hadits berarti mengungkapkan perawi hadits tersebut dalam kitabnya disertai bab dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kitab tersebut.
Setelah mentakhrij suatu hadits hendaknya dapat menjelaskan sekitar hadits tersebut seluas mungkin, seperti tentang keshahihannya, ketersambungan sanadnya dan lain-lain. Ini tentunya dengan cara menyambungkan sanad-sanad yang ada.
Yang menjadi sasaran pokok mencari hadits adalah materinya. Dan hendaknya kita tidak terkecohkan oleh perbedaan lafal. Selama ada kesamaan sahabat dan kesamaan pengertian dalam susunan kalimatnya, tetap dinamakan hadits memang wajar jika ada perbedaan kata dan matan. Imam Zailai berkata: “Kewajiban seorang muhadits hanyalah membahas materi hadits dan meneliti perawi yang megeluarkannya. Adapun perbedaan lafal, tambahan atau pengurangan tidak banyak mempengaruhi.
Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa takhrij mengenalkan kitab-kitab induk hadits dengan segala seluk beluk hadits tersebut beserta metode yang dipakainya.
Tahrij tidaklah terbatas pada matan hadits akan tetapi mencakup :
-          Mentahrij matan hadits dari berbagai kitab induk
-          Mentahrij sanad-sanad hadits beserta biografi dan penilaian terhadap perawi
-          Mentahrij lafal-lafal yang asing
-          Mentahrij lokasi kejadian dalam hadits melalui kitab-kitab yang dikarang untuk itu
-          Mentahrij nama-nama karangan melalui kitab-kitab yang diperuntukkan bagi bidangnya.[6]

F.    Metode-Metode dalam Takhrij
Ada beberapa macam metode takhrij yaitu :
1.      Takhrij melalui lafal pertama matan hadits
Penggunaan metode ini tergantung dari lafal pertama matan hadits. Berarti metode ini juga mengkondisikasikan hadits-hadits yang lafal pertama dengan urutan huruf hijriyah. Setelah itu ia melihat huruf pertamanya melalui kitab-kitab takhrij yang disusun dengan metode ini, demikian pula huruf yang kedua dan seterusnya. Contoh : مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Langkah-langkah untuk dengan metode ini adalah :
a.       Lafal pertama dengan melakukannya pada bab (م)
b.      Kemudian mencari huruf kedua (nun) setelah (mim)
c.       Huruf-huruf selanjutnya adalah ghain (غ) lalu syin (س) serta nun(ن)
d.      Dan seterusnya, begitu juga dengan urutan huruf-huruf pada lafal matan.
Kelebihan dan kekurangan dalam metode ini. Dengan menggunakan metode ini kemungkinan besar kita dengan cepat menemukan hadits-hadits yang dimaksud. Hanya saja bila terdapat kelainan lafal pertama tersebut sedikitpun akan berakibat sulit menemukan hadits.
Ada beberapa kitab-kitab yang menggunakan metode ini antara lain: kitab al-Jami’ al-Shaghir, kitab Faidh al-Qadir, kitab al-Fath al-Kabir, dll.[7]
2.      Takhrij melalui Kata-kata dalam Matan hadits
Metode ini tergantung kepada kata-kata yang terdapat dalammatan hadits baik berupa isim atau fi’il. Para penyusun kitab-kitab takhrij hadits menitikberatkan peletakan hadits-haditsnya menurut lafal yang asing. Semakin asing suatu kata, maka pencarian hadits akan lebih mudah dan efisien. Contoh :
اِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِ يَيْنِ اَنْ بُؤْعَلَ
Sekalipun kata-kata yang dipergunakan dalam pencariannya dalam hadits di atas banyak, seperti يُؤْكَلَ, طَعَامِ, نَهى akan tetapi sangat dianjurkan mencarinya melalui kata  المُتَبَارِ بَيْنِkarena kata tersebut sangat jarang sekali adanya. Menurut penelitian kata تَبَارى  digunakan dalam kitab hadits yang sembilan, hanya dua kali.

