I.
Pendahuluan
Perbincangan tentang free sex
akhir-akhir ini mendapatkan perhatian yang amat tinggi. Di media elktronik
seakan dapat disaksikan pada setiap program infotainment dan dialog-dialog yang
ditayangkan oleh stasiun TV. Media cetak juga tidak ketinggalan mengekspos
besar-besaran di seputar kehidupan seksual umat manusia ini. Dua peristiwa yang
melatarbelakangi terhadap pemberitaan ini adalah dua hal yang berbeda, tetapi
memiliki dampak yang luar biasa.
Pertama, video mesum Yahya Zaeni
(YZ) dengan Maria Eva (ME). Yahya Zaini mendapat sorotan tajam di antaranya
karena dia memiliki background sebagai anggota DPR dari fraksi Partai Golkar,
mantan aktivis PB HMI, dan koordinator bidang keruhanian Partai Golkar.
Sementara itu, Maria Eva yang alumni SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo ini sebagai
penyanyi dangdut yang berarti sebagai public figure. Kedua, berita poligami
K.H. Abdullah Gimnastiar atau lebih dikenal dengan Aa’ Gym. Pemberitaan
terhadap Aa’ Gym diantaranya adalah karena ia seorang mubaligh yang sedang
berada di atas puncak popularitas. Sebagai pengasuh Pesantren Daruttauhid
Bandung, ia memiliki jaringan radio yang sangat luas di berbagai daerah dan TV
Manajemen Qolbu yang sering diajarkan kepada umat, saat ia poligami menuntutnya
untuk melaksanakannya lebih disiplin.
Meskipun dua kasus ini berbeda,
tetapi ada benang merahnya, yaitu seks. Yang pertama terkait dengan eksploitasi
seks di luar akad pernikahan dan kemudian diekspos ke luar, sedangkan yang
kedua adalah tentang penyaluran libido seksual yang diikat dalam pernikahan
kedua atau poligami. Yang pertama masyarakat seakan sudah ada konsensus bahwa
eksploitasi seks tersebut bertentangan dengan agama dan norma budaya bangsa,
meskipun hal tersebut diakui wajar dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
dewasa, karenanya YZ dan ME tetap bisa diterima oleh masyarakat meskipun
hukuman sosial dirasakan amat berat. Kasus kedua merupakan ajaran agama yang
debatable, diakui sekaligus digugat bahkan ada yang mengharamkan. Realitasnya,
poligami secara hukum dan perundang-undangan tetap halal, tidak dilarang oleh
undang-undang, dan hanya dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan, seperti
dijadikan alat pemuasan nafsu seksual pelakunya. Meskipun demikian, Aa’ Gym
telah menerima perlakuan sosial yang luar biasa keras, seperti cemoohan dan perlakuan lain
yang dapat mengurangi kenyamanan hidupnya.
Tulisan ini hendak mengkaji tentang
kearifan lokal Jawa terkait dengan kehidupan seks. Tulisan ini tidak membahas
tentang halal-haram video mesum, dan tidak mengkaji tentang kontraversi di seputar
poligami. Kajian difokuskan pada seksualitas masyarakat Jawa.
II. Pembahasan
A. Binalitas Politik
Godaan hidup bagi orang, menurut
orang Jawa adalah harta, wanita, dan tahta. Harta menjadi godaan hidup dalam
arti kurang atau berlebih menyangkut kesejahteraan ekonomi. Orang dalam
kemiskinan rentan terjerumus dalam kekafiran. Orang yang dilanda miskin-papa
akan mudah digoda oleh lingkungan sosialnya untuk menggadaikan kehormatannya.
Kemiskinan bisa membuat orang tidak menggunakan nalar sehatnya sehingga ia
tergoda untuk mencuri, menjual harga diri dengan melacur seksual (PSK), dan
melacur politik sebagai broker dan pecundang politik dengan korupsi dan menjual
keadilan
Kesejahteraan berlebih berarti
kekayaan yang melimpah. Kekayaan juga akan mampu menggoda seseorang untuk
berperilaku aneh seperti berfoya-foya, berlebih-lebihan (isyraf dan tabdzir),
berperilaku aniaya terhadap yang miskin, ingin meraih kekuasaan lewat uang dan
kekayaan yang dimiliki, maka terjadilah “money politics”, dan berperilaku
seksual menyimpang atau minus moral dengan mempermainkan lain jenis sebagai
pemuas nafsu.
