November 16, 2022

UPACARA ADAT TUJUH BULAN KEHAMILAN (MITONI) DALAM PANDANGAN ISLAM

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 Ajaran Islam bisa dinyatakan kuat bila ajaran itu telah mentradisi dan membudaya ditengah-tengah masyarakat Islam. Tradisi dan Budaya menjadi sangat menentukan dalam kelangsungan syiar Islam ketika tradisi dan budaya telah menyatu dengan ajaran Islam, karena tradisi dan budaya merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubah tradisi adalah sesuatu yang sangat sulit. Maka suatu langkah bijak ketika tradisi dan budaya tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi justru tradisi dan budaya sebagai pintu masuk ajaran.

Lepas dari itu , agama adalah mustadim dan membawa misi memustadimkan sesuatu yang belum mustadim, termasuk mensakralakan 9tidak diperkenankan seseorang menyentuh) sesuatu nilai tradisi yang sebenarnya tidak sakral.

Sesuai dengan judul, maka makalah kali ini akan membahas salah satu tradisi-tradisi Islami yang telah  mentradisi dan membudaya ditengah-tengah masyarakat Islam yaitu upacara adat 7 bulan kehamilan (tingkepan) atau sering juga disebut Walimatul Haml.

Manusia yang tak sempurna pastilah produk-produknya tidak akan sempurna termask penyusun, apalagi sekapasitas mitsli yang berkedangkalan ilmu. Segala kesalahan dan yang terlewatkan dalam makalah ini mohon maaf dan semoga dapat diupayakan perbaikan.

 


BAB II

UPACARA 7 BULAN KEHAMILAN

(MITONI) DALAM PANDANGAN ISLAM

 

1.      Pengertian

Mitoni atau walimatul haml artinya selamatan untuk wanita hamil. Dalam masyarakat jawa disebut tingkepan. Tingkepan menurut bahasa berarti upacara selamatan tujuh bulan untuk wanita yang sedang hamil.[1] Di daerah Jawa Timur bagian pantura, ada yang menyebut acara walimatul haml ini dengan  mrocoti” suatu bentuk tafa’ul, dimana calon bayi yang masih dalam kandungan lahir dengan selamat, lancar dan tiada halangan apa-apa “langsung procot” langsung lahir. Procot itu sendiri artinya sudah lahir.

Masalah kehamilan ini mendapat perhatian khusus dalam agama Islam. Bagi pasangan suami isteri yang baru saja melaksanakan akad nikah, kehamilan adalah harapan pertama dan utama. Kehamilan menjadi kebanggaan tersendiri dan menjadi berita gembira dalam setiap keluarga. Semua pasangan suami istri harapan pertama setelah melangsungkan akad nikah adakah selepasnya mendapatkan keturunan. Do’a yang dipanjatkan pada saat walimatul ‘urusy tidak pernah ketinggalan, pasti mendo’akan agar kedua pengantin selekasnya diberi keturunan.[2]

Kata Md. Ali Al-Hamidy ‘turunan” adalah buah atau hasil dari pergulatan hidup; tujuan akhir dari bersuami istri; dan dia pula yang menjadi semarak rumah tangga, kalau disusun dengan peraturan yang sebaik-baiknya.

Sebagai ungkapan rasa syukur para orang tua yang dikaruniai anak keturunan, sejak janin masih berada dalam kandungan sudah dipersiapkan segala sesuatunya demi untuk menyongsong kelahirannya. Segala perangkat dan perlengkapan disiapkan, setiap waktu do’a dipanjatkan, ungkapan syukur tiada henti meluncur dari hati sanubari setiap insan. Karena itu, berita kehamilan dari pasangan suami istri menempati tempat istimewa di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.[3]

 

2.      Tradisi Mitoni

Sebgai ungkapan rasa syukur dalam menyambut berita kehamilan dari pasangan suami istri, dalam masyarakat jawa terdapat suatu tradisi berupa ritual yang khusus diperuntukan bagi seorang wanita yang sedang mengandung yaitu selamatan ngapati (saat kandungan berusia empat bulan), dan mitoni (pada saat usia kandungan genap enam atau tujuh bulan). Selamatan ini disebut dengan tingkepan. Ada juga yang menyebut dengan mrocoti, yang merupakan tafa’ul. Seraya mengharapkan agar janin dalam kandungan dan ibunya sehat, pada saat kelahirannya lancar, langsung keluar (procot, Jawa) tanpa ada kesulitan dan halangan apapun.[4]

Orang Jawa menamai usia kehamilan tujuh  bulan itu Sapta Kawasa jati. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Artinya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. Namun apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan lancar agar bayi di dalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan seta keselamatan.