Kelebihan metode ini :
-          Metode ini mempercepat pencarian hadits-hadits.
-          Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi hadits-haditsnya dalam beberapa kitab induk menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman.
-          Memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits
Kekurangan metode ini :
-          Keharusan memiliki kemampuan bahasa arab beserta perangkat ilmu-ilmunya yang memadai karena metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata-kata kuncinya kepada kata dasarnya.
-          Metode ini tidak menyebutkan perawinya dari kalangan sahabat yang menerima hadits dari Nabi Saw, mengharuskan kembali pada kitab-kitab aslinya setelah mentakhrijnya dengan kitab ini.
-          Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata yang lain.
Adapun kitab takhrij yang menggunakan metode ini, yaitu : kitab al-Mu’jam al-Mufahras, dll.[8]
3.      Takhrij melalui Perawi Hadits Pertama
Metode takhrij yang ketiga ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadits, baik dari kalangan sahabat bila sanad haditsnya bersambung kepada Nabi (mutasil), atau dari kalangan tabi;in bila hadits itu mursal. Sebagai langkah pertama kita harus mengetahui perawi pertama setiap hadits yang kita inginkan diantara hadits-hadits yang tertea di bawah perawi pertamanya itu. Jika sudah ditemukan, maka kita akan mengetahui pula ulama hadits yang meriwayatkannya.
Kelebihan metode ini antara lain :
-          Metode ini memperpendek masa proses takhrij dengan diperkenalkannya ulama hadits yang meriwayatkan beserta kitab-kitabnya.
-          Metode ketiga ini memberikan manfaat yang tidak sedikit, diantaranya memberikan kesempatan melakukan persanad, danjuga faedah-faedah lainnya yang disebutkan oleh para penyusun kitab takhrij dengan metode ini.
Kekurangan metode ini antara lain :
-          Metode ini dapat digunakan dengan baik tanpa pengetahuan terlebih dahulu perawi pertama hadits yang kita maksud
-          Terdapatnya kesulitan-kesulitan mencari hadits diantaranya yang tertea di bawah setiap perawi pertamanya.
Adapun kitab-kitab dengan metode ini, yaitu kitab-kitab al-Athraf, kitab-kitab Musnad.[9]
4.      Takhrij Menurut Tema Haidts
Takhrij denganmetode ini bersandar pada pengenalan teman hadits yang akan kita takhrij. Kerap kali suatu hadits memiliki teman lebih dari satu. Sikap kita terhadap hadits seperti ini mencarinya pada tema-teman yang dikandungnya. Contoh :
بُنِىَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى حَمْسٍ : شَهَادَةِ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّالله ُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَاِقَامِ الصَّلاَةِ وَاِيْتَاءِ الرَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَصَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ لِمَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاً.
Hadits ini dicantumkan pada kitab iman, tauhid, sholat, zakat, puasa dan haji untuk itu, kita harus mencarinya dalam tema-teman tersebut.
Kelebihan metode ini, yaitu :
-          Metode tema hadis tidak membutuhkan pengetahuan-pengetahuan lain dari luar hadits.
-          Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits pada diri peneliti
-          Metode ini juga memperkenalkan pada peneliti maksud hadits yang dicarinya dan hadits yang senada dengannya.
Kekurangan metode ini, yaitu :
-          Terkadang kandungan hadits sulit disimpulkan
-          Terkadang pula pemahaman peneliti tidak sesuai dengan pemahaman penyusun kitab.[10]
Adapun kitab-kitab takhrij yang menggunakan metode ini antara lain : kitab Kanz al-‘Ummai, kitab Bulughul Marom, Kitab Nushub al-Raayah, dll
5.      Takhrij berdasarkan Status Hadits[11]
Metode kelima ini mengetengahkan suatu hal yang baru berkenaan dengan upaya para ulama yang telah menyusun kumpulan hadits-hadits yang berdasarkan status hadits. Kitab-kitab sejenis ini sangat membantu pencarian berdasarkan statusnya, seperti : hadits qudsi, hadits yang sudah masyhur, hadits mursal, dll.
Kelebihan metode ini, yaitu :
-          Dapat memudahkan proses takhrij, karena sebagian besar hadits-hadits yang dimuat dalam suatu karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadits sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit.
Kekurangan dalam metode ini, yaitu :
-          Hanya metode ini cakupannya sangat terbatas, karena sedikitnya hadits-hadits yang dimuat
Sistematika penulisan dalam metode ini :
Penulis sengaja mempersingkat pembicaraan sekitar metode ini mengingat hadits-hadits sekitar metode ini hanya sedikit.
Adapun kitab yang disusun dengan menggunakan metode ini yaitu kitab hadits mutawatir, seperti اَ ْلاَزْ هَارُالْمُتَنَا ثِرَةُ فِى اْلاَخْيَارِالْمُتَوَاتِرَةِ , karangan Sayuthi. Hadits mursal اَالْمَرَا سِيْل karangan Abu Daud, dll.

