Showing posts with label Filsafat Islam. Show all posts
Showing posts with label Filsafat Islam. Show all posts

December 11, 2022

Perkembangan Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu
sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun.
Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
1.Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance
2.Filsafat Ilmu sejak munculnya Rennaisance sampai memasuki era positivisme
3.Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas
4.Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad keduapuluh sampai sekarang.

Perkembangan Filsafat ilmu pada keempat fase tersebut akan penulis uraikan dengan mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum dan atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri.

A. Filsafat Ilmu Zaman Kuno
Filsafat yang dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan telah dikenal manusia pada masa Yunani Kuno. Di Miletos suatu tempat perantauan Yunani yang menjadi tempat asal mula munculnya filsafat, ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir (baca: filosof) besar seperti Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Pemikiran filsafat yang memiliki ciri-ciri dan metode tersendiri ini berkembang terus pada masa selanjutnya.
Pada zaman Yunani Kuno filsafat dan ilmu merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Keduanya termasuk dalam pengertian episteme yang sepadan dengan kata philosophia. Pemikiran tentang episteme ini oleh Aristoteles diartikan sebagaian organized body of rational konwledge with its proper object. Jadi filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan yang rasional. Dalam pemikiran Aritoteles selanjutnya pengetahuan rasional itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yang disebutnya dengan praktike (pengetahuan praktis), poietike (pengetahuan produktif), dan theoretike (pengetahuan teoritis). .
Pemikirannya hal tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya memandang bahwa Aristoteleslah sebagai peletak dasar filsafat ilmu.
Selama ribuan tahun sampai dengan akhir abad pertengahan filsafat logika Aristoteles diterima di Eropa sebagai otoritas yang besar. Para pemikir waktu itu mengaggap bahwa pemikiran deduktif (logika formal atau sillogistik) dan wahyu sebagai sumber pengetahuan.
B. Filsafat Ilmu Era Renaisance
Memasuki masa Rennaisance, otoritas Aritoteles tersisihkan oleh metode dan pandangan baru terhadap alam yang biasa disebut Copernican Revolution yang dipelopori oleh sekelompok sanitis antara lain Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1542) dan Issac Newton (1642-1727) yang mengadakan pengamatan ilmiah serta metode-metode eksperimen atas dasar yang kukuh.
Selanjutnya pada Abad XVII, pembicaraan tentang filsafat ilmu, yang ditandi dengan munculnya Roger Bacon (1561-1626). Bacon lahir di ambang masuknya zaman modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bacon menanggapi Aristoteles bahwa ilmu sempurna tidak boleh mencari untung namun harus bersifat kontemplatif. Menurutnya Ilmu harus mencari untung artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi, dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu berkembang dan menjadi nyata dalam kehidupan manusia. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan mansia; human knowledge adalah human power.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada metode eksperimental dana matematis memasuki abad XVI mengakibatkan pandangan Aritotelian yang menguasai seluruh abad pertengahan akhirnya ditinggalkan secara defenitif.
C. Filsafat Ilmu Era Positivisme
Memasuki abad XIX perkembangan Filsafat Ilmu memasuki Era Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat yang ditandai dengan evaluasi yang sangat terhadap ilmu dan metode ilmiah. Aliran filsafat ini berawal pada abad XIX. Pada abad XX tokoh-tokoh positivisme membentuk kelompok yang terkenal dengan Lingkaran Wina, di antaranya Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Philip Frank Hans Hahn, Otto Neurath dan Moritz Schlick.
Pada penghujung abad XIX (sejak tahun 1895), pada Universitas Wina Austria telah diajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan Induktif. Hal ini memberikan indikasi bahwa perkembangan filsafat ilmu telah memasuki babak yang cukup menentukan dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dalam abad selanjutnya.
Memasuki abad XX perkembangan filsafat ilmu memasuki era baru. Sejak tahun 1920 panggung filsafat ilmu pengetahuan didominasi oleh aliran positivisme Logis atau yang disebut Neopositivisme dan Empirisme Logis. Aliran ini muncul dan dikembangkan oleh Lingkaran Wina (Winna Circle, Inggris, Wiener Kreis, Jerman). Aliran ini merupakan bentuk ekstrim dari Empirisme. Aliran ini dalam sejarah pemikiran dikenal dengan Positivisme Logic yang memiliki pengaruh mendasar bagi perkem-bangan ilmu. Munculnya aliran ini akibat pengaruh dari tiga arah. Pertama, Emperisme dan Positivisme. Kedua, metodologi ilmu empiris yang dikembangkan oleh ilmuwan sejak abad XIX, dan Ketiga, perkembangan logika simbolik dan analisa logis.
Secara umum aliran ini berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan yaitu pengalaman indrawi. Selain itu mereka juga mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang dihasilkan lewat pengalaman yang memuat serentetan tutologi -subjek dan predikat yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi keseluruhan yang meliputi segala data itu.
Lingkaran Wina sangat memperhatikan dua masalah, yaitu analisa pengetahuan dan pendasaran teoritis matematika, ilmu pengetahuan alam, sosiologi dan psikologi. Menurut mereka wilayah filsafat sama dengan wilayah ilmu pengetahuan lainnya. Tugas filsafat ialah menjalankan analisa logis terhadap pengetahuan ilmiah. Filsafat tidak diharapkan untuk memecahkan masalah, tetapi untuk menganalisa masalah dan menjelaskannya. Jadi mereka menekankan analisa logis terhadap bahasa. Trend analisa terhadap bahasa oleh Harry Hamersma dianggap mewarnai perkembangan filsafat pada abad XX, di mana filsafat cenderung bersifat Logosentrisme

