A. Biografi Ibnu Rusyd
Nama lengkap Ibnu Rusyd
adalah Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, di lahirkan di
Cordova Andalusia pada tahun 510 H/1126 M. Ia lebh populer dengan sebutan Ibnu
Rusyd, orang barat menyebutnya dengan nama Averrois.[1]
Ia berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia. Ia sendiri pernah menjadi hakim di Seville dan beberapa kota lain di Spanyol. Selanjutnya ia pernah pula menjadi dokter istana di Cordova, dan sebagai filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar dikalangan istana, terutama di zaman sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99M)[2]
Ibnu Rusyd tumbuh
dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghirahnya pada ilmu pengetahuan. Hal
ini merupakan salah satu faktor yang ikut melancarkan jalan baginya menjadi
ilmuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi
sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana
yang menguasai berbagai disiplin ilmu, sperti hukum, filsafat, kedokteran,
astronomi, sastra arab, dan lainnya.
Suatu hal yang
mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan
membaca. Menurut ilmu Abrar, sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah
meninggalkan berfikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan
malam perkawinannya.[3]
Kesibukan Ibnu
Rusyd sebagai pejabat negara, ketua Mahkamah Agung, Guru Besar, dan Dokter
Islam, menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua tidak menghalanginya dari
menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam beberapa
bidang ilmu pengetahuan.
Karirnya Ibnu
Rusyd tidaklah mulus dan lancar, memang saat permulaan pemerintahan kholifah
Ya’qub Ibnu Yusuf, Ibnu Rusyd tetap menerima kehormatan. Akan tetapi tahun 1195
M, ia dituduh kafir, diadili dan dihukum di buang ke Lucena, dekat Cordova dan
dicopot dalam segala jabatannya. Lebih dari itu, semua bukunya di bakar,
kesuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni.
Untunglah masa
getir yang dialami Ibnu Rusyd tak berlangsung lama. Tahun 1197 M, kholifah
mencabut hukumannya dan posisinya dirahabilitasi kembali. Namun Ibnu Rusyd
tidak lama menikmati keadaan tersebut. Ia meninggal pada tanggal 10 Desember
1198 M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun.[4]
B. Karya-Karya Ibnu Rusyd
Telah dikemukakan
bahwa Ibnu rusyd seorang pengarang yang produktif. Namun amat disayangkan,
karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada, sudah diterjemahkan kedalam
bahas alatin dan Hebrew, bukan dalam bahasa aslinya.
Kendatipun
demikian, sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang dapat kita temukan adalah
sebagai berikut:[5]
1. Bidayatul Mujtahid, berisi perbandingan
madzhabi (aliran-aliran) dalam fiqih.
2. Fashul-Maqal fi a baina al hikmati
was-syari’at min al ittisal
3. Manahij al adilah fi aqaidi ahl al millah
4. Tahafut at tahafut.[6]
C. FILSAFAT IBNU RUSYD
1. Dalil Wujud Tuhan
Ibnu Rusyd menerangkan tentang dalil-dalil wujud Tuhan
menurut syara’ yang meyakinkan, yaitu dalil Inayah dan Ikhtira, yang
kedua-duanya terdapat dalam al-Qur’an.
Menurut penelitian Ibnu Rusyd, ayat-ayat al-Qur’an
bisa dibagi dalam tiga golongan. Pertama, ayat-ayat yang berisi peringatan
terhadap dalil Inayah. Kedua, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil
Ikhtira. Kertiga, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap kedua dalil
tersebut bersama-sama.
Kedua dalil tersebut sesuai untuk orang-orang awam
dan filosof dan bisa diterima oleh keduanya. Perbedaan antara keduanya hanya
bersifat kualitatif saja.[7]
a. Dalil Inayah
Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat
sesuai dengan kehidupan manusia, persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara
kebetulan, tetapi menunjukan adanya pencipta yang sangat bijaksana
b. Dalil Ikhtira’
Termasuk dalam dalil ini adalah wujud segala macam
hewan, tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi. Segala yang maujud di dalam ini adalah
diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan.
c. Dalil Harkah
Alam semesta ini bergerak dengan sesuatu gerakan
yang abadi. Gerakan tersebut menunjukan adanya penggerak yang pertama yang
tidak bergerak dan bukan benda yaitu Tuhan.[8]
2. Tanggapan Terhadap Al-Ghozali
Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari Al
Ghazali terhadap para filosof muslim, 3 butir diantaranya para filosof muslim
dihukumnya kafir: kadimnya alam, Allah tidak megnetahui rincian di alam dan
kebangkitan jasmani diakhirat tidak ada
a. Alam Kadim
Menurut al Ghozali, sesuai dengan keyakinan kaum
teolog muslim alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Sementara itu,
menurut filosof muslim, alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari
materi yang sudah ada.[9]
Pendapat Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa alam ini
diciptakan dari materi yang sudah ada, didukung oleh beberapa ayat al-Qur’an,
seperti pada surat Hud ayat 7:
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa dan arsy-Nya diatas air agar dia menguji siapakah diantara kamu yang
lebih baik amalnya.”
Alam ini juga bersifat kekal dalam zaman yang akan
datang, sebagaimana dapat disimpulkan dari surat Ibrahim ayat 47-48.
“ Karena itu janganlah sekali-kali kamumengira
Allah akan menyalahi janjinya kepada raul-rasulnya. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi mempunyai
pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit dan mereka semuanya (dipadang mahsyar) berkumpul
menghadap kehadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”
Dengan berpegang pada ayat ini, Ibnu Rusyd
berpendapat bahwa alam ini betul diwujudkan, tetapi diwujudkan terus menerus.
Dengan kata lain alam ini adalah kekal.[10]
b. Allah tidak mengetahui rincian di alam
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa al Ghozali salah paham,
karena tidak pernah kaum filosof mengatakan demikian yang dikatakan kaum
filosof, menurut Ibnu Rusyd adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian
yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian
itu.
c. Kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada
Ibnu rusyd menuduh al Ghozali mengatakan hal-hal
yang bertentangan. Dalam Tahafut al falasifah. Al Ghozali mengatakan bahwa
tidak ada orang Islam yang mengatakan kebangkitan akan terjadi hanya dalam
bentuk rohani. Keterangan ini, menurut ibnu Rusyd bertentangan dengan tulisan
al Ghozali sendiri dalam buku lain, dalam buku itu al ghozali menyebut bahwa
pembangkitan kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Oleh karena itu,
tidak terdapat Ijma’ ulama tentang soal pembangkitan dihari kiamat. Dengan
demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan jasmani, tidak ada
tidaklah dapat dikafirkan.[11]
[1] Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004),hlm. 221
[2] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme
Dalam Islam, (Jakarta:N.V. Bulan Bintang, 1983), hlm. 47
[3] Sirajuddin, op. cit.,hlm. 222
[4] Ibid., hlm. 223-224
[5] Ibid., hlm. 225
[6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam
(Jakarta: PT. Bulan bintang, 1996), hlm. 166
[7] Ibid., hlm. 170
[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 118
[9] Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof Dan
Filsafatnya), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 225-226
[10] Op. Cit., hlm. 121-122
[11] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme
Dalam Islam (Jakarta:N.V. Bulan Biintang, 1983), hlm. 53-54
EmoticonEmoticon