Wanita sebagai penggoda maksudnya
adalah libido seksual yang menggelora yang disimbolkan dengan kata wanita. Cinta
buta menempatkan nafsu seksual menjadi dominan dan mempengaruhi alur pikir dan
kebijakan yang diambil. Nafsu seksual jika telah menjadi orientasi hidup, maka
individu tersebut membuat semua keputusan dalam hidupnya merupakan transaksi
untuk kepentingan kepuasan diri. Harta dan kekuasaan yang semestinya menjadi media
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan komunitas sosialnya sebaliknya
digunakan untuk mendapatkan kepuasan seks kepada siapapun yang diminatinya.
Tahta menggoda seseorang untuk
berperilaku lalim terhadap rakyatnya. Idealnya, harta atau kemampuan ekonomi,
wanita, atau nafsu-syahwat (yang mampu membuat manusia survive di bumi), dan
tahta atau kekuasaan politik dijadikan sebagai media untuk pengabdian kepada
Tuhan dan sesama. Untuk itu, setiap individu yang mampu eling lan waspada,
ingat dan waspada terhadap godaan dan mampu mengaturnya akan menjadi potensi
untuk kebaikan hidupnya.
Dalam konteks politik yang terjadi
akhir-akhir ini, menurut Boni Hargens4 sebagai binalitas politik karena politik
tidak hanya rakus uang (harta) dan kekuasaan (tahta) atau banality of politics,
tetapi juga haus seks (binality of politics). Ciri banal dan binal dalam
politik kita sangat memalukan dan telah menisbikan prinsip moralitas dalam
politik yang menunjukkan defisit moral pribadi para pejabat publik dan defisit
moral politik secara general. Permainan uang, janji-janji jabatan, dan
pelayanan seks dalam berpolitik menunjukkan indikator dekadensi moral yang amat
memprihatinkan.
B.
Seks dalam Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa memandang perempuan
sebagai makhluk indah yang dengan kecantikannya menunjukkan sisi keserasian dan
keindahan. Menurut falsafah Jawa, perempuan adalah bumi yang subur, yang siap
menumbuhkan tanaman. Perempuan adalah bunga yang indah, menebarkan bau harum
mewangi dan membuat senang siapa saja yang melihatnya. Wanita ideal dalam
budaya Jawa digambarkan panyandra. Panyandra merupakan lukisan keindahan,
kecantikan, dan kehalusan melalui ibarat.
Membincang seksualitas perempuan
Jawa dimulai dari hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial
Jawa yang erat sangkut-pautnya dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan
biologis. Masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga
dan masyarakat Jawa umumnya, meskipun dalam percakapan banyak lelucon mengenai
seks. Bahkan, seorang kiai juga sering bercerita tentang seks kepada santri dan
umatnya. Pembicaraan dan pengetahuan tentang seks mengalir di antara teman
akrab, kawan seprofesi, atau kawan bermain, dan ada juga yang mendapatkan dari
wanita-wanita tunasusila di warung-warung pinggir jalan.
Oleh karena ada rasa tabu dalam
pembicaraan seks, orang Jawa memiliki simbol lingga yoni. Lingga melambangkan
falus atau penis, alat kelamin laki-laki. Yoni melambangkan vagina, alat
kelamin perempuan. Simbol-simbol ini sudah lama dipakai oleh masyarakat
nusantara sebagai penghalusan atau pasemon dari hal yang dianggap jorok. Simbol
lain seperti lesung alu, munthuk cobek, dan sebagainya juga bermakna sejenis.
Pelukisan seksual dalam khazanah filsafat Jawa dikenal dengan isbat curiga
manjing warangka yang arti lugasnya adalah keris masuk ke dalam sarungnya.6
Dalam melambangkan proses pembuahan
ini Hariwijaya mengungkapkannya sebagai berikut.
Manusia dalam kosmologi Jawa berasal dari tirtasinduretna yang
keluar saat pertemuan antara lingga yoni, kemudian berkembang menjadi janin dan
dikandung dalam gua garba. Tirta sinduretna merupakan lambang dari air mani
atau sperma laki-laki. Gua garba merupakan melambangkan untuk menghaluskan fungsi
rahim seorang wanita. Proses magis spiritual ini disimbolkan dalam kalimat
alegoris bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alubengkong. Secara
harfiah, kalimat tersebut berarti sejenis sambal yang dibungkus daun asam yang
diberi lidi alu bengkong. Bothok bantheng bermakna sperma; godhong asem
bermakna kemaluan wanita; alu bengkong sebagai simbol alat kelamin pria. Dengan
demikian, makna adalah bahwa asal-usul manusia berasal dari sperma yang
membubuhi sel telur dari rahim wanita yang terjadi dalam proses persenggamaan.
Dalam pandangan yang lain istilah dalam bathok bantheng adalah simbol
keberadaan zat, hidup manusia; godhong asem sebagai simbol sifat manusia; alu
bengkong melambangkan tingkah-laku. Maknanya, hidup manusia selalu terbungkus
oleh sifat dan perilakunya.
Hubungan seksual dalam pandangan
Jawa merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk menjaga
keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia. Keharmonisan akan beraroma
kenikmatan tinggi jika menggunakan seluruh tubuh untuk mencari dan
mengekspresikan kepuasan satu sama lain. Hubungan seksual demikian adalah seks
yang sesungguhnya dan memberi arti yang sangat dalam.
Seks memberikan nilai keharmonisan
hidup. Pemenuhan seksual (sexual fulfilment) adalah suatu hal ketika keduanya mencapai suatu momen yang memabukkan
(ecstasy). Michael Reiss & J. Mark Halstead, dalam Sex Education
menggambarkannya sebagai berikut.
Saya hanya bisa seperti apa bagi
seorang pria, namun saya ya….. ketika saya dapat mencapai satu macam ikatan, ketika
Anda sedang bersetubuh dan ……..Anda mendekati jiwa pasangan orang lain yang
Anda tidak bisa dapatkan di kesempatan lain …. Ketika Anda lihat ke dalam mata
pasangan, Anda seperti bisa melihat ke dalam jiwa mereka dan itu adalah ikatan—
saya rasa, vagina saya menjadi jiwa saya juga… dan ketika kita berhubungan itu,
seperti menggabungkan dua jiwa, dan itulah bentuk ikatan, lalu sensasi suatu
rasa bahwa Anda telah menciptakan kepuasan seksual.
Hubungan seksual jika didasari oleh
rasa cinta merupakan pemenuhan spiritual. Hal ini barangkali akan lebih mudah
dipahami dalam konteks keagamaan. Dalam ajaran Islam, hasrat jiwa untuk menjadi
satu dengan Tuhan biasanya diekspresikan secara simbolik dengan terma cinta
manusia dan hasrat seksual. Dalam tasawuf, seks orgasme merupakan jalan
menyatukan diri hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama memiliki hak-hak untuk dapat menikmati hubungan seks yang
mereka lakukan.
Menurut kitab-kitab Jawa klasik, dalam hubungan seksual itu, unsur
laki-laki adalah upaya atau alat untuk mencapai kebenaran yang agung, sedangkan
unsur wanita merupakan prajna atau kemahiran yang membebaskan. Dipahami bahwa
persenggamaan adalah darma suami terhadap istri, dan sebaliknya merupakan
kewajiban suami terhadap istrinya. Asmaragama ini ditunjukan kepada suami-istri
atau sebuah pasangan tetap. Latihan untuk memahami teori seksual ini diperlukan
kesungguhan, keajegan, ketenangan batin, dan sakralitas karena seks merupakan
ritual sakral yang hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah mengikatkan
diri dengan janji suci perkawinan.
C.
Liberalitas Seksual dalam
Masyarakat Jawa
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan Jawa berakar di Kraton dan
berkembang di Yogyakarta dan Solo. Dalam konteks liberalitas seksual, ada hasil
penelitian yang menyoroti tentang virginitas yang terasa sangat mengguncang
kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota budaya. Dalam penelitian
tersebut ditemukan bahwa 97.05% mahasiswa di Yogyakarta telah kehilangan
keperawanannya. Nyaris 100% atau secara matematis bisa disepadankan dengan 10
gadis dari 11 gadis sudah tidak perawan yang diakibatkan oleh hubungan seksual.