D. Filsafat Ilmu Kontemporer
Perkembangan Filsafat Ilmu di zaman ditandai dengan munculnya filosof-filosof yang memberikan warna baru terhadap perkembangan Filsafat Ilmu sampai sekarang.
Muncul Karl Raymund Popper (1902-1959) yang kehadirannya menadai babak baru sekaligus merupakan masa transisi menuju suatu zaman yang kemudian di sebut zaman Filsafat Ilmu Pengetahuan Baru. Hal ini disebabkan Pertama, melalui teori falsifikasi-nya, Popper menjadi orang pertama yang mendobrak dan meruntuhkan dominasi aliran positivisme logis dari Lingkaran Wina. Kedua, melalui pendapatnya tentang berguru pada sejarah ilmu-ilmu, Popper mengintroduksikan suatu zaman filsafat ilmu yang baru yang dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn.
Para tokoh filsafat ilmu baru, antara lain Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, N.R. Hanson, Robert Palter dan Stephen Toulmin dan Imre Lakatos memiliki perhatian yang sama untuk mendobrak perhatian besar terhadap sejarah ilmu serta peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang sesungguhnya terjadi. Gejala ini disebut juga sebagai pemberontakan terhadap Positivisme.
Thomas S. Kuhn populer dengan relatifisme-nya yang nampak dari gagasan-gagasannya yang banyak direkam dalam paradigma filsafatnya yang terkenal dengan The Structure of Scientific Revolutions (Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan).
Kuhn melihat bahwa relativitas tidak hanya terjadi pada Benda yang benda seperti yang ditemukan Einstein, tetapi juga terhadap historitas filsafat Ilmu sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa teori ilmu pengetahuan itu terus secara tak terhingga mengalami revolusi. Ilmu tidak berkembang secara komulatif dan evolusioner melainkan secara revolusioner.
Salah seorang pendukung aliran filsafat ilmu Baru ialah Paul Feyerabend (Lahir di Wina, Austria, 1924) sering dinilai sebagai filosof yang paling kontroversial, paling berani dan paling ekstrim. Penilaian ini didasarkan pada pemikiran keilmuannya yang sangat menantang dan provokatif. Berbagai kritik dilontarkan kepadanya yang mengundang banyak diskusi dan perdebatan pada era 1970-an.
Sumber https://manusiapinggiran.blogspot.com/

Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

November 15, 2022

Pemikiran Ibnu Rusyd

 

A.    Biografi Ibnu Rusyd

Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, di lahirkan di Cordova Andalusia pada tahun 510 H/1126 M. Ia lebh populer dengan sebutan Ibnu Rusyd, orang barat menyebutnya dengan nama Averrois.[1]

Ia berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia. Ia sendiri pernah menjadi hakim di Seville dan beberapa kota lain di Spanyol. Selanjutnya ia pernah pula menjadi dokter istana di Cordova, dan sebagai filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar dikalangan istana, terutama di zaman sultan Abu Yusuf  Ya’qub al-Mansur (1184-99M)[2]

Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghirahnya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melancarkan jalan baginya menjadi ilmuan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai berbagai disiplin ilmu, sperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab, dan lainnya.

Suatu hal yang mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut ilmu Abrar, sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berfikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.[3]

Kesibukan Ibnu Rusyd sebagai pejabat negara, ketua Mahkamah Agung, Guru Besar, dan Dokter Islam, menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua tidak menghalanginya dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan.

Karirnya Ibnu Rusyd tidaklah mulus dan lancar, memang saat permulaan pemerintahan kholifah Ya’qub Ibnu Yusuf, Ibnu Rusyd tetap menerima kehormatan. Akan tetapi tahun 1195 M, ia dituduh kafir, diadili dan dihukum di buang ke Lucena, dekat Cordova dan dicopot dalam segala jabatannya. Lebih dari itu, semua bukunya di bakar, kesuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni.

Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd tak berlangsung lama. Tahun 1197 M, kholifah mencabut hukumannya dan posisinya dirahabilitasi kembali. Namun Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan tersebut. Ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun.[4]

 

B.     Karya-Karya Ibnu Rusyd

 

Telah dikemukakan bahwa Ibnu rusyd seorang pengarang yang produktif. Namun amat disayangkan, karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada, sudah diterjemahkan kedalam bahas alatin dan Hebrew, bukan dalam bahasa aslinya.

Kendatipun demikian, sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang dapat kita temukan adalah sebagai berikut:[5]

1.      Bidayatul Mujtahid, berisi perbandingan madzhabi (aliran-aliran) dalam fiqih.

2.      Fashul-Maqal fi a baina al hikmati was-syari’at min al ittisal

3.      Manahij al adilah fi aqaidi ahl al millah

4.      Tahafut at tahafut.[6]

 

 

 

 

 

C.    FILSAFAT IBNU RUSYD

1.    Dalil Wujud Tuhan

Ibnu Rusyd menerangkan tentang dalil-dalil wujud Tuhan menurut syara’ yang meyakinkan, yaitu dalil Inayah dan Ikhtira, yang kedua-duanya terdapat dalam al-Qur’an.

Menurut penelitian Ibnu Rusyd, ayat-ayat al-Qur’an bisa dibagi dalam tiga golongan. Pertama, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil Inayah. Kedua, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil Ikhtira. Kertiga, ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap kedua dalil tersebut bersama-sama.

Kedua dalil tersebut sesuai untuk orang-orang awam dan filosof dan bisa diterima oleh keduanya. Perbedaan antara keduanya hanya bersifat kualitatif saja.[7]

a.    Dalil Inayah

Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat sesuai dengan kehidupan manusia, persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukan adanya pencipta yang sangat bijaksana

b.    Dalil Ikhtira’

Termasuk dalam dalil ini adalah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan, langit dan bumi. Segala yang maujud di dalam ini adalah diciptakan. Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan.

c.    Dalil Harkah

Alam semesta ini bergerak dengan sesuatu gerakan yang abadi. Gerakan tersebut menunjukan adanya penggerak yang pertama yang tidak bergerak dan bukan benda yaitu Tuhan.[8]

 

2.    Tanggapan Terhadap Al-Ghozali

Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari Al Ghazali terhadap para filosof muslim, 3 butir diantaranya para filosof muslim dihukumnya kafir: kadimnya alam, Allah tidak megnetahui rincian di alam dan kebangkitan jasmani diakhirat tidak ada

a.    Alam Kadim

Menurut al Ghozali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog muslim alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof muslim, alam ini kadim, dengan arti alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada.[9]

Pendapat Ibnu Rusyd yang mengatakan bahwa alam ini diciptakan dari materi yang sudah ada, didukung oleh beberapa ayat al-Qur’an, seperti pada surat Hud ayat 7:

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan arsy-Nya diatas air agar dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.”

Alam ini juga bersifat kekal dalam zaman yang akan datang, sebagaimana dapat disimpulkan dari surat Ibrahim ayat 47-48.

“ Karena itu janganlah sekali-kali kamumengira Allah akan menyalahi janjinya kepada raul-rasulnya. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit dan mereka semuanya (dipadang mahsyar) berkumpul menghadap kehadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”

Dengan berpegang pada ayat ini, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa alam ini betul diwujudkan, tetapi diwujudkan terus menerus. Dengan kata lain alam ini adalah kekal.[10]

 

b.    Allah tidak mengetahui rincian di alam

Ibnu Rusyd mengatakan bahwa al Ghozali salah paham, karena tidak pernah kaum filosof mengatakan demikian yang dikatakan kaum filosof, menurut Ibnu Rusyd adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu.

c.    Kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada

Ibnu rusyd menuduh al Ghozali mengatakan hal-hal yang bertentangan. Dalam Tahafut al falasifah. Al Ghozali mengatakan bahwa tidak ada orang Islam yang mengatakan kebangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Keterangan ini, menurut ibnu Rusyd bertentangan dengan tulisan al Ghozali sendiri dalam buku lain, dalam buku itu al ghozali menyebut bahwa pembangkitan kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani. Oleh karena itu, tidak terdapat Ijma’ ulama tentang soal pembangkitan dihari kiamat. Dengan demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan jasmani, tidak ada tidaklah dapat dikafirkan.[11]

 

 

 



[1] Sirajuddin, Filsafat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),hlm. 221

[2] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:N.V. Bulan Bintang, 1983), hlm. 47

[3] Sirajuddin, op. cit.,hlm. 222

[4] Ibid., hlm. 223-224

[5] Ibid., hlm. 225

[6] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: PT. Bulan bintang, 1996), hlm. 166

[7] Ibid., hlm. 170

[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 118

[9] Sirajuddin, Filsafat Islam (Filosof Dan Filsafatnya), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 225-226

 

[10] Op. Cit., hlm. 121-122

[11] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta:N.V. Bulan Biintang, 1983), hlm. 53-54


Pemikiran Al Gazali

 



A. RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI

Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali. Beliau dilahirkan disebuah kampung bernama Ghazala pada Tahun 450 H / 1059 M. Dan wafat di Tabristan wilayah provinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir Tahun 505 H atau 1 Desember 1111 M.  Al- Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya dengan mempelajari Dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan untuk berguru kepada Imam al-Haramain Abi Al-Ma’ali Al-Jawainy, seorang ulama yang bermazhab syafi’I yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur. Diantara ilmu yang dipelejari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, Filsafat, Logika, Sufisme dan ilmu-ilmu alam.

Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali pergi ke Al-Azhar untuk berkunjung kepada menteri Nizam al-Mulk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Menteri Nizam al-Mulk akhirnya melantik Al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M sebagai guru besar (professor) pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad dan kemudian mengajar di sana selama empat tahun.

Pada tahun 488 H Al-Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dan kemudian setelah selesai mengerjakan haji, ia pergi ke Syiria untuk mengunjungi Baitul Maqdis , kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Pada saat itulah ia sempat mengarang sebuah kitab yang sampai saat ini kitab tersebut sangat terkenal  yaitu Ihya’ Ulumuddin. Ia tinggal di Damaskus selama kurang lebih 10 tahun dimana ia hidup dengan sederhana apa adanya.

Setelah Penulisan kitabnya selesai, ia kembali ke Baghdad untuk diminta mengajar kembali ke di Perguruan Nizamiyah, tetapi hanya berlangsung 2 tahun, dan akhirnya kembali ke kampong asalnya, Thus. Di kota Thus inilah akhirnya ia meninggal pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M.

Sesaat sebelum meninggal beliau sempat mengucapkan kata-kata yang juga diucapkan oleh Francis Bacon, filosuf Inggris, yaitu : “ kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi seutan dan buah bibir umat manusia di masa yang akan datang”.

Dalam sejarah Filsafat Islam mencatat bahwa Al-Ghazali pada mulanya dikenal sebagai orang yang ragu terhadap berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu yang dicapai melelui panca indera maupun akal pikiran. Dalam ilmu kalam (teologi) yang dipelejarinya dari Al-Juwaini ia mendapat keraguan, hal ini disebabkan karena dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan sehingga dapat membingungkan dalam menetapkan aliran mana yang betul-betul benar diantara semua aliran.

Sebagaimana dalam ilmu kalam, dalam filsafatpun Al-Ghazali meragukannya karena dalam filsafat dijumpai argument-argumen yang tidak kuat dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga ia menentang Filsafat. Al-Ghazali tidak hanya menentang pengetahuan yang dihasilkan akal pikiran tetapi ia juga menentang pengetahuan yang dihasilkan panca indera.  Karena menurutnya panca indera tidak dapat dipercaya yang mengandung kedustaan. Setelah tidak percaya pada kebenaran akal dan panca indera, lalu Al-Ghazali menempuh hidup tasawuf dan dalam tasawuflah ia merasa memperoleh kebenaran yang dicarinya.

  1. TIGA PERSOALAN METAFISIKA YANG BERLAWANAN DENGAN ISLAM

Ada pemikiran tentang filsafat Islam yang menurut Al-ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosuf harus dinyatakan sebagai orang ateis ialah:

1)      Qadimnya alam,

2)      Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal peristiwa-peristiwa kecil,dan

3)      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani

Qadimnya alam

Filosuf-filosuf mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya illat atas ma’lulnya, yaitu dari segi zat dan tingkatan , bukan dari segi zaman. Berikut adalah alas an=alas an mereka dan jawaban Al-Ghazali.


 


 


 


 


 


DAFTAR PUSTAKA

 

Leaman, Oliver. 1989. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : Rajawali

Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang

Nasution, Harun. 1998. Islam Rasional. Bandung : Mizan

Madkour, Ibrohim. 1996. Filsafat Islam Metode dan Penerapan. Jakarta : PT Raja       Grafindo Persada

Mustafa, H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung : C.V. Pustaka Setia

Pemikiran Al-Razi





A.    Biografi Al-Razi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya al-Razi. Di barat dikenal dengan Rhazes. Ia lahir di Ray dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Ia hidup pada pemerintahan Dinasti Saman (204 - 395 H). Pada masa mudanya ia menjadi tukang intan, penukar uang, dan sebagai pemusik kecapi. Pendek kata, Al-Razi adalah seorang yang ulet dalam bekerja dan belajar, karenanya tak heran jika ia tampak menonjol dibandingkan denga rekan-rekan samasanya, bahkan ia sangat tenar.
Pada masa Mansyur Ibn Ishaq Ibn Ahmad Ibn Asad sebagai gubernur Ray, Al-Razi diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit di Baghdad untuk menentukan lokasi ia mementingkan kebersihan dengan melakukann menggantungkan daging yang baru pada beberapa tempat yang dicadangkan sebagai tempat rumah sakit dan memilih tempat yag daging menjadi busuk paling lambat.[1]
Dalam menjalankan profesi kedokteran, ia dikenal pemurah, sayang kepada pasien-pasiennya, dermawan kepada orang-orang miskin dengan memberikan pengobatan kepada mereka secara Cuma-Cuma. Hitti mengatakan bahwa Al-Razi seorang dokter yang paling besar dan paling orisinal dari seluruh dokter muslim, dan juga seorang penulis yang paling produktif.
Kemasyuran Al-Razi sebagai seorang dokter tidak saja di dunia Timur, tapi juga di Barat, ia kadang-kadang dijuluki The Arabic Galen.
Dia meninggal dunia pada 5 Sya’ban 313 H (27 Oktober 925 M) setelah menderita sakit katarak yang dia tolak untuk diobati dengan pertimbangan sudah cukup banyak dunia yang pernah dilihatnya, dan tidak ingin melihatnya lagi. Salah satu penyebab matanya katarak karena ia sangat rajin menulis dan membaca.[2]

B.     Karir Intelektual Al-Razi
Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan enuli sehingga tidak mengherankan ia banyak menhasilkan karya tulis.
Dalam autobiografinya pernah dikatakan bahwa ia telah menulis tidak kurang  dari 200 buah karya tulisnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya Al-Raazi dimaksud adalah:
1.      Kitab al-Asrar (bidang Kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Geard of Cremon)
2.      Al-Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke 16)
3.      Al-Mansuri Liber al-Mansoris (bidang kedokteran, 10 jilid)
4.      Kitab al-Judar wa al Hasban (tentang analisa penyakit cacar dan campak)
5.      Al-Thibb al-Ruhani
6.      Al-Sirah al-Falsafiyyah
7.      Amarah al-Iqbal al-Dawlah
8.      Kitab al-Ladzdzah
9.      Kitab al-‘Ilm al-Illahi
10.  Maqalah fima ba’d al-Thabi’yyah, dan
11.  Al-Shukuk ‘ala proclus.[3]

C.    Pemikiran filsafat
1.      Logika
Al-Razi termasuk seorang rasionalis murni. Ia hanya mempercayai terhadap kekuatan akal. Bahkan pemujaan Al-Razi terhadap akal tampak jelas pada halaman pertama dari bukunya Al-Tibb. Ia mengatakan; “Tuhan segala puji bagi-Nya, yang  telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita.”
Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik dengan akal, kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh dan yang tersembunyi dari kita, denga alat itu pula kita dapat memperoleh pengtetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertingi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikia mulia dan penting, maka kita tidak boleh meremehkannya, kita tidak boleh menentukannya sebab ia adalah penentu/tidak boleh mengendalikan, sebab ia merupakan pengendali atau memerintah, sebab ia pemerintah tetap kita harus kembali kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita harus sesuai perintahnya.[4]

2.      Metafisika
Filsafat Al-Razi dikenal dengan ajarannya “Lima Kekal”, yaitu:
a.       Allah Ta’ala
Allah adalah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telh ada. Karena itu, alam semestinya tidak kekal, sekalipun materi pertama kekal, sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.
b.      Jiwa Universal
Jiwa universal merupakan al-mabda’ al-qadim alsany (sumber kekal yang kedua). Pada benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak sulit diketahui karena ia tanpa bentuk yang berasal dari jiwa universal yang juga bersifat kekal. Tetapi karena ia dikuasai na;uri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat menerima fisik. Sedangkan materi pertama tanpa fsik, maka Tuhan datang menolong roh agar jiwa itu dapat melampiaskan nafsu kejinya dengan mengambil bagian kesenangan-kesenangannya materil untuk sementara waktu.
c.       Materi pertama
Materi pertama menurut Al-Razi adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom itu tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila dunia dihancurkan, maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi itu kekal karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan. Materi ang padat sekali menjadi substansi bumi, yang lebih renggang daripada unsur bumi menjadi unsur air, yag yang lebih renggang lagi udara, dan yang terenggang api.
d.      Ruang absolut
Ruang menurut Al-Razi dibedakan menjadi dua macam: ruang partikular atau relatif, dan ruang universal atau mutlak.
Yang pertama terbatas dalam terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, ia tidak akan ada tanpa adanya maujud, karenanya itu tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud. Ruang partikular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada di dalamnya. Sedangkan yang kedua, universal, tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Ruang bagi Al-Razi, bisa saja berisi wujud / yang buka wujud, karena adanya kehampaan bisa saja terjadi.

e.       Masa Absolut
Adapun waktu, menurut Al-Razi adalah substansi yang mengalir (Jauhar Yasri) dan bersifat kekal. Al-Razi membagi waktu kepada dua bagian, yaitu waktu mutlak (al-dahr) dan waktu relatif (Al-Mahsur atau al-waqt). Al-Dahr adalah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat universal, terlepas sama seklai dari ikatan alam semesta, dan gerakan falak. Kekekalan zaman itu merupakan konsekwensi dari kekekalan materi. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka kalau materi kekal, zaman mesti kekal pula. Al-Mahsur/al-Waqt bersifat partikular dan tidak kekal, serta terbatas kare aia terikat dengan gerakan falak, terbit dan tenggelamnya matahari. Oleh sebab, jenis waktu ini dapat disifati oleh angka, atau tegasnya bisa diukur, seperti satu hari, satu bulan satu tahun, dan seterusnya.[5]

D.    Teologi Al-Razi
Meskipun Al-Razi seorang rasionalis murnia ia tetap bertuhan hanya ia tidak mengakui wahyu dan kenabian. Berikut gaya dan pokok-pokok penolakan Al-Razi. Bantahan Al-Razi terhadap kenabian dengan alasan:
1.      Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang berguna dan tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih dibuthkan nabi?
2.      Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab setiap orang lahir dengan kecerdasan yang sama, perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan (eksperimen)
3.      Para nabi saling bertentangan. Apabila mereka berbicara atas nama satu tuhan mengapa implementasi  mereka terhadap pertentangan? Setelah menolak enabian kemudian Al-Razi mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kaum yahudi Kristen ataupun Majusi. Pengikatan manusia terhadap agama adalah karena meniru dan kebiasaan, kekuasaan ulama yang mengabdi negara dan manifestasi lahiriah agama, upaacara-upacara, dan peribadatan yang mempengaruhi mereka yang sederhana dan naif.[6]


PENUTUP

Dari makalah yang kami buat, dapat disimpulkan bahwa Al-Razi yaitu seorang filsuf yang hidup pada masa pendewaan akal secara berlebihan. Bahkan dalam sejarahnya dialah satu-satunya pemikir rasional murni sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari segala prasangka dan terlalu berani dalam mengemukakan gagasan-gagasan filosofnya.
Sehubungan dengan penolakan terhadap wahyu dan kenabian serta tidak mengakui adanya semua agama, maka dipandang dari segi teologi Islam adalah belum muslim karena keimanan yang dipeluknya tidak konsekuen dalam pengertian tidak utuh.
Demikian penyajian makalah tentang Abu Bakar Al-Razi. Dari hal yang sedikit ini semoga dapat bermanfaat bagi kita. Kurang lebihnya kami mohon maaf.



DAFTAR PUSTAKA


Zar, Sirajuddin, Haji. 2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Mustofa, H.A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Nasution, Harun. 1999. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang.



[2] Prof. Dr. H. Sirajudin Zar, M.A. Filsafat Islam: Fiilosof dan Filsafatnya, (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004), h. 116.
[3] Dr. Hasyimsyah Nasution, MA., Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 25.
[4] Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 118.
[5] Ibid, h. 26.
[6] Ibid, h. 124.