Tradisi Tingkepan ini hanya ada di Indonesia, khususnya di Jawa. Masyarakat jawa, menurut DR. K. H. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, terkenal dengan tradisinya yang beragam, mulai dari yang bersifat ritual yang berbau mistis sampai yang bersifat seremonial. Kalau dicermati, tradisi yang ada sekarang itu tidak terbentuk dengan sendirinya. Tradisi di samping dipengaruhi oleh pola pikir sekarang, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh generasi pendahulu. Dengan demikian ia selalu menghubungkan pada generasi pendahulu yang pada saat itu memiliki faham dan agama atau kepercayaan yang berbeda-beda sehingga tidak semua tradisi sesuai dengan syari’at. Oleh karena itu, sebagai pewaris tradisi, hendaknya tidak mengadopsinya secara sporadis, tetapi selalu menimbang atau mengukur terlebih dahulu dengan ukuran syari’at. Termasuk juga dengan tradisi tingkepan ini, baik dalam acara ritual ngapati atau mitoni ini.

Pelaksanaan ritual tujuh bulanan ini dihubungkan dengan proses perkembangan janin yang ada dalam kandungan, di mana manusia diciptakan oleh Allah dari saripati tanah, kemudian tanah tersebut dijadikan air mani (sperma) yang ada pada seorang laki-laki, setelah terjadi persemaian antara sperma (dari seorang laki-laki, dengan induk telur dari seorang perempuan), maka selanjutnya terjadi pembuahan di dalam rahim seorang perempuan. Kemudian menjadi janin yang tumbuh berkembang di dalamnya hingga akhirnya menjadi manusia sempurna. Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman:

 

“ Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maha sucilah Allah, sebaik-baik Pencipta

(Q. S Al Mu’minun: 12-14)

Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan sang pencipta. Bermula dari ujud (benda) yang tak bernilai (sperma) lalu secara bertahap berubah menjadi janin (embrio), kemudian tumbuh menjadi segumpal darah hingga menjadi segenggam daging, selanjutnya tumbuh menjadi tulang belulang yang terbungkus oleh daging, hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, akal budi dan perasaan.

Semua proses tersebut terjadi dengan kuasa Allah SWT, tanpa kita minta atau kita pesankan sebelumnya. Sebagai ungkapan atas peristiwa yang menakjubkan itu, ketiga ayat tersebut diakhiri dengan kalimat yang mengagungkan Allah Ta’ala

 

Maha sucilah Allah, sebaik-baik Pencipta

 

Mengenai terjadinya janin hingga menjadi manusia yang sempurna, Rasulullah saw menyatakan proses yang terjadi pada kandungan dalam rahim, juga ditentukan kepastian (takdir) hidupnya baik yang berkaitan dengan rizki, masa hidup (ajal) hingga perilakunya nanti di dunia. Semuanya telah ditetapkan didalam rahim sebelum manusia dilahirkan.

Fase-fase manusia yang paling penting dan genting adalah tiga hari yaitu saat dilahirkan, saat dicabut nyawanya (meninggal) dan saat dibangkitkan kembali dari alam kubur. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt.

 

Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.

 

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali".

 

Oleh karena itu, seyogyanya kita senantiasa memohon kepada Allah agar diselamatkan dari lirikan dan sentuhan setan pada hari kelahiran, pada hari kematian supaya selamat dari tercabut iman dari himpitan kubur dan pada hari kebangkitan supaya selamat dari siksa dan murka Allah.[5]

 

3.      Pelaksanaan Walimatul Haml

Pelaksanaan walimatul haml dalam tradisi jawa dan masing-masing daerah tidak sama, waktunya pun berbeda-beda tergantung situasi dan kondisi kemampuan penyelenggara. Upacara walimatul haml ada yang dilaksanakan dua kali dan ada yang hanya sekali. Bagi yang melaksanakan dua kali biasanya dilaksanakan pada bulan keempat (ngapati) dan selanjutnya pada bulan ketujuh (mitoni).

a.    Kehamilan pertama bulan keempat yang disebut ngapati yaitu membuat selametan beurpa:

-            Nasi punar yaitu nasi uduk yang dibuat kuning dengan kunyit dengan lauk pauk daging kerbau, sambal goreng ati, rempela dan jantung.

-            Apem yaitu kue yang dibuat dari beras ragi dan gula kelapa

-            Ketupat dengan bentuk kupat sinta, kupat luwar dan kupat jago

Makna selametan tersebut pada dasarnya agar benih yang dikandung akan tetap sehat dengan mengingatkan wanita yang hamil itu perlu makan yang bergizi dan perlu minum jamu tradisional.

b.    Kehamilan bulan ketujuh

Apabila usia kehamilan telah mencapai usia 7 bulan, upacaranya khusus dengan penuh tata upacara misalnya wanita yang sedang hamil 7 bulan dimandikan dengan air kembang setaman oleh para sesepuh. Dalam upacara itu wanita yang hamil berganti-ganti kain batik sampai 7 kali dan diakhiri dengan kain bermotif sidomuki, sidomulyo atau sidoasih. Kain batik yang terakhir dngan motif-motif tersebut mempunyai makna agar anak yang dilahirkan kelak menjadi bahagia. Disamping itu perlu disediakan kelapa gading muda yang dilukisi wayang Kamajaya dan Ratih, dengan harapan bahwa kelak bila bayi lahir perempuan seperti Dewi Ratih cantiknya dan bila laki-laki seperti Hjang Kamajaya bagusnya atau gantengnya.

Mengapa Hyang Kamajaya? Karena Hyang Kamajaya tidak playboy seperti Harjuna yang istrinya banyak mengapa Dewi Ratih? Karena Dewi Ratih sangat setia dengan suaminya yaitu Hyang Kamajaya dan tidak bersedia dimadu seperti Dewi Wara Subadra.[6]

Dalam upacara mitoni atau tingkepan ini disamping bersedekah juga diisi pembacaan doa dengan harapan si bayi dalam kandungan diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia. Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman:

 

Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".

 

Pada hakikatnya kedua bentuk selamatan yang dikhususkan kepada ibu hamil di atas, baik ngapati atau mitoni adalah berupa kegiatan sedekah dan do’a dengan harapan agar keinginannya terkabul, khususnya agar ibu dan janin yang dikandung senantiasa diberi keselamatan, kesehatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia, menjadi anak shalih/shalihah.

Mengingat hakikat selamatan adalah sedekah dan do’a, maka sangat tidak dibenarkan bila seseorang memaksakan untuk menyelenggarakan selamatan di luar batas kemampuannya apalagi hukum walimah haml ini tidak wajib mengadakan walimah boleh tidak diadakan, cukup berdo’a sendiri saja pun tidak masalah. Sekali lagi, jangan memaksakan  diri dan walaupun mampu  jangan terlalu mewah dan berlebihan.

Hendaknya disadari, bahwa masih ada yang lebih wajib dan lebih penting dalam urusan anak daripada sekedar melaksanakan walimah secara berlebih-lebihan dalam kondisi berkemampuan. Allah sangat mengecam sikap berlebih-lebihan hingga memaksanakan diri dan bersikap boros Allah berfirman:

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

 

Sudah menjadi kebiasaan umum di tengah-tengah masyarakat adanya kecenderungan membesar-besarkan perkara sunat, atau perkara mubah tapi menelantarkan perkara yang wajib. Kalau menyelenggarakan selamatan berlomba-lomba secara besar-besaran tapi untuk menyumbang pembangunan masjid, musholla, madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan lain-lain berlomba kecil-kecilan, bahkan saling mengundurkan diri. Sikap semacam iniharus perlahan-lahan diubah. Marilah kita lakukan suatu amalan secara wajar dan tempatkan sesuatu pada tempat yang layak pula. Kita utamakan perkara yang terpenting, baru yang agak penting, dan tinggalkan perkara yag mubadzir.[7]

 

4.      Proses Tahapan Pelaksanaan Mitoni

Tahap pelaksanaannya berurutan bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana, sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore dan dihadiri oleh segenap sanak keluarga, para tetangga serta handai taulan.

a.    Siraman

Siraman artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang dikandung. Lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yadan didekor indah, disebut krobongan atau bisa juga dilakukan di kamar mandi.  Sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunaa diambil dari tujuh sumber atau bisa juga dari air berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari tarakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati kantil serta kenangan. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih unutk tugas memandikan, seolah tanpa saingan yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya.

Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting ataupun gelang akar bahar, dan hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi. Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih ada dagingnya.

Bunga-bunga yang menempel di sekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting ke lantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. Jika cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin akan berteriak “Cowok! Laki!! Jagoan! Harno!” dan komentar-komentar lain yang menggambarkan anaknya nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berkepin-keping, dipercaya anaknya nanti bakal cewek.

Acara ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesak ingin melihat dan ramai berkomentar, sementara sang MC dengan bersemangat menyiarkan berita seputar pandangan mata. Siraman selesai, sang calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk dan hair dryer supaya tidak perlu kerokan, masuk angin.

 

b.    Brojolan

Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah, putih dan hitam. Merah melambangkan kasih sayang calon ibu, puth melambangkan tanggung jawab calon bapak atau bokap bagi kesejahteraan keluarganya nanti. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuaya. Tidak ada letrek, janur pun jadi.

Calon nenek memasukkan tropong (alat tenun) ke dalam lilitan kain jarit kemudian dijatuhkan ke bawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol lahir dengan lancar. Tidak ada tropong, telur ayam pun jadi.

Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa gading yang telah digambari lewat lilitan kain jarit yang dikenakan oleh calon ibu. Sepasang kelapa gading tersebut bisa ditato gambar Kamajaya dan Dewi Ratih. Para selebriti perwayangan tersebut dikenal berwajah cantik dan ganteng. Harapannya adalah agar anak yang lahir kelak bisa keren seperti mereka. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.

Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan dengan ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga.

Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak: “Perempuan!” Apabila tidak terbelash, hadirin boleh berteriak: “laki-laki!” dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinging sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang.

c.    Pemakaian Busana

Selesai brojolan, calon ibu dibimbing ke ruangan lain untuk dikenai busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sidoluhur, sidoasih, sidomukti, gondosuli, semenraja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu persatu.

Setiap berganti hingga kain yang keenam, pemandu akan bertanya kepada hadirin sudah pantas atau belum dan hadirin akan menjawab serentak: “belum!” ketika kain ke tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab sudah. Sudah pantas dan selayaknya. Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk calon bapak ibunya. Gaya pendudukan seperti ini disebut angreman, bukan menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami telurnya.

Sebelum matahari terbenam, sebelum ayam tertidur, seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan, tuntas, tas.

d.   Eyang

Semodern apapun jaman ini nantinya berkembang, perasaan ketika kita menantikan hadirnya seorang cucu pasti tidak akan berubah. Rasanya pasti tetap saja mendebarkan. Bagaimaan tidak, karena sebentar lagi, sepasang papah dan mamah ini akan menjelma menjadi sepasang kakek dan nenek. Gelar eyang akan segera melekat. Ini artinya kita musti jaga kelakuan, tidak bisa dan tidak bisa lagi neko-neko dan tidak bisa tidak itu bakal terjadi, sekitar dua bulan lagi setelah upacara mitoni.

 

5.      Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Saat Hamil

Seorang perempuan yang sedang hamil sebaiknya menjauhi maknan kacang-kacangan, makanan yang panas, makanan yang rasanya pahit, makanan kelas rendah dan makanan campur-campur. Makanan yang sangat baik dikonsumsi adalah jambu biji (terutama di bulan ketiga dan keempat) dan sebagai konsumsi hariann adalah daging ayam, buah delima, buah apel manis dan lain-lain. Baik juga mengunyah kemenyan Arab (musthaka atau luban), yang mana denga mengkonsumsi kemenyan Arab ini akan dapat menambah kecerdasan anak, mempertajam daya ingat, meghilangkan sifat pelupa dan menghentikan lendir. Sedangkan jambu biji menyebabkan bayi /anak rupawan (Quran al-Uyun: 42)

Pada bulan-bulan yang akhir saat menunggu kelahiran – disamping menjaga kesehatan – sebaiknya senantiasa mengerjakan shalat hajat dan membaca Al-Qur’an, surat Luqman dan Surat Maryam dan surat-surat yang lain dan memperbanyak do’a berikut:

اُعِيْذُهُ بِا الْوَاحِدِ الصَّمَدِ مِنْ شَرِّ كُلِّ دِيْ مَسَدِ

Aku memohon perlindungan untuk kandungan anak ini kepada Allah Yang Maha Esa lagi sebagai tempat meminta dari kejahatan setiap orang yang dengki.[8]

 

Menurut Dr. H. Ali Akbar “Allah menghendaki laki-laki muslim dan perempuan muslimah agar membentuk keluarga muslim yang akan menghasilkan keturunan-keturunan muslim dan keturunan-keturunan muslim inilah yang diharapkan akan dapat menghasilkan keluarga-keluarga dan masyarakat Islam yang berusaha menjamin perdamaian di dunia ini.