Bukan karena kecelakaan yang memicu robeknya selaput dara vagina. Sebuah
kebebasan yang dampaknya membuat semua orang berperadaban merinding tentang
akibatnya. Terkait dengan budaya Jawa, apakah free sex tersebut memiliki akar
budayanya karena Yogyakarta merupakan standar dan acuan budaya Jawa.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
penulis sampaikan data yang diambil dari dokumen sastra, yaitu novel Trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk. Pengambilan data dari buku fiksi dengan alasan; pertama,
bahwa karya sastra merupakan fakta yang difiksikan. Realitas adalah produk dan
konstruksi manusia. Pada tingkat paling ketat kita hanya dapat mengatakan bahwa
fakta itu ada, yakni kenyataan, peristiwa, dan pengalaman yang kompleks,
multifaset, senantiasa mengalir, tidak pernah habis terumuskan oleh khazanah
pola ungkap manusia (kata, nada, gerak, rupa, dan sebagainya). Oleh karena itu,
apa-nya pengalaman atau fakta itu selalu bisa diartikulasikan dengan banyak
cara, banyak fiksi, banyak ilusi (sains, seni, ilmu-ilmu tradisional, wacana
politik, agama, dan seterusnya). Kedua, pada konperensi Sastra Asia Tenggara
ke-3 di Singapura pada tahun 1987 memunculkan perbincangan hangat, mengejutkan,
dan mendapatkan tanggapan luas terkait dengan kesimpulan makalah, Mohammad Ridho
‘Eisy, peserta dari Indonesia, seorang pengamat sastra yang bermata tajam dan
tinggal di Bandung yang dalam makalahnya ia mengupas novel trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk (Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak; Lintang Kemukus Dini
Hari; dan Jantera Bianglala), yang menyatakan bahwa novel trilogi karya Ahmad
Tohari tersebut merupakan sebuah novel yang mengandung dakwah Islam. Ketiga,
menurut pengakuan penulisnya bahwa data sejarah dan budaya yang ada dalam
trilogi RDP merupakan fakta riil dan pernah terjadi, hanya saja sebagian dari
budaya yang ada itu sudah tidak bisa ditemukan lagi.
Keperawanan dan seks bagi
masyarakat yang “berperadaban rendah” di Jawa sebagaimana tergambar dalam
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk menjadi sangat terbuka dan bebas. Free sex yang terjadi
saat ini ada alur historisnya dalam budaya sebagian masyarakat Jawa yang belum
mengenal agama (Islam) dengan baik dan pendidikan yang tidak memadai. Di antara
persepsi tentang keperawanan dan seks yang terbuka bebas tersebut adalah
sebagai berikut.
1)
Free sex merupakan sesuatu yang
dalam kondisi tertentu dianggap wajar oleh sebagian masyarakat Jawa, meskipun
hanya ditujukan pada perempuan tertentu.
Dalam kenyataan riil, para istri
saat ini juga permisif terhadap perilaku seksual suaminya yang bertentangan
dengan agama. Mereka membiarkannya selama tidak menceraikannya dan tidak
menikahi perempuan lain. “Silahkan berzina asal tetap kembali pulang sebagai
suamiku”, demikian sikap permisif para istri. Di sisi lain, mereka akan
memberontak jika suaminya beristri lagi secara sah (poligami).
2) Keperawanan bagi perempuan tertentu merupakan hal suci yang hanya
bisa dipersembahkan pada suami, tetapi bagi orang tertentu seperti ronggeng
atau semacamnya keperawanan menjadi alat mewisuda status atau profesi sebagai
ronggeng, artis, atau bintang film. Secara kontekstual, kebanyakan orang Jawa juga suku lain yang
permisif terhadap transaksi seks dan keperawanan (juga keperjakaan) bagi
kalangan artis atau selebritis.
3) Keperawanan karena tidak dimaknai sebagai sesuatu yang sakral dan
hanya boleh diberikan kepada suami yang sah, maka sebagian masyarakat karena
dasar cinta kepada kekasihnya secara sadar melakukan pemberian “hadiah
keperawanan” kepada orang yang dicintainya dengan pertimbangan dari pada
direnggut oleh orang yang tidak diharapkannya.
4) Dalam tradisi tertentu, meskipun secara sembunyi-sembunyi,
hubungan seks bisa dilakukan secara bebas oleh seseorang dengan tetangganya
atau kawannya, dan jika hal ini diketahui oleh istrinya atau suaminya dianggap
sebagai kewajaran dan tidak menimbulkan pertengkaran antar suami atau istri.
Rasus mengomentari tentang kondisi desanya.
5) Hubungan seks dengan orang lain bahkan ada yang dijadikan sebagai
alternatif penyelesaian problem kemandulan suami karena istri tidak kunjung
hamil. Perilaku demikian juga bisa diterima oleh masyarakat dengan istilah
lingga, kepanjangan dari peli tangga, artinya penis tetangga.
