1. Perkawinan dengan wanita musyik: tidak bertuhan (atheis) dan murtad.
Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita muysrik.
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. Al-Baqarah : 221).
Ibnu Hazim berkata bahwa tidak dihalalkan bagi seorang wanita muslimah menikahi seorang lelaki yang tidak beragama Islam. Tidak pula dihalalkan bagi seorang kafir untuk memiliki seorang hamba sahaya yang muslim dan juga seorang budak wanita muslimah.
Adapun wanita murtad walaupun ia telah pindah dan memeluk agama ahli kitab, seperti agama Nasrani atau Yahudi maka tidak dihalalkan bagi seorang muslim mengawini wanita yang telah kelar dari Islam. Kerena, dengan keluarnya dari Islam, berarti ia telah terhukum di dalam Islam dengan hukuman mati, sebagaimana sabda Rasulullah SAW
“Barang diapa yang mengganti agamanya, hendaklah kamu membunuhnya”[1]
2. Perkawinan dengan wanita Majusi
Pria muslim juga tidak memperbolehkan mengawini wanita Majusi (penyembah api), sebab mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian jumhur ulama berpendapat, dan yang dimaksud ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.[2]
Imam Syafi’I berkata, “Ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari bani Israel . Adapun umat-umat lain yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, tidak termasuk dalam kategori kalimat “Ahli Kitab”, karena Nabi Isa a.s dan Nabi Musa a.s tidaklah diutus kecuali kepada bani Israel , dan dakwah mereka tidaklah disampaikan kepada selain mereka dari umat-umat lainnya yang ada di muka bumi.”
Mungkin Imam Syafi’I berpendapat seperti ini karena bersandar pada hadits sahih yang marfu’ (diangkat sanadnya) kepada Rasulullah SAW.
“Semua nabi diutus hanya untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia”[3]
3. Laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab.
Berbeda dengan larangan mengawini perempuan musyrik, penyembah berhala, matahari, bintang dan sebagainya, atau ateis, atau murtad (yang keluar dari agama Islam) sebagaimana telah diuraikan di atas, Al-Qur’an menghalalkan bagi laki-laki muslim mengawini perempuan dari kalangan Ahli Kitab, (walaupun tidak sebaliknya; yakni seorang perempuan muslimah mengawini leki-laki non muslim, baik dari kalangan ahli kitab ataupun selir mereka. Yang demikian itu haram dan tidak sah hukumnya, sebagaimana akan diuraikan kemudian).[4]
Tentang dibolehkannya laki-laki muslim mengawini perempuan dari ahli kitab, Allah SWT berfirman :
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makananmu itu halal pula bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan) diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu…” (al-Mai’dah: 5)
Ayat tersebut jelas menghalalkan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli-kitab. Namun, sebagian ulama mazhab Syafi’I menyatakan bahwa yang dimaksud ahli-kitab dalam ayat tersebut adalah kaum Yahudi dan Nasrani yang masih berpegang pada kitab suci Taurat dan Injil sebelum mengalami perubahan atau distorsi. Sedangkan mereka yang ada sekarang, yakni sesudah kedatangan agama Islam, tidak termasuk ahli-kitab yang perempuan-perempuan mereka halal dinikahi oleh laki-laki muslim.[5]
4. Perkawinan seorang laki-laki ahli kitab dengan wanita muslimah
Sayyid Quthb menyerang dengan keras seruan yang busuk ini, yang dilakukan oleh Umar bin Faruwwakh dan Abu Syadi di dalam pengasingan, seraya berkata,
“Sesungguhnya perkawinan seorang laki-laki Ahli kitab dengan seorang wanita muslimah, hukumnya haram, karena anak-anak keturunan dari keduanya akan di panggil dengan nama-nama bapak mereka, sesuai dengan hukum syariat Islam. Istilah yang pindah ke keluaraga suami dan kaumnya dan tanah tempat tinggalnya, menurut hukum realitas yang ada. Ia akan hidup jauh dari kaumnya sehingga kemungkinan besar kelemahannya dan kesendiriannya di sana akan menjadikan fitrah terhadap keislamannya. Sebagaimana anak-anaknya akan dipanggil dengan nama suaminya sehingga mungkin saja mereka (anak-nak) akan memeluk agama yang bukan agama ibunya, sesuai dengan hukum lingkungan, sedangkan Islam wajib untuk selalu mengayomi dan menjaga umatnya.”
Perkawinan dengan wanita non muslim adalah penyelewengan.
Seorang istri yang non muslim pasti akan menanamkan adab kebiasaan yang tidak Islami pada anak-anaknya, walaupun tidak dengan sengaja. Bahkan suami sendiri akan terpengaruh dengannya dan tidak akan selamat dari penganutnya. Apabila suami sangat mencintainya pasti ia akan melepas kalung agamanya dari lehernya minimal, ujian yang ia dapatkan adalah ia akan banyak menyaksikan dengan matanya sendiri bahwa akhlak dan nilai-nilai keislamannya, serta prinsip peradabannya terinjak-injak di rumahnya secara terang-terangan.[6]
KESIMPULAN
Berkenaan dengan tema makalah, mengenai perkawinan antara kaum muslim dan non muslim maka akan muncul pertanyaan, apakah mungkin ketenangan jiwa diperoleh dalam suatu rumah tangga yang berlainan akidah dan apakah mungkin mendidik anak-anak yang salah dalam satu keluarga yang beragam keyakinan?
Dalam suatu rumah tangga yang suami istrinya sama-sama muslimpun masih dipertanyakan, apakah sukses atau tidak dalam membina rumah tangga? Tentu kekhawatiran itu lebih terasa lagi, dan cukup beralasan apabila yang memberikan pendidikan suami istri yang berlainan akidah.
Menurut hemat penulis, jalan yang lebih aman adalah menghindari dari persoalan-persoalan yang banyak mengandung teka-teki dan memilih jalan yang sudah jelas arahnya, yaitu kawin dengan sesama muslim. Dengan demikian risiko yang dihadapi lebih kecil dalam membina rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali, 2006, Pedoman Hidup Dalam Berumah Tangga, Jakarta : Prenada Madia Group.
Al-Jabri, Abdul Muta’al 2003, Apa Bahayanya Menikah Dengan Wanita Non Muslim? Jakarta : Gema Insani Press.
www.google.com
EmoticonEmoticon