November 14, 2022

KUALIFIKASI KONSELOR

                                                                    

A.    Pendahuluan
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang terarah, continue dan sistematis kepada setiap individu agar ia dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal, sehingga sangatlah dibutuhkan tenaga pembimbing (konselor).
Mengingat begitu pentingnya tenaga pembimbing (konselor) dalam suatu sekolah, maka perlu diketahui dan diperhatikan tentang kualifikasi tenaga pembimbing (konselor), agar proses bimbingan dapat berjalan lancar.
B.     Pembahasan
1.      Kualifikasi konselor
Suatu program bimbingan yang efektif menghendaki pelayanan seorang anggota staff yang cakap dan berwenang disamping guru-guru biasa. Anggota staff yang dimaksud itu adalah guru penyuluh atau konselor.
Untuk menghadapi kebutuhan dewasa ini seorang konselor harus memilki beberapa kualifikasi yang memungkinkannya. Untuk dapat melaksanakan tugas penyuluhan dengan hasil yang baik, diantaranya:
a.       Memiliki kecapakan scholastik
Kecakapn scholastik seorang konselor harus memadai, karena cepat atau lambat ia harus mampu menatar dirinya sehingga menjadi sarjana penuh.
b.      Memiliki minat terhadap pekerjaannya dan berpribadi baik.
c.       Memahami prinsip-prinsip yang mendasari bimbingan individuil serta hubungannya dengan keseluruhan program pendidikan.
d.      Kemampuan untuk bertindak secara ramah dan bijaksana terhadap anak-anak dan orang dewasa selama diadakan wawancara.
e.       Kemampuan untuk memahami dan menghargai anak-anak.
f.       Kemampuan untuk mendengarkan dan mendapatkan informasi dari murid-murid dari orang tua.
g.      Pengetahuan yang memadai mengenai teori-teori perkembangan jiwa.[1]
Keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor adalah:
·         Keterampilan interpersonal
Konselor yang efektif mampu mendemonstrasikan perilaku mendengar, berkomunikasi, empati, kehadiran (present), kesadaran komunikasi non-verbal, sensitifitas terhadap kualitas suara, responsivitas terhadap ekspresi emosi, pengambil alihan, menstruktur waktu, dan menggunakan bahasa.
·         Keyakinan dan sikap personal.
Kapasitas untuk menerima yang lain, yakin adanya potensi untuk berubah, kesadaran terhadap pilihan etika dan moral, sensitivitas terhadap nilai yang dipegang oleh klien dan diri.
·         Kemampuan konseptual
Kemampuan untuk memahami dan menilai masalah klien, mengantisipasi konsekuensi tindakan dimasa depan, memahami proses kilat dalam kerangka skema konseptual yang lebih luas, mengingat informasi yang berkenaan dengan klien, fleksibilitas kognitif dan keterampilan dalam memecahkan masalah.
·         Ketegaran personal.
Tidak adanya kebutuhan pribadi atau keyakinan irasional yang sangat merusak hubungan konseling, percaya diri, kemampuan untuk menoleransi perasaan yang kuat atau tak nyaman dalam hubungan dengan klien, batasan pribadi yang aman, mampu untuk menjadi klien, tidak mempunyai prasangka sosial, etnosentris, dan autoritarianisme.
·         Mengusai teknik
Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana melaksanakan intervensi tertentu, kemampuan untuk menilai efektifitas intervensi, memahami dasar pemikiran di belakang teknik, memiliki simpanan intervensi yang cukup.
·         Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial
Termasuk kesadaran akan keluarga dan hubunga kerja dengan klien, pengaruh agensi terhadap klien, kapasitas untuk mendukung jaringan dan supervisi. Sensitivitas terhadap dunia sosial klien yang mungkin bersumber dari perbedaan gender, etnis, orientasi seks, atau kelompok umur.
·         Terbuka untuk belajar dan bertanya
Kemampuan untuk waspada terhadap latar belakang dan masalah klien. Terbuka terhadap pengetahuan baru. Menggunakan riset untuk menginformasikan praktik.[2]
Kerangka etika praktik yang baik dari BACP (2001: 4) secara eksplisit bersumber dari perspektif “kebajikan” dengan mengidentifikasikan serangkaian personal yang harus dimiliki oleh semua praktisi:
-          Empati : kemampuan untuk mengkomunikasikan pemahaman terhadap pengalaman orang lain dari perspektif orang itu sendiri.
-          Ketulusan : komitmen pribadi untuk konsisten terhadap apa yang dinyatakan dan apa yang dilakukan.
-          Integritas : kesederhanaan, kejujuran, dan koherensi pribadi.
-          Fleksibilitas : kemampuan untuk menangani apa yang menjadi perhatian klien tanpa harus mengacuhkannya secara personal.
-          Rasa hormat : menunjukan keyakinan untuk menilai dan memahami kekuatan dan kelemahan seseorang.
-          Kesederhanaan : kemampuan untuk menilai dan memahami kekuatan dan kelemahan seseorang.
-          Kompetensi : keterampilan dan pengetahuan efektif yang dibutuhkan untuk melakukan apa yang dipersyaratkan.
-          Keadilan : aplikasi kriteria yang tepat secara konsisten untuk menginformasikan keputusan dan tindakan.
-          Kebajikan : memiliki kemampuan untuk menilai sebagai dasar untuk bertindak.
-          Keberanian : kapasitas untuk bertindak tanpa terpengaruh rasa takut, resiko dan ketidakpastian.[3]
Menurut W.S Winkel, Konselor yang tergabung dalam Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) harus memiliki :
v Sikap, keterampilan dan pengetahuan
-       Agar dapat memahami orang lain dengan sebaik-baiknya, konselor harus terus menerus berusaha menguasai dirinya. Ia harus mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendahnya mutu layanan profesional serta merugikan kliennya.
-       Dalam melakukan tugasnya membantu klien, konselor harus memperhatikan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, sadar diri, dan tidak boleh dogmatis. Disamping itu, konselor harus jujur, tertib, hormat dan percaya pada paham hidup sehat.
-       Ia harus memiliki sikap tanggung jawab terhadap lembaga dan individu yang dilayani, maupun terhadap ikatan profesinya.
-       Konselor harus lebih terbuka terhadap saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya, khususnya dari rekan-rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
-       Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin. Untuk itu ia harus terampil menggunakan teknik-teknik dan prosedur-prosedur khusus yang dikembangkan atas dasar ilmiah.
-       Untuk melakukan pekerjaan konselor dengan kewenangan penuh diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang hakikat dan tingkah laku orang. Tentang teknik dan prosedur layanan bimbingan dan pengetahuan-pengetahuan penunjang lain. Penguasaan dalam pengetahuan tersebut memerlukan pendidikan lengkap tingkat sarjana dibawah pembinaan ahli.
-       Pekerjaan sebagai konselor muda atau guru pembimbing (disekolah-sekolah) memerlukan jenis pengetahuan dasar yang sama seperti yang dituntut dari seorang konselor yang berkewenangan penuh dan yang diperolehnya dari pendidikan khusus (tingkat sarjana muda atau kurang) dibawah pembinaan ahli.
v Pengetahuan kewenangan
Untuk dapat bekerja sebagai konselor ata guru pembimbing, diperlukan pengakuan keahlian kewenangan oleh badan khusus yang dibentuk oleh IPBI atas dasar wewenang yang diberikan kepada badan tersebut oleh pemerintah.[4]
Ditambahkan pula oleh Michael yang dikutip oleh Slameto dalam bukunya “Bimbingan di Sekolah”, menurutnya ada beberapa kualitas pribadi yang perlu diperhatikan oleh konselor, yaitu:
-          Sanggup berbicara dengan bahasa orang lain atau murid
-          Fleksibel dan sanggup mengubah tingkah lakunya.
-          Memiliki sense of humor dan rasa aman.
-          Mampu menyimpan rahasia.
-          Menjadi pengamat yang aktif.
-          Sanggup mengendalikan emosi
-          Menunjukan empati dan memiliki integritas.
-          Tulus ikhlas dan dapat dipercaya.[5]
-          Seorang pembimbing harus sehat fisik maupun psikisnya.
-          Seorang pembimbing harus mempunyai inisiatif yang cukup baik sehingga dapat diharapkan adanya kemajuan didalam usaha bimbingan dan penyuluhan kearah keadaan yang lebih sempurna demi kemajuan sekolah.[6]
-          Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial.
-          Kemampuan konseptual.
-          Terbuka untuk belajar dan bertanya.[7]