6) Hubungan seks juga ada yang digunakan untuk pendidikan dalam
rangka persiapan rumah tangga agar si lelaki mampu menjadi suami secara utuh
dalam melaksanakan tugas kesehariannya, baik di atas ranjang maupun pekerjaan
(seperti pertanian). Pendidikan seperti itu disebut dengan Gowok. Gowok adalah
seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak laki-lakinya yang
sudah menginjak dewasa, dan menjelang kawin. Seorang gowok akan memberi
pelajaran kepada lelaki itu banyak hal perikehidupan berumah tangga. Dari
keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan istri secara baik. Misalnya,
bagaimana mengajak istri kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia
tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur yang terpisah.
Masa pergowokan biasanya hanya berlangsung beberapa hari, paling lama satu
minggu. Satu hal yang tidak perlu diterangkan, tetapi perlu diketahui oleh
semua orang adalah hal menyangkut tugas inti seorang gowok, yaitu mempersiapkan
seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru, sebuah sex
education dalam arti yang sangat fulgar yang menurut Ahmad Tohari pernah
terjadi secara riil di Jawa (RDP-LKDH, hal. 201).
Menjadi gowok adalah menjadi seniman pemangku
naluri kelelakian dan menemukannya kembali bila kelelakian itu hilang. Sebuah
tradisi yang juga ditolerir pada saat ini meski tanpa ada transaksi seperti
gowok. Saat ini proses uji coba sebelum pernikahan dilakukan secara sadar oleh
calon mempelai saat masih pacaran, meskipun banyak juga yang kemudian tidak
jadi pernikahannya.
7)
Hubungan seks ditolerir dengan
orang lain yang menyediakan untuk itu seperti ronggeng. Ronggeng bisa dijadikan
alternatif bagi para suami yang tidak mampu menahan hasrat seksual saat
istrinya sedang hamil, melahirkan dan nifas sehingga harus libur dalam waktu
yang lama.
Melakukan hubungan Seks dengan
perempuan lain saat tidak mungkin dilakukan dengan istrinya merupakan bukti
sifat egoisme laki-laki dalam seks. Perempuan diharuskan “libur” sementara ia
mencari sasaran lain yang tidak sah. Menurut Ahmad Tohari, dalam kenyataan para
priyayi Jawa yang main judi, minum arak, main perempuan, dan minum candu pun
kalau mampu tak jadi masalah. Mungkin hanya mencurilah yang dianggap merusak
reputasi kepriyayian Jawa. Itupun kalau dilakukan secara bodoh dan terang-terangan.
Kalau caranya halus, apalagi yang diambil adalah uang negara. (Belantik, BLTK, hal.19).
Memperhatikan tujuh kebebasan seks
dalam masyarakat Jawa tersebut, menurut pandangan Erich From ini merupakan
pelarian seseorang dari problem keterpisahan dan ketakbersatuannya dengan alam.
Manusia menghadapi problem hidup setelah mendapatkan kesadaran tentang
keterpisahan dan eksistensi ketakbersatuan (disunited existence) dengan
alam menjadi penjara yang mengerikan bagi manusia. Manusia selalu amat cemas
karena keterpisahan ini. Ia terus berusaha untuk membebaskan diri dari penjara
mengerikan ini dengan mencari pertautan diri dengan orang lain dan dunia luar.
Problem keterpisahan ini di antaranya diselesaikan dengan cara menenggelamkan
diri dalam situasi orgiastik di antaranya berupa pengalaman seksual, dengan
orgasme seksual dapat merasakan kepuasan menyatu yang hampir sama dengan trance
dan obat bius. Ritus pesta seksual secara kelompok merupakan bagian dari ritus
sebagian suku-suku primitif. Pengalaman orgiastik ini membuat manusia mampu
bertahan dari derita keterpisahannya, dan untuk menjaga stamina pengalaman ini
harus diulang.18 Sebagian individu biasanya berusaha mengatasi problem-problem
keterpisahan dengan menggunakan bantuan alkohol dan obat bius. Penyelesaian ini
pemakainya sulit untuk lepas dari perasaan bersalah dan penyesalan dan akan
berusaha untuk meningkatkan frekuensi dan dosis pada waktu berikutnya.
Penyelesaian lewat hubungan seksual (di luar pernikahan) memiliki efek yang
hampir sama dengan pemakaian obat-obat bius atau minuman keras. Penyelesaian
model ini hanya akan menambah rasa keterpisahan karena tindakan yang tidak
didasari oleh cinta takkan pernah bisa menghubungkan jiwa suatu pasangan dan
hanya bertahan dalam sementara waktu.
Seiring dengan pemahaman Jawa,
menurut Sigmund Freud, dalam Teori Naluri dikatakan; kaum laki-laki hanya
menginginkan seks, nafsu seks muncul dalam diri individu, dan dia selanjutnya
berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Penyelewengan terhadap hubungan
seksual ini banyak terjadi bahkan ada literatur tentang wisata seks. Perbedaan
yang jelas dapat dibuat antara wisata seks (sex tourism), dan seks dalam wisata
tourism). Wisata seks berhubungan dengan perjalanan ke suatu tempat dengan
tujuan melakukan seks, biasanya dengan orang yang lebih muda, lebih miskin dari
dirinya.
D.
Kearifan Lokal dalam Budaya Jawa
Kebudayaan merupakan unsur
pengorganisasian antara individu dan membentuknya menjadi satu kelompok dalam
rangka mempertahankan eksistensi manusia di dalam lingkungan hidupnya.
Kebudayaan memiliki ciri, yaitu penyesuaian manusia kepada lingkungan hidupnya
dalam rangka untuk mempertahankan hidupnya sesuai dengan kondisi yang menurut
pengalaman atau tradisinya merupakan yang terbaik. Kebudayaan juga dimaknai
sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam satu komunitas dalam rangka
adaptasi diri individu dan kelompoknya agar tetap survive dan memiliki kualitas
terbaik sesuai dengan pandangan hidup dan pengalamannya. Kebudayaan berarti
terkait dengan kemunitas dan identitas sosial seperti Sunda, Batak, Bali, dan
Jawa. Secara sosiologis kebudayaan akan berdialog dengan individu dan kelompok
sosial, di mana individu akan memberi kontribusi terhadap perkembangan
kebudayaan sebagaima orang lain secara individual maupun kelompok selalu
memberikan saham untuk pengembangan dan perubahan terhadap budayanya.
Kebudayaan Jawa berakar di Kraton
dan berkembang di Yogyakarta dan Solo. Peradaban ini mempunyai suatu sejarah
kesusasteraan yang telah ada sejak empat abad yang lalu, dan memiliki kesenian
yang maju berupa tari-tarian dan seni suara kraton, serta yang ditandai oleh
suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, campuran dari unsur-unsur
agama Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini terutama terjadi di kota Kraton Solo, di
mana berkembang berpuluh-puluh gerakan keagamaan kontemporer, yang disebut
gerakan kebatinan. Daerah istana-istana Jawa ini sering disebut Negarigung.27
Sementara itu, orang Jawa yang tinggal di luar pulau Jawa disebut sebagai suatu
subvariasi dari kebudayaan Jawa yang berbeda. Akulturasi budaya Jawa dengan
kebudayaan asing akan memunculkan kebudayaan baru yang merupakan bagian dari
varian budaya Jawa.
Heterogenitas budaya Jawa merupakan
keniscayaan sejarah dan berlaku untuk kebudayaan apapun di dunia ini.
Varian-viarian budaya sebagai konsekuensi dari akulturasi budaya ini semakin
agresif bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang
mampu membentuk “desa buwana” yang menunjukkan semakin tipis batas budaya suatu
bangsa dengan bangsa lain.
Terkait dengan kearifan lokal
(local wisdom), masyarakat Jawa mengenal beberapa kata kunci di antaranya
adalah Ngana ya ngana neng aja ngana, “meski begitu, tapi yang jangan seperti
itu”, demikian ungkapan orang Jawa. Ungkapan ini biasanya disampaikan saat
terjadi sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan tatakrama. Wong kok orang
duwe perasaan, demikian kata singkat yang sering diucapkan oleh orang Jawa,
terhadap orang yang tidak punya tepa salira, tidak punya pengertian tentang
bagaimana menempatkan diri secara bijak. Orang yang suka nggugu sak karepe
dewe, orang suka semaunya sendiri.
