A.
Kritik Sosial amar ma’ruf nahi mungkar
حَدَ ثَنَا
أَبُوْ بَكرِيْنِ أبِيْ شَيْبَةُ: حَدَّ ثَنَاوَكِيْعُ عَنْ سُفْيَا نَ: ح:
وَحَدَّ ثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُِ الْمُتَنَّى : حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُّ بْنُ
جَعْفَرِ : حَدَّ ثَنَا شُعْبَهُ كِلاَهُمَا عَنْ قَيْ قيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ , عَنْ
طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ , وَهَذَا حَدَّ ثت أَبِيْ بَكْرٍ قَا
لَ : اَوَّلُ مَنْ بَدَ أَ بِالْحُطْبَةِ يَو مَ الْعِيْدِ قَبْلَ الصَّلاَةُ
قَبْلَ الحُطْبَةِ ؟ .فَقَلَ : قَدْ تُرْكَ مَا هُنَالِكَ فَقَلَ اَبُوْ سَعِيْدٍ
: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ , سَمِعْتُ رَسُوْ لُ للهْ صَلَّ للهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْ لُ " مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُفَيَّرْهُ بِيَدِهِ افَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَا نِهِ, فَاِلَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَ ذَ لِكَ أَضْعَفُ اْلاءِيْمَانٍ ,,
Kosa
kata :
مُنْكَرً
: Mungkar
فَلْيُفَيِّرْ
: Tangan
فَبِلِسَانِهِ : Ucapan
فَبِقَلْبِهِ
: Hati
الاِيْمَانِ : Iman
“Telah berkata
kepadaku abu bakar abi syaibah : telah berkata kepadaku waki dari sufyan :
ikha; dan berkata kepadaku Muhammad bin al mutsana ; telahberkata kepadaku
muhammad bin ja’far : telah berkata kepadaku kepadaku syu’bah keduanya dari kois bin muslim, dari toriq bin
syihab, dan ini adalah ucapan dari abu bakar berkata : seorang pertama kali
berkhutbah sebelum sholat id, marwan, maka seorang laki-laki berdiri telah
telah berkata kepadanya : sholat sebelum khutbah ?. kemudian abu bakar menjawab
sungguh telah ditinggalkan yang seperti itu. maka abu said berkata : adapun hal
ini telah ditetapkan atas sholat id, saya mendengar Rasulullah saw bersabda :
barang siapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tanganya,
jika tidak mampu, hendaklah dengan ucapannya, jika tidak mampu juga, denga
hatinya, namun hal itu adalah selemah-selemahnya iman.[1]
B. Penjelasan
Tidak benar bila hadits ini dijadikan alasan oleh
sebagian ulama bahwa perintah berbuat baik itu dibebankan kepada umara
(penguasa pemerintah). sedangkan perintah berbuat makruf dengan ucapan
dibebankan kepada ulama, dan perintah berbuat makruf dengan hati ditugaskan
kepada kaum awam.
Kata man (siapa) dalam hadits diatas mengandung arti
umum, meliputi siapa saja yang mampu mengubah kemungkaran dengan tangan, ucapan
atau dengan hati, baik mencegah itu dari kelompok pemerintah, ulama, ataupun
masyarakat awam bila memang mereka mengerti betul tentang bahaya yang
ditimbulkan oleh merajalelanya perbuatan mungkar. Hadits tersebut ditunjukan
kepada semua orang (mengotak-ngotakan tingkat yang ada didalam masyarakat).
kata umati yang termaktub
dalam firman Allah swt.
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# .( سُوْ رَاةْ :
اَلْعِمْرَانْ : ۱۰٤)
Artinya :
“Dan hendaklah diantara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada ma’ruf, dan
mencegah yang mungkar. merekalah orang-orang yang beruntung ,”(Ali Imron : 104)
Memmpunyai arti umum, meliputi semua umat dengan berbagai
tingkatan stratifikasinya, baik itu pemerintah, ulama, ataupun masyarakat. jika
tidak demikian, apakah umat akan mampu mengawasi musuh yang selalu berusaha dan
bersekongkol untuk membunuh agama dan moral umat, merusak akidah dan
rumah-rumah suci, menyebarkan kezaliman dan kerusakan di uka bumi, dan
hendaklah mematikan cahaya Allah swt. Dengan mulut-mulut mereka? mana mungkin
umat dapat menyatakan sikap bila tidak bahu membahu menumpas kemungkaran.
Berdiri dalam satu barisan menghadapi orang-orang zalim.[2]
Hendaklah kaum pendidik menanamkan benih keberanian pada
jiwa anak untuk berkata dan bertindak sehingga anak sejak dini dapat
melaksanakan kontrol pendapat umum, amar ma’ruf nahi mungkar, dan kritik sosial
yang membangun dan kebijaksanaan kepada setiap orang.[3]
C. Bertahap
dalam menentang kemungkaran
Didalam memberantas kemungkaran, hendaknya seseorang melangkah
secara bertahap. Dimulai dengan mengenal kemungkran tanpa melakukan kegiatan
mata-mata , kemudian memberikan pengertian kepada orang yang melakukan
kemungkaran bahwa perbuatan itu termasuk mungkar, selanjutnya mencegah dengan
memberikan pelajaran, petunjuk, nasehat dan meluruskan kepada Allah swt. Jika
nasehat dan petunjuk tidak bermanfaat baginya, maka dapat dilakukan dengan
perkataan yang keras, setelah itu ancaman dan intimidasi.
Kemudian, mengadakan perubahan dengan tangan, seperti
dengan menghancurkan tempat-tempat hiburan (maksiat), membakar kedai-kedai
menuman dan mencegah permusuhan. Lalu mengadakan perubahan dengan jamaah dan
lainnya tanpa senjata. Ini boleh dilakukan jika dalam keadaan terpaksa serta
terpenuhi kebutuhan.
Disamping itu, disyaratkan agar perubahan itu tidak
menimbulkan fitnah di kalangan umat. Selanjutnya, mengubah kemungkaran dengan
jamaah dengan menggunakan senjata. Disinilah, individu-individu tidak
diperkenankan memisahkan diri. Sebab hal itu akan menyebabkan bertambahnya
fitnah, menambah kerusakan dan runtuhnya negara.
Menurut ahli fiqih, dasar yang berlaku dialam mengubah
kemungkaran, tidak boleh menggunakan cara keras, jika tindakan palingringan
masih bermanfaat. jika orang yang melakukan kemungkaran dapat diubah dengan
kelembutan dan nasehat, maka orang dalam mengubahnya itu tidak boleh
menggunakan kekerasan. Misalnya dengan menggunakan kata-kata yang kasar. Dan
jika menggunakan perubahan dengan ancaman-ancaman dapat digunakan, tidak boleh
mengadakan perubahan dengan tangan, orang yang akan memberantas kemungkaran
harus bersifat bijak dan mengetahui dasar-dasar yang berlaku didalam menentang
kemungkaran sehigga, ia tidak utuh ke dalam berbagai kekeliruan yang
menimbulkan akibat-akibat negatif.[4]
Nilai Tarbawi
1. Apabila
melihat kemungkaran cegahlah dengan tangan
2. Apabila
tidak bisa dengan tangan maka cegahlah dengan lisan/ucapan
3. Apabila
tidak bisa dengan tangan atau ucapan maka ubahlah dengan hati
4. Cegahlah
kemungkaran dengan cara lembut dan nasihat apabila masih berguna.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
apabila seseorang melihat kemungkaran haruslah dicegah dengan cara lembut
apabila masih berlaku agar tidak terlalu jauh berbuat mungkar dari
ajaran-ajaran atau perintah-perintah Allah swt, kepada kita semua. Karena
mengubah yang makruf tidak saja berlaku untuk pemerintah, ulama saja melainkan
untuk kita semua dan untuk mengubahnya ada tingkatan-tingkata sendiri yaitu :
1. Melihat
kemungkaran cegah dengan tangan
2. Apabila
tidak bisa dengan tangan maka dengan ucapan
3. Apabila
kedua-duanya tidak bisa maka dengan hati maka ini selemah-lemahnya iman.
Dan sesungguhnya perbuatan baik adalah perbuatan yang
disuakai Allah swt, dan sesama makhluk dengan berbuat ma’ruf maka akan tercipta
kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan
anak menurut islam, 1990, (Bandung : PT. Rosdakarya) Cet I
Muslim, Imam, Al-kutub
al-sittah, 2000 (Efta riyad Dar al-salam)
Nashih
Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak dalam islam, 2002, ( Jakarta : PT
Pustaka Usmani) Cet III
EmoticonEmoticon