November 15, 2022

AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR





A.    Kritik Sosial amar ma’ruf nahi mungkar

حَدَ ثَنَا أَبُوْ بَكرِيْنِ أبِيْ شَيْبَةُ: حَدَّ ثَنَاوَكِيْعُ عَنْ سُفْيَا نَ: ح: وَحَدَّ ثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُِ الْمُتَنَّى : حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُّ بْنُ جَعْفَرِ : حَدَّ ثَنَا شُعْبَهُ كِلاَهُمَا عَنْ قَيْ قيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ , عَنْ طَارِقِ بْنِ  شِهَابٍ , وَهَذَا حَدَّ ثت أَبِيْ بَكْرٍ قَا لَ : اَوَّلُ مَنْ بَدَ أَ بِالْحُطْبَةِ يَو مَ الْعِيْدِ قَبْلَ الصَّلاَةُ قَبْلَ الحُطْبَةِ ؟ .فَقَلَ : قَدْ تُرْكَ مَا هُنَالِكَ فَقَلَ اَبُوْ سَعِيْدٍ : أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ , سَمِعْتُ رَسُوْ لُ للهْ صَلَّ للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْ لُ " مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُفَيَّرْهُ بِيَدِهِ افَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَا نِهِ, فَاِلَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَ ذَ لِكَ أَضْعَفُ اْلاءِيْمَانٍ ,,
Kosa kata :
مُنْكَرً    : Mungkar
فَلْيُفَيِّرْ       : Tangan
فَبِلِسَانِهِ  : Ucapan
فَبِقَلْبِهِ   : Hati
الاِيْمَانِ   : Iman

 “Telah berkata kepadaku abu bakar abi syaibah : telah berkata kepadaku waki dari sufyan : ikha; dan berkata kepadaku Muhammad bin al mutsana ; telahberkata kepadaku muhammad bin ja’far : telah berkata kepadaku kepadaku syu’bah  keduanya dari kois bin muslim, dari toriq bin syihab, dan ini adalah ucapan dari abu bakar berkata : seorang pertama kali berkhutbah sebelum sholat id, marwan, maka seorang laki-laki berdiri telah telah berkata kepadanya : sholat sebelum khutbah ?. kemudian abu bakar menjawab sungguh telah ditinggalkan yang seperti itu. maka abu said berkata : adapun hal ini telah ditetapkan atas sholat id, saya mendengar Rasulullah saw bersabda : barang siapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tanganya, jika tidak mampu, hendaklah dengan ucapannya, jika tidak mampu juga, denga hatinya, namun hal itu adalah selemah-selemahnya iman.[1]
B.     Penjelasan
Tidak benar bila hadits ini dijadikan alasan oleh sebagian ulama bahwa perintah berbuat baik itu dibebankan kepada umara (penguasa pemerintah). sedangkan perintah berbuat makruf dengan ucapan dibebankan kepada ulama, dan perintah berbuat makruf dengan hati ditugaskan kepada kaum awam.
Kata man (siapa) dalam hadits diatas mengandung arti umum, meliputi siapa saja yang mampu mengubah kemungkaran dengan tangan, ucapan atau dengan hati, baik mencegah itu dari kelompok pemerintah, ulama, ataupun masyarakat awam bila memang mereka mengerti betul tentang bahaya yang ditimbulkan oleh merajalelanya perbuatan mungkar. Hadits tersebut ditunjukan kepada semua orang (mengotak-ngotakan tingkat yang ada didalam masyarakat).
kata umati yang termaktub dalam firman Allah swt.

`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# .( سُوْ رَاةْ : اَلْعِمْرَانْ : ۱۰٤)

Artinya :
“Dan hendaklah diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada ma’ruf, dan mencegah yang mungkar. merekalah orang-orang yang beruntung ,”(Ali Imron : 104)
Memmpunyai arti umum, meliputi semua umat dengan berbagai tingkatan stratifikasinya, baik itu pemerintah, ulama, ataupun masyarakat. jika tidak demikian, apakah umat akan mampu mengawasi musuh yang selalu berusaha dan bersekongkol untuk membunuh agama dan moral umat, merusak akidah dan rumah-rumah suci, menyebarkan kezaliman dan kerusakan di uka bumi, dan hendaklah mematikan cahaya Allah swt. Dengan mulut-mulut mereka? mana mungkin umat dapat menyatakan sikap bila tidak bahu membahu menumpas kemungkaran. Berdiri dalam satu barisan menghadapi orang-orang zalim.[2]
Hendaklah kaum pendidik menanamkan benih keberanian pada jiwa anak untuk berkata dan bertindak sehingga anak sejak dini dapat melaksanakan kontrol pendapat umum, amar ma’ruf nahi mungkar, dan kritik sosial yang membangun dan kebijaksanaan kepada setiap orang.[3]

