BAB I
PENDAHULUAN
Ketika manusia sibuk dengan urusan duniawi, ketika akhlak manusia sudah rendah dan sangat parah, timbul pertanyaan dalam hati, bagaimanakah kehidupan ini selanjutnya? Apakah dunia akan kiamat? Begitu banyak pertanyaan yang muncul dari seseorang. Berbagai persoalan-persoalan terus muncul tanpa kita sadari selama kehidupan ini masih ada. Sebagai umat muslim tentunya kita mempunyai solusi dan tujuan hidup yang jelas yang sesuai dengan syariat dan tuntunan Rosulullah.
Islam mengajarkan pada umatnya bahwa sesungguhnya sikap dan tingkah laku baiklah yang akan menjadi buah keberhasilan dalam meraih cita-cita. Ada satu hal yang patut diketahui bahwa akhlak yang baik yang sesuai dengan tuntunan Rosulullah niscaya akan mudah berakselerasi dan beradaptasi dengan diri sendiri, keluarga saudara-saudara dan sesamanya.
Begitu juga dengan sikap adil, harus ditanamkan kepada diri seseorang karena sesungguhnya keadilan itu mendekatkan diri kepada ketaqwaan. Berbuat adil didunia ini dapat membuat tenang dalam hidup dan disayangi orang-orang terdekatnya. Keadilan pasti datang jika setiap manusia melakukannya dan dimulai dengan giri sendiri. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya manusia itu mempunyai kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri. Oleh karena itu dengan pertolongan Allah dan usaha keras untuk menciptakan keadilan, insya Allah akan tercipta seperti yang diharapkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Akhlak
Menurut bahasa (etimologi) akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq (khuluqun) yang berarti budi perkerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia dan gerak anggota badan. Dalam bahasa yunani khuluq disamakan ethico dan etos artinya adalah kebiasaan, perasaan batin kecenderungan hati unyuk melakukan perbuatan.[1] Menurut penelitian Muhammad Omar Al-Taomy As-Syaibany dalam bukunya yang berjudul “Falsafah Dalam Islam” banyak ayat Al qur’an yang berhubungan dengan akhlak baik secara teoritic maupun praktis, kenyataan ini mengidentifikasikan bahwa akhlak merupakan masalah yang esensial dalam kehidupan manusia, diantara akhlak manusia yang berhubungan dengan akhlak antara lain surat Al-Qalam ayat 4
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OÏàtã ÇÍÈ
Artinya :“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
Dari segi istilah (terminologi)
istilah akhlak oleh para ahli diartikan sebagai berikut :
a.
Ibnu Maskawih akhlak
adalah keadaan jiwa seseorang untuk melalui perbuatan tanpa melakukan pemikiran
dan pertimbangan terlebih dahulu.
b.
Al-Ghazali akhalk adalah
ungkapan dari suatu sifat yang tetap dalam jiwa timbul perbuatan yang mudah
tanpa atau tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.[2]
B.
Pengertian
Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil yang mendapat imbuhan ke-an menjadi keadilan. Keadilan berarti dapat menempatkan sesuatu secara proposional dan persamaan-persamaan hak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan seseorang dalam melakukan perbuatan. Menurut bahasa keadilan adalah seimbang antara berat dan muatan, sesuai hak dan kewajiban, sesuai dengan pekerjaan dan hasil yang diperoleh sesuai dengan ilmu sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan.[3]
Keadilan dapat pula diartikan perlakuan yang sama yang didapat seseorang deengan orang lain dengan hak dan drajat yang sama pula sama dalam artian proposional yaitu disesuaikan dengan pekerjaan dan kebutuhan yang ia peroleh. Banyak orang yang slah dalam keadilan yang sesungguhnya, sehingga yang terjadi kesalah pahaman antara yang satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan ketidakadilan.
Keadilan dalam Islam ialah keadilan yang mengatur semua segi kehidupan manusia secara seimbang dan menyeluruh. Keadilan dalam islam tidak memecahkan persoalan-persoalan didalamnya secara acak dan tidak pula menghadapinya sebagai bagian yang terpisah antara yang satu dengan yang lain, karena islam mempunyai konsep menyeluruh dan lengkap tentang alam dan manusia.[4]
Adil itu ada dua macam yang pertama mensifati perseorangan dan mensifati masyarakat atau pemerintah. Adil perseorangan ialah memberi hak kepada yang mempunyai hak, karena tiap-tiap orang sebagai anggota masyarakat mempunyai hak untuk merasakan kebaikan yang didapat masyarakat. Yang kedua masyarakat yang adil ialah masyarakat yang mempunyai peraturan dan undang-undang yang memudahkan tiap-tiap orang mempertinggi dirinya sesuai kecakapan masing-masing.
C.
Akhlak
dalam Keadilan Menurut UU
Didalam UU ditetapkan bagaimana seseorang itu menghukum, bagaimana seseorang itu mengambil keputusan. Akhlak terhadap sesama manusia pun diatur dalam undang-undang namun penekanannya tidak disebutkan secara tegas hanya akhlak secara umum saja. Contoh akhlak yang dimuat dalam undang-undang untuk meyakini adanya sang pencipta bahwa kekuasaan-nya diatas segala-galanya (KUHP pasal 532-547) dan pasal-pasal yang lain tentang penyimpangan akhlak disebutkan yaitu 533 yang berbunyi “Diancam hukuman kurungan paling lama 2 tahun atau denda Rp. 200.000,00”.[5]
Menurut Ibnu Maskawih keadilan terbagi pada tiga pokok hal yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana keadilan dan akhlak terhadap tuhan artinya manusia harus adil beribadah kepada-Nya. Jangan hanya mementingkan kehidupan dunianya saja, tetapi harus adil untuk kepentingan akhirat yang kekal abadi.
2. Bagaimana keadilan dan akhlak yang dilakukan manusia. Keadilan dan akhlak sesama diwujudkan dalam bentuk antara lain :
a. Menghormati dengan cara ma’ruj
b. Memberi salam dan menjawab salam dengan wajah yang manis
c. Pandai berterima kasih
d. Menepati janji
e. Jangan mengejek
f. Tidak mencari-cari kesalahan orang lain.
3. Keadilan dan akhlak terhadap leluhur sebagai seorang muslim harus berbuat adil dan memberikan hak-hak mereka.[6]
D.
Akhlak
dalam Mendapatkan Hak dan Keadilan
Menurut Poejawijasna hak ialah semacam milik, kepunyaan, yang tidak hanya merupakan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pemikiran itu. Jadi hak adalah wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalakn, mempergunakan atau menuntut sesuatu.[7]
Hak dipengaruhi dua faktor. Yang pertama faktor yang merupakan objek hakiki (dimmiliki) yang selanjutnya disebut hak objektif dan bersifat fisik non fisik. Kedua faktor subjek (manusia) yaitu orang yang berhak. Orang tersebut berhak memiliki dan bertindak sesuai sifatnya. Dari segi objektif dan hubungan dengan akhlak, hak itu secara garis besar dapat dibagi menjadi tujuh bagian yaitu :
1. Hak hidup
2. Hak mendapatkan perlakuan hukum
3. Hak mendapatkan keturunan (hak kawin)
4. Hak milik
5. Hak mendapatkan nama baik
6. Hak kebebasan berfikir
7. Hak mendapatkan kebenaran
Semua hak diatas tidak dapat diganggu gugat, karena hak asasi yang fitrah yang diberikan oleh tuhan kepada manusia dan hanya tuhan yang dapat mencabut hak-hak tersebut.
Untuk berbuat adil merupakan perbuatan yang sulit, tetapi harus disadari bahwa berbuat adil merupakan sunah dan wajib dilaksanakan tiap-tiap umat manusia, sesuai dengan firman Allah dalam surat Thaaha ayat 112 yang berbunyi :
`tBur ö@yJ÷èt z`ÏB ÏM»ysÎ=»¢Á9$# uqèdur ÑÆÏB÷sãB xsù ß$$ss $YHø>àß wur $VJôÒyd ÇÊÊËÈ
Artinya :“Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan
beriman, Maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya)
dan tidak (pula) akan pengurangan haknya”.