2.      Yang berhak menjadi pembimbing (Klasifikasi Personil Bimbingan)
Klasifikasi tenaga-tenaga bimbingan taraf keahlian dalam menangani pelayanan bimbingan dilembaga pendidikan sekolah, antara lain:
a.       Konselor sekolah, yaitu tenaga profesional yang mencurahkan seluruh waktunya pada pelayanan bimbingan.
b.      Guru pembimbing atau konselor, yaitu seorang guru yang disamping mengajar disatu bidang studi terlibat juga dalam rangkaian pelayanan bimbingan termasuk layanan konseling.[8]
3.      Keuntungan dan kelemahan Personil Bimbingan
a.       Koselor Sekolah
v Keuntungan-keuntungan :
-          Adanya kemungkinan bagi pembimbing untuk memusatkan segala perhatian dan kemampuannya khusus pada soal-soal bimbingan, terlepas dari kewajiban mengajar. Dengan demikian, maka dapat diharapkan bimbingan dan penyuluhan akan berlangsung lebih sempurna.
-          Perhatian pembimbing dapat menyeluruh meliputi seluruh kelas dan seluruh anak dengan perhatian yang sama.
-          Anak dapat dengan bebas menyatakan segala sesuatu kepada pembimbing, tidak terhalang adanya prasangka didalam menyatakan problemnya.
v Kelemahan-kelemahan :
-          Pembimbing tidak mempunyai alat yang praktis untuk mengadakan hubungan secara menyeluruh dengan anak-anak.
-          Kadang-kadang keadaan bersifat kaku, karena lebih menitik beratkan pada struktur dari soal fungsi.
-          Kalau pembimbing dipegang oleh tenaga yang khusus, maka soal ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendidiknya.
b.      Guru pembimbing atau guru konselor.
v Keuntungan-keuntungan :
-          Guru mempunyai alat yang praktis untuk mengadakan pendekatan terhadap anak-anak, dengan demikian dapat melihat keadaan anak-anak dengan lebih seksama dan didalam kelas guru pembimbing dapat mengamati anak dengan sebenarnya.
-          Situasi menjadi luwes, tidak kaku, dan setiap waktu guru dapat bertindak sebagai pembimbing.
-          Kebutuhan akan tenaga pembimbing segera dapat dipenuhi, hal ini dapat ditempuh dengan job training bagi guru-guru.
v Kelemahan-kelemahan :
-          Karena guru berhubungan dengan mata pelajaran dan ini berhubungan langsung dengan dengan nilai, maka anak-anak akan kurang terbuka untuk menyatakan problemnya.
-          Tanpa disadari ada kemungkinan guru pembimbing lebih menekankan kepada kelas yang diajarnya melebihi dari kelas-kelas yang lain.
-          Dengan ditambahnya tugas guru itu, berarti menambah beban pertanggung jawaban dari guru.
-          Jalannya bimbingan bisa saja terjadi secara simpang siur.[9]
C.    Penutup.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Seorang pembimbing (konselor) adalah seorang pemimpin dikalangan anak didik/ anak bimbingannya. Yang berkemampuan tinggi dalam melakukan komunikasi dengan mereka dan menjadi suri tauladan dalam tingkah laku serta bersikap melindungi anak bimbingannya dari kesulitan-kesulitan yang ada, serta menunjukan jalan pemecahan terhadap kesulitan yang dialami.
2.      Seorang konselor harus memiliki kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang luas agar proses bimbingan berjalan dengan lancar.
3.      Tenaga pembimbing di lembaga sekolah ada dua macam, yaitu: konselor sekolah dan guru pembimbing atau guru konselor, yang masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan sendiri-sendiri.


[1] I. Djumhur dan Moh. Surya, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Bandung: Ilmu, 1975, hal. 133
[2] John Mc Leod,  Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, Edisi Ketiga, Jakarta: Kencana, 2006,  hal. 536-537
[3] Ibid, hal. 441-442
[4] W.S Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 1997, hal. 772
[5] Slameto, Bimbingan dan di Sekolah, Jakarta: Bina Aksara, 1988,  hal. 91
[6] M. Umar dan Sartono, Bimbingan dan Penyuluhan, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal. 44
[7] John Mc Leod, Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, hal. 537
[8] W.S Winkel, Op. Cit, hal. 187
[9] M. Umar dan Sartono, Op.Cit, hal. 46

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon