A. Perkawinan Campuran (Antar Agama) Menurut Hukum Islam
1. Pendapat pertama
Islam tidak mengenal perkawinan antar pemeluk agama atau perkawinan campuran karena perkawinan yang diperkenankan yang diatur ketentuannya sebagai dispensasi dalam Al Qur'an QS. Al Maidah ayat 5, “tidaklah termasuk perkawinan dengan penganut-penganut agama Islam sebelum Nabi Muhammad SAW”.[1]
Alasan yang mendasarkan pendapat pertama ini adalah QS. Al Baqarah ayat 221 yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang-orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajark ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan perintah-nya kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdasarkan musyawaran nasional I tanggal 26 Mei – 1 Juni 1980 di Jakarta, yang telah diumumkan kembali tanggal 8 Nopember 1986, mengeluarkan fatwa bahwa mengharamkan perkawinan antara orang-orang muslim dengan non muslim termasuk yang dimaksudkan adalah perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab (yahudi / nasrani) tetapi diharamkan dengan pertimbangan karena mafsadatnya (bahayanya) lebih besar dari maslahatnya.[2]
2. Pendapat kedua
Dikenal adanya perkawinan antar pemeluk agama atau perkawinan campuran.
Alasan yang kedua ini yaitu pengecualian yang diatur oleh Allah dalam QS. Al Maidah ayat 5, mempertahankan laki-laki muslim menikah dengan wanita-wanita ahlul kitab termasuk di dalamnya yahudi dan kristen. Apabila wanitanya yang muslim laki-lakinya yahudi atau kristen, tetap ditolak.[3]
Prof. Mahmud Junus mengemukakan bahwa laki-laki muslim boleh mengawini perempuan yahudi / nasrani. Tetapi perempuan muslimah tidak boleh dikawinkan kepada laki-laki yahudi atau nasrani.
Di dalam kitab-kitab fiqh umumnya, perkawinan antar pemeluk agama ini masih dimungkinkan, yaitu antara seorang laki-laki muslim dengan wanita kitabiyah, yang menurut beberapa pendapat adalah mereka yang beragama Yahudi dan Nasrani. Hal ini dibolehkan karena wanita Kitabiyah berpedoman kepada kitab yang aslinya berasal dari wahyu Allah.[4]
Hal ini berdasarkan QS. Al Maidah ayat 5 yang berbunyi :
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# ÇÎÈ
Artinya :
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan-makanan orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalakan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antar wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya”
Terhadap ayat tersebut, Al-Nawawi menjelaskan bahwa menurut Imam al-Syafi’i, kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya Al Qur'an. Namun setlah diturunkannya Al Qur'an, dan mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama ahli kitab tersebut telah dinasakh.
3. Pendapat ketiga
Pendapat ini merupakan pendapat tengah, sebagai jalan keluar antara kedua pendapat tersebut di atas tetapi masih tetap dalam konteks yaitu mendalilkan argumentasinya dari Al Qur'an dan hadits Rasulullah SAW.
B. Akibat Hukum Dari Perkawinan Campuran (Antar Agama)
Bila berdasarkan pendapat dari Fatwa MUI tanggal 1 Juni 1980 yang diulang lagi tanggal 8 Nopember 1986, maka perkawinan antara pria Islam dengan wanita ahlul kitab (yahudi dan nasrani) haram hukumnya. Anak-anak hanya bernasab pada ibunya saja dan tidak pada bapaknya. Demikian juga anak tidak mewarisi dari bapak.
Bilamana pendapat kedua yang dianut, maka perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlul kitab, akibat hukumnya sama dengan perkawinan pria muslim dengan wanita muslim yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan. Anak menjadi sah suami istri, dan berhak saling mewaris antara ayah dengan anak, demikian juga antara suami istri. Bila sebaliknya yang terjadi, justru wanitanya muslim, prianya ahlul kitab, akibat hukumnya perkawinannya menjadi tidak sah.
Menurut pendapat ketiga, bila dipenuhi persyaratan laki-laki itu harus taat patuh dan bertakwa kepada Allah dan benar-benar takwa dan dapat membimbing istri dan anak-anaknya menjadi muslim dan muslimat, maka akibat hukum dari perkawinan itu sah, asal saja dipenuhi baik syarat maupun rukun-rukun perkawinan, sepeti membayar mahar, ijab qabul dan sebagainya.
C. Perkawinan Campuran (Antar Agama) Menurut Undang-Undang Perkawinan
Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam UU Perkawinan. Demikian juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. UU Perkawinan hanya mengatur tentang perkawinan di luar Indonesia , dan perkawinan campuran.
Pasal 40 Kompilasi menegaskan :
Dilarang melangsungkan pekawinan antara yang pria dan seorang wanita karena keadaan tertentu:[5]
- Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
- Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
- Seorang wanita yang tidak beragama Islam
Pasal 44 :
Seorang wanita Islam dilarang melangsngkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Pasal 1 ayat 2 peraturan tentang perkawinan campuran tersebut menentukan bahwa perbedaan agama, kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan.
Selanjutnya Pasal 2 menyatakan : Seorang perempuan (istri) yang melakukan perkawinan campuran selama pernikahan itu belum putus, maka si perempuan (istri) tunduk kepada hukum yang berlaku untuk suaminya maupun hukum publik maupun hukum sipil.[6]
Pasala 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur : bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Bila terjadi ada perkawinan campuran antar agama masih harus berpegang kepada ketentuan lama yaitu Pasal 6 dari Regeling op de Gemengde Huwelijken Staatsblad 1898 Nomor 158, yang menjadi rujukan dari Pasal 66 UU Perkawinan ini.
KESIMPULAN
James Leslie Mc Cary dalam bukunya Fredom and Growth in Marriage mengatakan bahwa perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama frekuensi perceraiannya dua atau tiga kali lebih besar dari perkawinan dengan pasangan yang tidak berbeda agama. Kawin yang paling ideal yang tidak saja memberikan kebahagiaan di dunia ini, tetapi juga sampai di akhirat nanti adalah kawin segama.
Dalam rumah tangga, suami istri mesti saling percaya-mempercayai, sehingga tidak ada yang rahasia di antara mereka, apalagi rahasia yang terkait dengan strategi pengembangan agama Allah dalam rumah tangga yakni Islamisasi anak dan keturunan.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, Andi Haid. 1987. Kawin Campur dalam Dimensi Kemanusiaan. Jakarta : Pelita.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1987. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta : Bina Aksara
Ramulyo, Moh. Idris. 2006. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peadilan Agama dan Zakat. Jakarta : Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Ibid, hal. 60
[2] Andi Hamid Amrullah, Kawin Campuran dalam Dimensi Kemanusiaan, Jakarta : Pelita, 1987.
[3] Moh. Idris Ramulyo, op.cit, hal. 63
[4] Drs. Ahmad Rofiq, M.A, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 344
[5] Ibid, hal 343
[6] Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara,a 1987, hal. 65
EmoticonEmoticon