G.   Mencari Keberadaan hadits dalam Kitab kitab Hadits atas Hadits
اِنَّ مِنَ السَّرَف~ أَنْ تَأْكُلَ كُلَّ مَا اشُّتَهَبْتَ
Setelah hadits tersebut ditelusuri dengan menggunakan metode takhrij, maka ditemukan bahwa hadits tersebut tidak ditemukan dalam الحثتب الستة kecuali dalam سنن ابن ماجه  )w 209-272 H). selain itu juga ditemukan dalam :
1.      Kitab الجوع  karya ابن ابى الدليا (w. 281)
2.      Kitab المسند karya ابو سعلى الموصلى  (w. 307 H)
3.      Kitab المدرو مين karya ابن حبان (w. 354 H)
4.      Kitab الكامدفى ءالرخد karya ابن بلاى (w. 365 H)
5.      Kitab الأفراد karya الدار قطى (w. 385 H)
6.      Kitab الفرائد karya  المحلصابو طاهر
7.      Kitab حليه الأولياء karya ابو نعم الابوعاتى  (w. 430 H)
Semuanya melalui jalur sanad:
بقتبة بن الواليد حد ثنا يوسف بن ابى كثير عن نوج بن ذكوان عن الحسن عن انس بن مالك
Sebagaimana terlihat dalam struktur jaringan sanad
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jalur sanad hadits ini mulai dari  بقية بن الليد  adalah jalur sanad tunggal (عريب) meskipun perawi yang meriwayatkan dari بقيه بن الوليد banyak, namun hal itu tidak dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan kualitas sanad ini, karena perawi yang ضعف  (yaitu نوح بن ذاكوان  dan يوسف بن ابى كثر ) berada sebelum بقية بن الوالير dan semua  sanad yang ada melalui dua perawi yang ضعف tersebut.
Pendapat dan keterangan ulama mengenai hadits ini, ulama hadits telah meneliti dan menilai jalur sand ini, diantaranya adalah :
1.       ابن عدى (w. 365 H) dalam kitab الكامد mengatakan hadits-hadits ini termasuk hadits yang diriwayatkan dari الحسن dari ابس tidak terjaga (dari kekeliruan periwayatan)
2.       الدار قطى (w. 385 H) dalam kitab الافرد mengatakan بقيه  sendiri saja dalam meriwayatkan hadits ini dari يوسف dari نوح 
3.      ابو نعم  (w. 430 H) dari kitab حليه الأولبأ mengatakan ini adalah bentuk jalur sanad tunggal dari hadits riwayat الحسن  dan انس  yang saya ketahui hadits ini hanya diriwayatkan oleh  نوح  dari الحسن.
4.      الامام اليصير  (w. 480 H) dalam kitab مصباح الزجاجه mengatakan ini adalah sand yang dlo’if.
5.      السندي  Dalam شرح سنن لبن ماجه  mengatakan dalam kitab الزوائد dinyatakan bahwa sanad hadits ini adalah dlo’if sebab لوح بن ذكوان disepakati تضعيفه sebagai mana diterangkan sebelum ini. Dan  الدميرىmengatakan bahwa hadits ini adalah diantara hadits yang diingkari (kesahihannya) sebagaimana hadits yang sebelum ini.






BAB III
PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami buat tentang takhrij dan menghukumi hadits. Dapat disimpulkan bahwa takhrij merupakan penelusuran tentang matan hadits melalui kitab-kitab yang ada, seperti kitab takhribut tahdzib dan lain-lain. Dalam metode takhrij juga bisa melalui lafal pertama matan hadits, melalui kata-kata dalam hadits, melalui perawi hadits pertama, melalui teman hadits dna melalui status hadits.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Thohhah, Mahmud. 1995. Dasar-dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad. Searang: Dina Utama

Mahdi, Abu M.A. 1994. Metode Takhrij Hadits. Semarang: Dina Utama

Muna, Arif C. Qanul-Fikr Li Dirasati ‘Ulumil Hadits.


[1] Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode takhrij Hadits , (Semarang: 1994), h. 2.
[2] Ibid, h. 2-4
[3] Ibid, h. 4
[4] Ibid, h. 6
[5] Ibid, h. 6-9
[6] Ibid., h. 12
[7] Prof. Dr. Mahmud al-Thohban, Dasar-dasar Ilmu Takhrij (Semarang : Toha Putra, 1995), h. 55.
[8] Abu Muhammad Abdul Mahdi, op.cit., h. 60.
[9] Abu Muhammad Abdul Mahdi, op.cit., h. 78-79.
[10] Abu Muhammad Abdul Mandi, op.cit., h. 120.
[11] Abu Muhammad Abdul Mandi, op.cit., h. 194