“Rasa” sangat diperhatikan di Jawa
dalam rangka menciptakan harmonitas sosial. Masyarakat Jawa yang berperasaan
halus, berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain, membantu orang
lain sebanyak mungkin, membagi rizki dengan para tetangga, berusaha mengerti
perasaan orang lain, dan kemampuan seseorang untuk dapat menghayati perasaan
orang lain (tepasalira). Oleh sebab itu, anak-anak selalu diajarkan untuk
berusaha untuk mendekati sifat-sifat itu.
Orang yang memiliki perasaan akan
mengerti tentang unggah-ungguh atau tatakrama pergaulan yang pada intinya
adalah memberikan rasa hormat kepada orangtua. Tua dalam pemaknaan yang luas
seperti tua umur, pangkat-derajat, kekayaan (kaya), dan ilmu (cendekiawan dan
ulama). Nilai-nilai budaya Jawa yang menentukan tingkah-laku orang Jawa dalam
hubungan sosialnya, bagi Hildred Geertz memilih pengertian “hormat” sebagai
titik-temu antara berbagai perasaan individu Jawa yang timbul bila ia
berhadapan dengan orang lain. “...have complex meaning which only slightly overlap
with the Amirican nation of respect” (Hildred Geertz 1961:110). Pengertian aji
(hormat) dan ngajeni (menghormati) dalam bahasa Jawa mempunyai makna yang sama
dengan pengertian hormat dalam bahasa Inggris respect karena mengenai perasaan
bahwa orang yang bersangkutan adalah lebih tinggi derajatnya, mempunyai
kewibawaan, dan memang seharusnya dikagumi dan dihormati.29 Unggah ungguh dan
penghormatan ini merupakan unsur kebudayaan Jawa.
Jika orang Jawa memahami budayanya,
maka akan tercipta sikap positif di antaranya aja dumeh, jangan sombong dan
merasa lebih dari yang lain sehingga bersikap sewenang-wenang. Ia menjadi
seorang yang santun, andap asor (rendah hati), tidak aji mumpung (memanfaatkan
posisi untuk kepentingan pribadi atau kelompok). Bagi orang Jawa segala sesuatu
dipikirkan dengan baik, tidak tergesa-gesa dan tidak menempuh jalan pintas, ora
grusa-grusu lan nggege mongso. Kontrol sosial tetap dilakukan dengan bingkai
mikul duwur mendem jero, melakukan kritik dan pendampingan dengan tetap menjaga
kehormatan orang atau masyarakat yang dikritik atau didampingi. Perbaikan
selalu dilakukan dengan pelan dan bertahap sehingga tujuan dapat dicapai tanpa
mengorbankan harmonitas yang dijunjung tinggi oleh orang Jawa. Menang tanpa
ngasorake, mencapai cita-cita tanpa merendahkan dan mengalahkan. Strategi
pendidikan dengan pendekatan semuanya menang. Demikian orang Jawa mengkonstruk
budayanya yang diwariskan turun-temurun.
Terkait dengan pelanggaran terhadap
norma hubungan seksual yang dilakukan oleh anggota DPR dan penyanyi, dan
kontraversi poligami yang dilakukan oleh dai atau kiai atau siapa pun juga
terlepas dari status sosial politik dan ekonomi. Dalam konteks budaya Jawa
harus dilakukan kontrol dan amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi tetap menggunakan
bahasa dan tatakrama Jawa yang didasarkan pada niatan mulia dan dengan cara
yang baik sehingga yang bersangkutan bisa menjadi baik atau lebih baik tanpa
harus meruntuhkan budaya dan saudaranya sendiri. Ekspos secara besar-besaran
dan membabi-buta apalagi menghakimi akan berdampak negatif dan jauh dari
prinsip edukatif. Setiap keputusan yang diambil oleh individu ada pertimbangan
dan latarbelakang historisnya. Klaim dan penghakiman emosional akan meruntuhkan
kemanusiaan yang akhir-akhir ini semakin berat untuk ditegakkan.
III. Penutup
Seks bebas memiliki akar sejarah
dalam budaya Jawa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kehidupan free
sex yang melanda Yogyakarta dan juga kota-kota besar lain di Jawa ditanggapi
secara dingin oleh komunitas Jawa termasuk oleh pendidikan yang berbasis
keagamaan seperti pesantren dan STAIN. Sikap permisif ini bisa disebabkan oleh
budaya Jawa yang akomodatif, tepo sliro dan semacamnya yang dimaknai
pasif-statis sehingga berdampak negatif. Semestinya jargon dan ajaran yang
sudah menjadi budaya Jawa tersebut dimaknai positif dan progresif sehingga
memunculkan sikap hidup yang dinamis.
