November 15, 2022

Pemikiran Ibnu Rusyd

 

A.    Biografi Ibnu Rusyd

Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, di lahirkan di Cordova Andalusia pada tahun 510 H/1126 M. Ia lebh populer dengan sebutan Ibnu Rusyd, orang barat menyebutnya dengan nama Averrois.[1]

Ia berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia. Ia sendiri pernah menjadi hakim di Seville dan beberapa kota lain di Spanyol. Selanjutnya ia pernah pula menjadi dokter istana di Cordova, dan sebagai filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar dikalangan istana, terutama di zaman sultan Abu Yusuf  Ya’qub al-Mansur (1184-99M)[2]

Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghirahnya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melancarkan jalan baginya menjadi ilmuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai berbagai disiplin ilmu, sperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab, dan lainnya.

Suatu hal yang mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut ilmu Abrar, sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berfikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.[3]

Kesibukan Ibnu Rusyd sebagai pejabat negara, ketua Mahkamah Agung, Guru Besar, dan Dokter Islam, menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua tidak menghalanginya dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan.

Karirnya Ibnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar, memang saat permulaan pemerintahan kholifah Ya’qub Ibnu Yusuf, Ibnu Rusyd tetap menerima kehormatan. Akan tetapi tahun 1195 M, ia dituduh kafir, diadili dan dihukum di buang ke Lucena, dekat Cordova dan dicopot dalam segala jabatannya. Lebih dari itu, semua bukunya di bakar, kesuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni.

Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd tak berlangsung lama. Tahun 1197 M, kholifah mencabut hukumannya dan posisinya dirahabilitasi kembali. Namun Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut. Ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun.[4]

 

B.     Karya-Karya Ibnu Rusyd

 

Telah dikemukakan bahwa Ibnu rusyd seorang pengarang yang produktif. Namun amat disayangkan, karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada, sudah diterjemahkan kedalam bahas alatin dan Hebrew, bukan dalam bahasa aslinya.

Kendatipun demikian, sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang dapat kita temukan adalah sebagai berikut:[5]

1.      Bidayatul Mujtahid, berisi perbandingan madzhabi (aliran-aliran) dalam fiqih.

2.      Fashul-Maqal fi a baina al hikmati was-syari’at min al ittisal

3.      Manahij al adilah fi aqaidi ahl al millah

4.      Tahafut at tahafut.[6]

 

 

 

 

 

C.    FILSAFAT IBNU RUSYD

1.    Dalil Wujud Tuhan

Ibnu Rusyd menerangkan tentang dalil-dalil wujud Tuhan menurut syara’ yang meyakinkan, yaitu dalil Inayah dan Ikhtira, yang kedua-duanya terdapat dalam al-Qur’an.

Menurut penelitian Ibnu Rusyd, ayat-ayat al-Qur’an bisa dibagi dalam tiga golongan. Pertama, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil Inayah. Kedua, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil Ikhtira. Kertiga, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap kedua dalil tersebut bersama-sama.

Kedua dalil tersebut sesuai untuk orang-orang awam dan filosof dan bisa diterima oleh keduanya. Perbedaan antara keduanya hanya bersifat kualitatif saja.[7]

a.    Dalil Inayah

Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat sesuai dengan kehidupan manusia, persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukan adanya pencipta yang sangat bijaksana

b.    Dalil Ikhtira’

Termasuk dalam dalil ini adalah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi. Segala yang maujud di dalam ini adalah diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan.

c.    Dalil Harkah

Alam semesta ini bergerak dengan sesuatu gerakan yang abadi. Gerakan tersebut menunjukan adanya penggerak yang pertama yang tidak bergerak dan bukan benda yaitu Tuhan.[8]

 

2.    Tanggapan Terhadap Al-Ghozali

Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari Al Ghazali terhadap para filosof muslim, 3 butir diantaranya para filosof muslim dihukumnya kafir: kadimnya alam, Allah tidak megnetahui rincian di alam dan kebangkitan jasmani diakhirat tidak ada

a.    Alam Kadim

Menurut al Ghozali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog muslim alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof muslim, alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada.[9]

Pendapat Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada, didukung oleh beberapa ayat al-Qur’an, seperti pada surat Hud ayat 7:

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan arsy-Nya diatas air agar dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.”

Alam ini juga bersifat kekal dalam zaman yang akan datang, sebagaimana dapat disimpulkan dari surat Ibrahim ayat 47-48.

“ Karena itu janganlah sekali-kali kamumengira Allah akan menyalahi janjinya kepada raul-rasulnya. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit dan mereka semuanya (dipadang mahsyar) berkumpul menghadap kehadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”

Dengan berpegang pada ayat ini, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam ini betul diwujudkan, tetapi diwujudkan terus menerus. Dengan kata lain alam ini adalah kekal.[10]

 

b.    Allah tidak mengetahui rincian di alam

Ibnu Rusyd mengatakan bahwa al Ghozali salah paham, karena tidak pernah kaum filosof mengatakan demikian yang dikatakan kaum filosof, menurut Ibnu Rusyd adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.

c.    Kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada

Ibnu rusyd menuduh al Ghozali mengatakan hal-hal yang bertentangan. Dalam Tahafut al falasifah. Al Ghozali mengatakan bahwa tidak ada orang Islam yang mengatakan kebangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Keterangan ini, menurut ibnu Rusyd bertentangan dengan tulisan al Ghozali sendiri dalam buku lain, dalam buku itu al ghozali menyebut bahwa pembangkitan kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Oleh karena itu, tidak terdapat Ijma’ ulama tentang soal pembangkitan dihari kiamat. Dengan demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan jasmani, tidak ada tidaklah dapat dikafirkan.[11]

 

 

 



[1] Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),hlm. 221

[2] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:N.V. Bulan Bintang, 1983), hlm. 47

[3] Sirajuddin, op. cit.,hlm. 222

[4] Ibid., hlm. 223-224

[5] Ibid., hlm. 225

[6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: PT. Bulan bintang, 1996), hlm. 166

[7] Ibid., hlm. 170

[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 118

[9] Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof Dan Filsafatnya), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 225-226

 

[10] Op. Cit., hlm. 121-122

[11] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta:N.V. Bulan Biintang, 1983), hlm. 53-54


Artikel Terkait


EmoticonEmoticon