Dari ayat diatas dapat disimpulkan
bahwa orang yang mengerjakan amal saleh tidak perlu khawatir diperlakukan tidak
adil dan Allah menjamin ia mendapatkan haknya selama menegakkan keadilan dan
kebenaran.
Menurut Ibnu Maskawih menyebutkan
bahwa adil itu bila seseorang dapat berbuat sebagai berikut :
1.
Menjalin persahabatan
2.
Bersemangat sosial
3.
Menjauhkan diri dari
permusuhan
4.
Mengikuti orang yang berbuat
besar dan baik
5.
Berwibawa disegala bidang
dan lain-lain
Cakupan aspek keadilan sangat luas
sehingga dalam segala hal harus dapat menempatkan mana hak pribadi, hak negara,
hak kelompok dan hak orang lain dengan cara yang adil. Akan tetapi ada beberapa
hal menurut keadilan harus ada persamaan, sedang tidak persamaan berarti
dihakimi, diantara ialah:
1.
Persamaan didalam
undang-undang. Berarti dalam undang-undang tidak ada perbedaan yang kaya dan
yang miskin, mulia dan hina.
2.
Persamaan didalam
hak-hak, maka tiap orang mempunyai hak untuk merdeka, berpendapat dan
sebagainya.
3.
Persamaan dalam kedudukan
bahwa siapapun bisa mendapatkan sesuai dengan kecakapannya.
4.
Persamaan dalam pemilihan
umum, yaitu baik kaya maupun miskin mempunyai hak yang sama dalam pemilihan umum.[8]
E.
Aklak
dalam Mendapatkan Hak dan Kewajiban
Di dalam masyarakat, sering terlihat manusia lebih terpengaruh oleh dorongan perasaan egoistis yang selalu memperhatikan haknya sendiri tetapi mereka lupa dengan kewajibannya untuk ditunaikan yang menjadi hak orang lain. Dalam mendapatkan hak, harus terlebih dahulu mengerjakan kewajiban-kewajibannya. Gambaran hak dan kewajiban dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Hak Allah atas manusia, menjadi kewajiban manusia terhadap Allah
2. Hak anak-anak untuk di didik adalah kewajiban orang tua
3. Hak yang kecil dibimbing adalah kewajiban yang dewasa
4. Hak yang lebih tua untuk dihormati adalah kewajiban yang muda[9]
Oleh karena itu didalam islam tidak ada satu perintah pun untuk menuntut hak telebih dahulu tetapi keseimbangan antara hak dan kewajiban. Artinya kewajiban dilaksanakan terlebih dahulu baru dituntut hak sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nisa 4:30
`tBur ö@yèøÿt y7Ï9ºs $ZRºurôãã $VJù=àßur t$öq|¡sù ÏmÎ=óÁçR #Y$tR 4 tb%2ur Ï9ºs n?tã «!$# #·Å¡o ÇÌÉÈ
Artinya : “Dan barangsiapa berbuat
demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke
dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. An Nisa 4:30).
Hikmah yang terkandung dalam mendapatkan hak dan kewajiban yang telah
diatur dalam ajaran Akhlak Al-kariman sebagai berikut :
1.
Mendahulukan kewajiban kepada Allah SWT, manusia dan alam
sekitarnya
2.
Meminta hak atas jerih payah sesuai dengan pekerjaan dan
perbuatannya
3.
Dilarang mennuntut hak sebelum melaksanakan kewajiban
4.
Menghormati hak orang lain dengan cara ma’ruf
5.
Saling menghargai hak miliknya
6.
Menghormati hak sepadan
7.
Dengan mendahulukan kewajiban daripada hak berarti menjalan
keadilan.
Oleh karena itu hak merupakan wewenang, bukan berwujud kekuatan maka
diperlukan penegak hukum dan melindungi yang lemah. Cara demikian orang lain
pun berbuat yang sama pada dirinya dan dengan akan dipeliharalah pelaksanaan
hak asasi manusia itu.
Didalam kewajiban ditempatkan sebagai salah satu hukum syara’ yaitu
sesuai perbuatan apabila dikerjakan mendapat pahala dan ditinggallkan mendapat
dosa. Akhlak adalah peringai dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain
maupun terhadap sang pencipta. Hubungannya dengan hak yaitu sebagai milik yang
dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang dapat menghalangi. Hak yang
demikian itu merupakan bagian dari “akhlaqul karimah” karena harus dilakukan
seseorang sebagai kewajiban dan haknya. Dan sebaliknya dan itu disebut pula
“akhlaqul madmumah atau tercela.
F.
Akhlak
dalam Penyimpangan Hak dan Kewajiban
Penyimpangan hak berarti tidak menerima hak sebagaimana mestinya, penyimpangan kewajiban berarti tidak melaksanakan kewajiban dengan baik dan benar. Jika hak dan kewajiban merupakan dambaan setiap insan, maka penyimpangan hak dan kewajiban adalah sifat yang paling dibenci manusia. Penyimpangan hak dan kewajiban termasuk pelanggaran akhlak, dalam islam, perbuatan yang tidak disadari, tidak ada kehendak yang tidak disengaja, maka tidak ada tindakan hukum. Contohnya perbuatan manusia yang tidak disengaja seperti pencernaan untuk memeras pencernaan dan lain-lain, gerakan tersebut tidak melanggar hukum.[10]
Perbuatan yang dikehendaki dapat diberi hukum baik atau buruk, karena mengikuti aturan yang ada, karena itu pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tergantung pada niat yang melakukan. Dalam islam ada perbuatan yang tidak mendapat hukum dosa , yaitu sebagai berikut :
1. Anak kecil hingga dewasa, anak kecil melakukan perbuatan dosa seperti mencuri, tidak shalat dan sebagainya menurut pandangan islam belum dihukum dosa sebab anak-anak itu masih fitrah, tidak tahu membedakan yang baik dan yang buruk.
2. Orang gila hingga sembuh, karena dalam melakukan perbuatannya tidak didasarkan pada akal sehat.
3. Orang tidur hingga terbangun.
4. Orang lupa hingga sadar, lupa berarti tidak mengingat lagi apa yang pernah dijanjikan dan menpakan dosa karena dosa adalah perbuatan diluar kesadaran.
Di dalam hak dan kewajiban dan keadilan harus ada kesamaan. Sebagaimana pendapat filosof romawi Cicero yang menyatakan “manusia itu sama dan tidak ada yang sama dengan manusia kecuali manusia”. Kita semua mempunyai akal dan perasaan meskipun kita berbeda dalam ilmu pengetahuan, tetapi sama tentang dapatnya belajar. Jeffurson dan pengikutnya menguatkan pendapat ini dengan ketenya : “sesungguhnya menusia itu dijadikan sama”. Akan tetapi ada beberapa hal, menurut keadilan, harus ada persamaan; sedang tidak persamaan berarti dzalim. Diantaranya adalah :
1. Persamaan dihadapan undang-undang berarti tidak ada perbedaan status semuanya terikat undang-undang yang berlaku.
2. Persamaan didalam hak-hak, maka tiap-tiap orang sepertinya lainnya mempunyai hak dan kemerdekaan dan mengeluarkan pendapat ekspresi dalam kehidupannya.
3. Persamaan didalam kehidupan dan kedudukan.
Para ahli-ahli pengetahuan dan filsafat berselisih mengenai persamaan hak, kewajiban dan keadilan diantara alasannya karena :