Dalam konteks bahasa, sebagai unsur
budaya Jawa, bahasa Jawa termasuk rumit dan mengenal stratifikasi sosial memuat
budaya feodal model Kraton yang dapat memunculkan harmonitas sosial semu.30
Karena ingin menjaga harmoni, konsep amar ma’ruf nahi munkar menjadi kehilangan
greget-nya. Bahasa Jawa krama, tidak cocok untuk membuat ketegasan apalagi
untuk pertengkaran. Bahasa halus menuntut kehalusan sikap juga. Dalam kerangka
menggunakan bahasa lisan dan bahasa tubuh (body language) masyarakat Jawa
mengenal istilah dupak dugang, esem mantri, senyum bupati dirasa cukup untuk
merespon sesuatu, tetapi bila lurah marah dengan menggunakan suara yang
keras.31 Struktur sosial seseorang mempengaruhi penggunaan bahasa, misalnya
orang ningrat, pejabat, atau orang berpendidikan dirasa kurang tepat jika
menggunakan bahasa yang kasar dan terlalu banyak, sedangkan orang biasa, awam,
atau miskin menggunakan bahasa yang kasar dan jorok dianggap biasa dan
dimaklumi (salah kaprah).
Memperhatikan aspek kesejarahan dan
bahasa Jawa, pemberantasan free sex akan menemukan nilai kejawaannya jika
dilakukan dengan pendekatan yang bijaksana, yaitu meletakkan budaya sebagai
dasar untuk mengubah dan memperbaiki sehingga tidak terkesan menggurui dan
memancing konflik. Untuk itu, diperlukan perencanaan program pembebasan dan
pendidikan yang pelaksanaannya melibatkan berbagai komponen dan menggunakan
idiom-idiom Jawa yang sudah mereka kenal adiluhung. Jika hal ini dilakukan,
maka perbaikan akan diterima dan diakui. Jika dapat memecahkan persoalan atau
pertentangan kita secara seksama dan matang, nantinya tidak ada orang yang akan
merasa menang atau kalah, tinggi diri, atau rendah hati, “menang tanpo
ngasorake” atau menang tanpa sifat merendahkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Astri S. Susanto, Pengantar
Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta, 1979.
Abdusshomad, Muhyyidin. 2005. Fiqh
Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari. Malang:
Pustaka al-Bayan- Nurul-Islam- Kalista.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997.
Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya Paramita.
Chodjim, Achmad. 2004. Mistik dan
Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: PT Serambi Ilmu Selekta.
Croock-Brauer. 2005. Quantum Love
Between Eros and Libido. Yogyakarta: Baca.
Fromm, Erich. 2004. The Art of Love
(Gaya Seni Bercinta). Ed. A. Setiono Mangoenprasodjo & Dyatmika Wulan
Merwati. Yogyakarta: Pradipta Publishing.
Hariwijaya. 2004. Seks Jawa Klasik.
Yogyakarta: Niagara Pustaka Sufi.
Ilyas, Hamim, dkk. 2003. Perempuan
Tertindas? Kajian Hadis-hadis “Misoginis”. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta – The Ford Foundation.
Kedaulatan Rakyat, 18 Desember
2006.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan
Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kompas, 7 Oktober 2006. P3M STAIN Purwokerto
| Moh. Roqib 15 Ibda` | Vol. 5 | No. 1 | Jan-Jun 2007 | 106-127
Lubis, Muchtar. 1988. “Harmonitas
Sosial yang Bagaimana?”, dalam Majalah Pesantren No. 4/ Vol. V/ 1988.
Perdana, Divana. 2003. Dugem.
Yogyakarta: Diva Press.
Purwadi dan Djoko Dwiyanto. 2006.
Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional.
Yogyakarta: Panji Pustaka.
Qomar, Mujamil. 2002. NU Liberal:
dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan.
Reiss, Michael & J. Mark
Halstead. 2004. Sex Education. Yogyakarta: Alenia Press.
Susanto, Astri S. 1979. Pengantar
Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.
Tohari, Ahmad. 1996. Berhala
Kontemporer: Renungan Lepas Seputar Agama, Kemanusiaan, dan Budaya Masyarakat
Urban. Surabaya: Risalah Gusti.
___________. 2001. Belantik:
Bekisar Merah II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
___________. 2004. Trilogi Ronggeng
Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
EmoticonEmoticon