Untuk mencapai tujuan di atas, Islam menganjurkan menikah dengan perempuan yang peranak, bukan perempuan yang mandul dan mengajurkan berkeluarga besar, bukan keluarga kecil. Yang dimaksud dengan keluarga besar di sini adalah keluarga yang banyak anak, dengan Bapak-Ibu yang sehat mampu pula medidik mereka menjadi rang-orang Islam yang taat.[9]

 

6.      Hukum Walimatul Haml

Mengenal hukum ritual yang disebut 7 bulanan atau tingkeban adalah boleh (jawaz). Memang terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama. Ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak, bahkan ada yang menyatakan sebagai bid’ah aabihah (bid’ah yang jelek). Bila dalam acara tingkepan hanya diisi dengan kegiatan membaca Al-Qur’an dan shalawat, ditambah dengan shadaqah dari shohibul baik untuk para tamu, maka hal itu adalah adat yang baik dan tidak melanggar syariat Islam. Maka kegiatan semacam itu jelas tidak dilarang. Kalaupun ada yang mengatakan bid’ah maka hal itu termasuk bid’ah hasanah, dan tidak menjadi alasan terlarangnya kegiatan itu. Dan bila masih terdapat adat yang menyimpang dari syariat agama,  maka para ulama’ wajib mengingatkan dan meluruskannya.

Dan sepanjang pengamatan kami, khususnya di daerah kami sendiri, kegiatan tingkepan ini pada umumnya hanya diisi dengan kegiatan membaca Al-Qur’an, sholawat dan do’a bersama serta diakhiri dengan makan bersama. Dengan demikian, maka huum kegiatan tingkepan yang diisi dengan membaca Al-Qur’an dan shalawat adalah boleh (jawaz).

Di sini kami kutipkan pula fatwa dari Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. Imam besar masjid Istiqlal Jakarta dan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI pusat, yang juga memperbolehkannya kata beliau, “Menurut pengamatan kami selama ini ritual semacam ini berisikan do’a bersama agar anak yang ada di kandungan nanti lahir dengan selamat, kelak menjadi anak yang shaleh dan bernasib baik, ritual itu biasanya diakhiri dengan makan bersama, menyedekahkan makanan pada tetangga di sekitar rumah.”[10]

Ini tentu dianjurkan agama jika dilihat dari isi dan tujuan ritualnya yang tidak bertentangan dengan norma dan ajaran Islam.

 

 


BAB III

KESIMPULAN

 

Dalam menyikapi tradisi masyarakat seperti ini, seyogyanya kita tidak terlalu gegabah dengan memfonis bid’ah, tersesat atau lainnya sebelum mengetahui benar substansi perbuatannya kita telusuri terlebih dahulu bagaimana prosesi kegiatan itu, apa latar belakang, niat, tujuan dan prosesinya. Dan ternyata kegiatan tingkepan ini dlakukan dengan niat untuk mengajak berdo’a bersama atau meminta do’a para hadirin yang diundang.

Setelah ditelusuri dan diamati secara cermat dan mendalam mulai dari niat, tujuannya, tata cara dan prosesinya ternyata tidak terdapat hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam. Meskipun kegiatan semacam ini belum ada di masa Nabi dan sahabat termasuk nama kegiatannya.

Banyak perbuatan yang belum pernah ada pada zaman Nabi SAW baik nama atau prosesinya, kemudian pada perkembangannya diadakan oleh para sahabat dan ulama pada generasi berikutnya seperti shalat tarawih, menjilid Al-Qur’an menjadi satu buku, adzan memakai pengeras suara dan lain-lain. Termasuk juga kegiatan tingkeban ini walaupun belum pernah dilakukan Nabi dan para sahabat, sepanjang prosesinya tidak ada yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak ada larangan untuk melakukannya, apalagi mencegahnya.

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Aziz S, Moh. Saifullah. 2009. Kajian Hukum-hukum Walimah (Selamatan). Surabaya: Terbit Terang.

Chafidh, M. Afnan dan A. Ma’ruf Asrori. 2006. Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian. Surabaya: Khalista.

Pusat Bahasa Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indnesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengnal Busaya Jawa. Jakarta:  PT. Pradnya Paramita.

http://debrito.net/isi/mitono-satu-peristiwa-seribu-makna. diakses 14 Desember 2010.

 



[1] Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, PN Balai Pustaka, 2001, h. 1198.

[2] Ust. Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz , Kajian Hukum-hukum Walimah (Selamatan), (Surabaya: PT. Terbit Terang, 2009), h. 89.

[3] Ibid, h. 90-92.

[4] Ibid., h. 93

[5] Ibid., hal. 94-98

[6] Thomas Wiyasa Bratawijaya, Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), Cetakan I, hal. 117-118

[7] Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz, op.cit., hal. 101-102

[8] M. Afnan Chafidh – A. Ma’ruf Asrori, Op.Cit., h. 11.

[9] Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz, Op.Cit., h. 111.

[10] Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz, Op.Cit., h. 114-115.


Artikel Terkait


EmoticonEmoticon