1. Sesungguhnya manusia diciptakan dengan perbedaan kekuatan dan sifat. Sifatnya; diantaranya ada yang pandai dan bodoh.
2. Perbedaan diantara manusia menimbulkan semangat bekerja.
3. Keadaan dunia ini tidak dapat diatur kecuali bila terdapat golongan yang khusus bekerja disawah-sawah tidak perlu bersenang-senang dan bacaan kitab-kitab.[11]
Islam memerintahkan agar manusia menggunakan seluruh anggota tubuhnya untuk berbuat baik kepada tuhan, manusia dan lingkungan alam sekitar dan tidak untuk berbuat jahat. Al Ghazali berpendapat jujur dan amanah yang paling disukai Allah dan berbuat dosa maksiat merupakan kejahatan yang terbesar dan kedurhakaan yang tidak ada bandingannya terhadap tuhan. Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela itu perlu, apalagi kemusrikan karena najis maknawi (najis ma’nawiyah) karena demikian orang tidak mungkin mendekatkan diri kepada tuhannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat At Taubah (9) : 28
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä $yJ¯RÎ) cqä.Îô³ßJø9$# Ó§pgwU xsù (#qç/tø)t yÉfó¡yJø9$# tP#tysø9$# y÷èt/ öNÎgÏB$tã #x»yd 4 ÷bÎ)ur óOçFøÿÅz \'s#øtã t$öq|¡sù ãNä3ÏZøóã ª!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù bÎ) uä!$x© 4 cÎ) ©!$# íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇËÑÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, Maka janganlah mereka
mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini dan jika kamu khawatir menjadi
miskin, Maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika
dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Sifat-sifat tercela dalam bahasa arab disebut dengan Ash-Shiraf
Al-Madzmumah, lawan dari kata-kata terpuji (mahmudah). Diantara sifat-sifat
tercela seperti :
1.
Mencuri
2.
Berdusta
3.
Memfitnah
4.
Bersumpah palsu
5.
Menyombongkan diri
Termasuk sifat yang dikerjakan oleh hati adalah :
1.
Dengki
2.
Takabur
3.
Angkuh
4.
Membanggakan derajatnya
5.
Iri hati dan banyak lagi
Jadi penyimpangan terhadap hak dan kewajiban itu terjadi dalam kehidupan
karena perilaku tidak baik yang melanggar konsep akhlak al-karomah.[12]
G.
Keadilan
yang Hakiki
Keadilan pada umumnya perlu diperoleh bahkan kalau terpaksa dituntut. Akan tetapi untuk memperoleh keadilan biasanya diperlukan pihak ketiga sebagai penengah. Dengan harapan pihak ketiga ini dapat bertindak adil terhadap pihak yang berselisih. Ia harus netral dan tidak memihak salah satu, tanpa pihak ketiga yang berselisih paham akan bersifat konfrontatif yang bila dibiarkan akan mengarah kepada kekerasaan. Sesuai dengan sifatnya, peradilan diberi lambang neraca yang horisontal mengandung arti bahwa keadilan adalah suatu yang tidak berat sebelah.
Untuk melaksanakan keadilan dalam suatu negara diperlukan suatu peraturan yang disebut undang-undang atau hukum. Namun intinya adalah hukum merupakan suatu norma yang mengatur kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, apabila seseorang memperoleh ketidak adilan dari pihak lain ia berhak mengajukan tuntutan. Selanjutnya dikatakan bahwa hukum memiliki norma yang terletak pada sanksi yang diberikan pada pelanggarnya. Manusia sebagai makhluk berakal budi, berjasmani, sebagai makhluk sosial dalam hubungannya dengan sesama akan mudah mengalami konflik.
Islam mengajarkan untuk selalu berbuat adil dalam arti bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya., yaitu proposional adanya kesesuaian antara satu dan yang lainnya firman Allah dalam surat Al A’raf (7) : 181
ô`£JÏBur !$oYø)n=yz ×p¨Bé& tbrßöku Èd,ysø9$$Î/ ¾ÏmÎ/ur cqä9Ï÷èt ÇÊÑÊÈ
Artinya : “ Dan di antara
orang-orang yang kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan
dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan”.
Untuk mendalami sebuah keadilan perlu dikenal adanya hukum kodrat dan
hukum positif. Hukum kodrat (lex
naturalis), merupakan hukum yang berdasarkan penciptanya. Hukum ini adalah
hukum Ilahi yang memiliki sifat abadi. Hukum positif atau hukum manusia (lex humana) hukum ini bersifat tidak
tetap karena dibuat oleh manusia.
Keadilan yang hakiki tidak dapat ditemukan didunia ini, tetapi keadilan
yang hakiki dapat ditemukan di akhirat tempat yang abadi. Hakiki artinya kekal,
tidak semu, tetapi nyata untuk selamanya. Keadilan yang hakiki ialah keadilan
yang sesungguhnya di akhirat, keadilan yang benar adil karena hakimnya Allah
SWT. Keadilan hakiki adalah milik Allah, keadilan didunia hanyalah semu yang
dapat dimenipulasi, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
H.
Keadilan
Tuhan
Yang dimaksud dengan keadilan ialah keadilan yang sesungguhnya dan tuhanlah sebagai hakimnya diakhirat nanti. Manusia dapat membantu keadilannya melalui berbagai amal ibadah kepada-Nya . apabila berbuat baik maka akan mendapatkan kebaikan dan sebaliknya bila berbuat buruk akan mendapat keburukan diakhirat nantinya. Membangun akhlqul karimah di dunia ini berarti membangun keadilan yang hakiki dan membangun keadilan tuhan.
Keadilan tuhan menurut berbagai mahzab atau aliran teologi diantaranya :
1. Aliran mu’tazilah berpandangan bahwa keadilan tuhan itu bersifat mutlak artinya tuhan akan membalas sesuai amal dan perbuatannya, yang baik masuk surga yang buruk masuk neraka bersifat mutlak.
2. Aliran masuridiyah yaitu tuhan akan membalas kebaikan dengan kebaikan dan keburukan dengan keburukan tetapi bersifat semu artinya hanya (kebijakan tuhan).
3. Aliran Al-Bazdawi menyatakan tuhan akan membalas sesuai amal perbuatannya dan Tuhan tidak harus memasukkan orang jahat keneraka.
4. Asy’ariyah menyatakan keadilan Tuhan itu sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuhan tidak mesti memasukkan orang baik ke surga dan juga orang jahat ke neraka, sifatnya ini tergantung Tuhan.
Jadi secara umum umat Islam berpegangan bahwa keadilan tuhan ialah mutlak artinya tuhan akan membalas orang baik ke surga dan orang jahat ke neraka. Secara garis besar tuhan akan membalas manusia sesuai amal perbuatannya.[13]
KESIMPULAN
Akhlak dan berbuat adil sangat erat hubungannya, akhlak baik mampu berbuat adil, akhlak buruk terjadi penyimpangan hak dan keadilan. Keduanya saling berhubungan dan tarik-menarik tidak bisa dilepaskan antara satu dengan yang lainnya. Allah seslalu memperingatkan untuk selalu berbuat kebajikan dan keadilan karena keadilan itu mendekatkan diri kepada taqwa. Manusia khalifah di bumi, wajib menerapkan konsep akhlak dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Intinya setiap perbuatan dan tingkah laku harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan menegakkan keadilan berarti kita menjalankan undang-undang dan menjadikan persamaan rasa solidaritas antar umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Abullah, M. Yatimin. Studi Akhlak dalam Perspektif Al Qur’an. Jakarta: Amzah. 2007.
Bertens. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993.
Ensiklopedia Islam
Ma’ruf, Karid. Etika Ilmu Akhlak. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Mustaka, Ahmad. IBD. Bandung: CV Pustaka Setia. 1999.
Yakub, Hamzah. Etika Islam. Bandung: CV Diponegoro. 1983.
Zuhri, Amat. Warna-warni Teologi Islam. Pekalongan: STAIN Press. 2010.
[1] K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 4.
[2] Drs. M. Yamin Abdullah, M.A., Studi Akhlak dalam Perspektif Islam (Jakarta: AMZAH, 2007), h. 137.
[3] Hamzah Ya’kub, Etika Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1983), h. 11.
[4] Farid Ma’ruf, Etika ilmu Akhlak (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 237.
[5] H.A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia), h. 177.
[6]M. Yamin Abdullah, M.A. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: AMZAH), h. 138.
[7] Drs. M. Yamin Abdullah, M.A., Studi Akhlak dalam Perspektf Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2007), h. 141.
[8] Drs. H.A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia), h. 177.
[9] Prof. KH. Farid Ma’ruf, Etika Ilmu Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 245.
[10] Prof. KH. Farid Ma’ruf, Etika Ilmu Akhlak (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 245.
[11] Drs. H. Ahmad Mustofa, IBD (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 106.
[12] Drs. M. Yasimin Abdullah, M.A., Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Amzah), h. 148.
[13] Amat Zuhri, Warna-Warni Teologi Islam (Pekalongan: STAIN Press, 2010), h. 151.
EmoticonEmoticon