C.    Bertahap dalam menentang kemungkaran
Didalam memberantas kemungkaran, hendaknya seseorang melangkah secara bertahap. Dimulai dengan mengenal kemungkran tanpa melakukan kegiatan mata-mata , kemudian memberikan pengertian kepada orang yang melakukan kemungkaran bahwa perbuatan itu termasuk mungkar, selanjutnya mencegah dengan memberikan pelajaran, petunjuk, nasehat dan meluruskan kepada Allah swt. Jika nasehat dan petunjuk tidak bermanfaat baginya, maka dapat dilakukan dengan perkataan yang keras, setelah itu ancaman dan intimidasi.
Kemudian, mengadakan perubahan dengan tangan, seperti dengan menghancurkan tempat-tempat hiburan (maksiat), membakar kedai-kedai menuman dan mencegah permusuhan. Lalu mengadakan perubahan dengan jamaah dan lainnya tanpa senjata. Ini boleh dilakukan jika dalam keadaan terpaksa serta terpenuhi kebutuhan.
Disamping itu, disyaratkan agar perubahan itu tidak menimbulkan fitnah di kalangan umat. Selanjutnya, mengubah kemungkaran dengan jamaah dengan menggunakan senjata. Disinilah, individu-individu tidak diperkenankan memisahkan diri. Sebab hal itu akan menyebabkan bertambahnya fitnah, menambah kerusakan dan runtuhnya negara.
Menurut ahli fiqih, dasar yang berlaku dialam mengubah kemungkaran, tidak boleh menggunakan cara keras, jika tindakan palingringan masih bermanfaat. jika orang yang melakukan kemungkaran dapat diubah dengan kelembutan dan nasehat, maka orang dalam mengubahnya itu tidak boleh menggunakan kekerasan. Misalnya dengan menggunakan kata-kata yang kasar. Dan jika menggunakan perubahan dengan ancaman-ancaman dapat digunakan, tidak boleh mengadakan perubahan dengan tangan, orang yang akan memberantas kemungkaran harus bersifat bijak dan mengetahui dasar-dasar yang berlaku didalam menentang kemungkaran sehigga, ia tidak utuh ke dalam berbagai kekeliruan yang menimbulkan akibat-akibat negatif.[4]


Nilai Tarbawi

1.      Apabila melihat kemungkaran cegahlah dengan tangan
2.      Apabila tidak bisa dengan tangan maka cegahlah dengan lisan/ucapan
3.      Apabila tidak bisa dengan tangan atau ucapan maka ubahlah dengan hati
4.      Cegahlah kemungkaran dengan cara lembut dan nasihat apabila masih berguna.


KESIMPULAN


Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa apabila seseorang melihat kemungkaran haruslah dicegah dengan cara lembut apabila masih berlaku agar tidak terlalu jauh berbuat mungkar dari ajaran-ajaran atau perintah-perintah Allah swt, kepada kita semua. Karena mengubah yang makruf tidak saja berlaku untuk pemerintah, ulama saja melainkan untuk kita semua dan untuk mengubahnya ada tingkatan-tingkata sendiri yaitu :
1.      Melihat kemungkaran cegah dengan tangan
2.      Apabila tidak bisa dengan tangan maka dengan ucapan
3.      Apabila kedua-duanya tidak bisa maka dengan hati maka ini selemah-lemahnya iman.
Dan sesungguhnya perbuatan baik adalah perbuatan yang disuakai Allah swt, dan sesama makhluk dengan berbuat ma’ruf maka akan tercipta kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera.




DAFTAR PUSTAKA


Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak menurut islam, 1990, (Bandung : PT. Rosdakarya) Cet I
Muslim, Imam, Al-kutub al-sittah, 2000 (Efta riyad Dar al-salam)
Nashih Ulwan, Abdullah, Pendidikan anak dalam islam, 2002, ( Jakarta : PT Pustaka Usmani) Cet III



[1] Drs. Abdullah Nashih ulwan, pendidikan anak menurut islam, Jakarta : PT. Remaja Rosda Karya, th 1990 hl. 190-191
[2] Imam muslim, Al- kutub al sittah, riyadh dar al-salam, th 2000
[3] Ibid2
[4] Drs. Abdullah Nashih Ulwan, pendidikan anak dalam islam, Jakarta : pustaka usmani 2002 hl 619-620

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon