Perjuangan feminis di berbagai kawasan
dunia, termasuk Indoensia dalam melawan ketidakadilan jender terhadap perempuan
kiranya belum selesai. Kesetaraan jender sampai saat ini masih menjadi
cita-cita perjuangan mereka. Di Jawa, emansipasi perempuan yang diperjuangkan
oleh RA. Kartini beberapa waktu lalu tampaknya telah membawa perubahan bagi
perempuan.
Namun dalam budaya Jawa perempuan
dikondisikan dalam posisi yang dipandang tidak adil. Kiranya dapat dilihat dari
sastra Jawa sebagai media sosialisasi nilai-nilai budaya dan merupakan cerminan
representatif yang dapat memberikan informasi tentang peran serta kedudukan
perempuan pada masa lalu.
Dalam budaya Jawa pada masa lalu,
perempuan dipossisikan sebagai makhluk inferior yang perannya terbatas pada
sektor-sektor domestik, sedangkan laki-laki diposisikan sebagai makhluk
superior yang berperan pada sektor publik. Karena peran yang berbeda itu dapat
dipandang sebagai cerminan dari budaya Jawa yang menempatkan laki-laki lebih
tinggi dari pada perempuan.
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
dan Peran Perempuan
Tuhan menciptakan laki-laki
dan perempuan dalam posisi yang sama sebagai makhluk yang paling mulia
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Namun, dalam masyarakat di berbagai tempat
terdapat perbedaan pandangan tentang status perempuan sehingga muncul
konstruksi yang berbeda-beda mengenai kedudukan perempuan. Hal ini tidak
terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pandangan tersebut,
seperti stereotipe (pelabelan) yang diatikan dengan sifat ataupun fisik
laki-laki dan perempuan. Laki-laki dikonsepsikan bekerja di luar rumah (wilayah
publik) yang tantangannya lebih besar. Di sisi lain, wanita dikonsepsikan
bekerja dalam bidang terkait dengan urusan di dalam rumah tangga (wilayah
domestik) yang tidak banyak mengandung resiko/bahaya. Konsep peran yang
dikonstruksikan oleh masyarakat dan dikenal dengan istilah jender.
Dari hasil penelitiannya,
George Peter Murdock menyebutkan bahwa dalam kelompok masyarakat, laki-laki
cenderung mamilih pekerjaan yang “maskulin”. Sementara itu perempuan memilih
pekerjaan “feminin”.[1]
Pembagian kerja berdasarkan kerja berdasarkan jenis kelamin itu memunculkan
pelembagaan kedudukan wanita di sektor domestik. Dan pekerjaan di wilayah
domestik dipandang lebih rendah daripada pekerjaan di wilayah publik karena
tidak menghasilkan keuntungan materi. Hal ini mengakibatkan kedudukan perempuan
yang bekerja di sektor domestik dipandang lebih rendah daripada laki-laki yang
bekerja di sektor publik. Selain itu pada umumnya perempuan diasumsikan sebagai
makhluk inferior, laki-laki diasumsikan sebagai makhluk superior. Dengan
demikian, selain menyebabkan terjadinya marginalisasi, peranan perempuan yang
terbatas di sektor domestik juga menyebabkan subordinasi.
B.
Perempuan
dalam Budaya Jawa
Perempua dalam budaya Jawa
berada pada posisi subordinat dan marginal. Contohnya saja, di kalangan
masyakarat Jawa dikenal istilah kanca wingking (teman belakang) untuk
menyebut istri. Hal itu menunjukkan bahwa perempuan tempatnya bukan di depan
sejajar dengan laki-laki, melainkan di belakang, di dapur, karena dalam konsep
budaya Jawa wilayah kegiatan istri adalah seputar dapur (memasak), sumur
(mencuci), dan kasur (melayani kebutuhan biologis suami).
Ideologi yang menekankan
bahwa peran perempuan yang utama adalah di sekitar rumah tangga, sebagai ibu
dan isteri, telah berabad-abad disosialisasikan dan diinternalisasikan dalam
masyarakat Jawa.[2]
Dalam masyarakat Jawa ideologi tersebut di
lestarikan da secara terus menerus diredefinisikan melalui hukum-hukum adat
yang berlaku, kepercayaan-kepercayaan serta negara dan pemerintah yang pernah
ada dalam sejarah masyarakat Jawa.[3]
Karena peran perempuan
dikonsepsikan untuk melaksanakan tugas di dalam rumah tangga, sejak masih gadis
anak perempuan telah diajari dengan tugas sektor domestik yang berkisar di
wilayah sumur, dapur dan kasur. Sambil menunggu jodoh, mereka diajari cara
berhias, memasak dan melayani suami.
Masa persiapan berumah
tangga itu dikalangan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah pingitan, yaitu
larangan untuk keluar rumah.[4]
Kondisi yang demikian memunculkan ungkapan swarga nunut neraka katut, artinya
kebahagiaan atau penderitaan perempuan tergantung sepenuhnya pada laki-laki.
Perubahan pandangan terhadap
kedudukan perempuan secara barangsur-angsur terjadi sesudah R. A . Kartini
memperjuangkan hak memperoleh pendidikan bagi perempuan. Sejak masa Kartini
itu, perempuan Jawa mulai melangkah kearah emansipasi. Perjuangannya membuahkan
hasil, diantaranya makin terbukanya kesempatan perempuan untuk mengenyam
pendidikan. Dengan bekal pendidikan itu sebagian perempuan Jawa memperoleh
pekerjaan di laur rumah tangganya sehingga tugas-tugas perempuan yang semula
hanya disektor domestik kemudian meluas ke sektor publik. Disisi lain ada beban ganda yang
harus dikerjakan sebab perempuan tetap bertanggung jawab terhadap tugas-tugas
domestiknya.
Secara yuridis formal telah
terbuka peluang bagi perempuan untuk memainkan peran disektor publik. Namun,
konstruksi budaya Jawa yang menempatkan perempuan sebagai mahluk kedua tampaknya masih mengakar
kuat di dalam masyarakat Jawa. Seperti di kemukakan Y. B. Mangun wijaya di
beberapa daerah kaum perempuan justru yang bekerja keras. Penempatannya di
seputar “ dapur-sumur-kasur” membuat perempuan miskin cakrawala pengetahuan
walaupun kadang-kadang memiliki kekayaan duniawi. Bahkan, sering terjadi pula
kekerasan baik fisik maupun psikis terhadap perempuan. Dikalangan masyarakat
miskin sering terjadi seorang perempuan dipaksa oleh suaminya untuk melacurkan
diri guna mencukupi kebutuhan ekonomi kelaurganya.
C.
Gambaran
Ideal Perempuan Jawa
Gambaran tentang perempuan
ideal diungkapkan dalam berbagai karya sastra Jawa. Salah satu diantaranya
adalah pada tembang megatruh bait 20-28 dan sinom bait pertama diungkapkan
bagaimana seharusnya perempuan berperilaku terhadap suami. Termasuk
perbuatan-perbuatan yang seharusnya dilakikan oleh seorang perempuan sebagai
istri adalah takut dan berbakti kepada suami (wedi lan bakti ing laki). Dalam
pengertian bahwa seorang istri harus bersedia menerima kemauan serta kehendak
suami dan semua kemauan itu hendaklah dilaksanakan, namun harus tetap menilai
baik/buruk keinginan suami
Adapun yang merendahkan derajat prempuan sebagai
istri ada tiga macam.
1.
Berani
berbuat sembrana yang menunjukan ketidaktaatan, suka menyangkal pembicaraan,
sering membantah, bicara tidak sopan, sangat berani, hanya menggunakan kemauan
sendiri.
2.
Tidak
menjaga hal-hal yang seharusnya dirahasiakan, pemboros, menghambur-hamburkan
harta, tidak mempunyai rasa sayang akan pemberian suami dan merusak nafkah.
3.
Hatinya
penuh dengan syak wasangka, suka pamer, tidak lurus, tidak tulus, curang, nakal
dan berbuat sembarangan.[5]
Dalam tradisi Jawa tentu tidak jarang lagi dengan
yang namanya 3 B (bibit, bobot dab bebet) dalam mencari seorang istri
a.
Bibit
Ditinjau dari keturunan bibit sangat menentukan
hasil keturunan yang akan datang, dimana bibit yang baik di peroleh dari
keluarga yang baik, sehat jasmani, rohani dan tidak mengalami gangguan jiwa.
b.
Bobot
Kekayaan ini sangat di butuhkan dalam membangun
rumah tangga dimasa yang akan datang, karena dengan harta yang dimiliki ini
dapat menentukan arah kemana dan apa yang dibutuhkan dalam membangun rumah
tangga.
c.
Bebet
Kedudukan seseorang dalam memnbangun rumah tangga
dalam memilih wanta melihat bebet, kedudukan wanita tersebut.[6]
D.
Kedudukan
Perempuan
Kedudukan perempuan yang disebutkan dalam beberapa
karya sastra Jawa:
1.
Sebagai
hamba tuhan
Perempuan Jawa pada umumnya menganut agama Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, atau Budha, Animisme dan dinamisme. Ajaran yang
sinkretis ini disebut agama Jawi atau Kejawen.
2.
Sebagai
anak atau menantu
Anak perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban
bakti (mengabdi) kepada orang tua. Setelah menikah, pengabdian sebagai anak
bertambah denganwajib bakti kepada mertua. Selain orang tua, mertua juga
mempunyai andil, dalam menciptakan kegahagiaan anak/menantu, sebagaimana orang
tua kandung. Karena melalui perantaraan mertua, perempuan mendapat suami yang
dapat memberikan kebahagiaan.
3.
Sebagai Istri
Dalam
sastra jawa banyak di temukan ajaran tentang tugas-tugas istri sebagai pendamping suami.
Karena kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus berbakti kepada
suami, deskripsi tentang sifat dan perilaku istri ideal banyak dikemukakan
dalam sastra jawa. Dengan tuntutan ideal tersebut, tugas seorang istri sangat
kompleks dan berat.
Ajaran
patuh kepada suami mengharuskan perempuan jawa rela di madu oleh suaminya dan
harus bersikap baik terhadap madunya. Masyarakat pada umumnya, terutama bagi
pemeluk Islam, mengetahui bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat suami
dapat berbuat adil.
4.
sebagai Ibu
Tugas
perempuan dalam kedudukannya sebagai Ibu tidak banyak disinggung dalam karya sastra jawa.
Yang sering ditemukan dalam sastra jawa adalah hak Ibu, termasuk Bapak untuk
mendapatkan penghormatan dan kebaktian dari anak. Ibu mendapat kedudukan yang
sama dengan bapak dalam hal mendapatkan kepatuhan dan penghormatan dari anak.[7]
E.
Streotipe Wanita Jawa
Gambaran
perempuan jawa menurut cara pandang budaya jawa itu adalah sebagai berikut:
- secara kodrati perempuan merupakan
mahluk lemah jika dibandingkan dengan laki-laki sehingga perlu dilindungi
oleh laki-laki.
- Karena perempuan dipandang sebagai
mahluk lemah sehingga perlu mendapat perlindungan dari laki-laki, nasib
perempuan sebagai tergantung pula pada suami. Ungkapan jaw mengatakan
swarga nunut neraka katut. Swarga adalah lambang dari kehidupan dunia
maupun akhirat yang menunjukan
penderitaan dan penuh kesengsaraan. Dalam hal ini, kebahagiaan dan
kesengsaraan istri tergantung pula pada kebahagiaan dan kesengsaraan
suami. Perempuan seakan-akan tidak mempunyai daya untuk menentukan
nasibnya.
- Perempuan dicipakan dari bagian
tubuh laki-laki. Pandangan tersebut berasal dari kisah penciptaan
perempuan yang pertama, yakni Hawa, yang diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki (Adam). Kisah tersebut telah menamakan suatu sikap superioritas
laki-laki terhadap perempuan
- Perempuan diciptakan untuk berbakti
kepada laki-laki (suami). Tugas perempuan adalah melayani kebutuhan
aki-laki. Khususnya kebutuhan seks. Oleh karena itu, perempuan ditempatkan
sebagai objek seksual sehingga tidak mengherankan kalau raja Jawa pada
masa lalu memiliki banyak selir .
- Kedudukan perempuan semata-mata
dipandang sebagai alat reproduksi. Artinya, perempuan hanya berfungsi sebagai objek bagi laki-laki untuk
mengandung dan melahirkan anak keturunan. Ada semacam kebanggaan dalam
budaya jawa terhadap banyaknya anak keturunan yang dapat dimiliki.
Tercermin dalam ungkapan banyak anak banyak rejeki. Akibatnya perempuan
selalu disibukan dengan kegiatan mengasuh, mendidik, serta mengurus anak.
- Perempuan
hanya mengurusi soal-soal domestik, urusan-urusan kerumah tanggaan, atau
urusan dapur. Oleh karena itu,perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi.
Di depan umum seorang istri tidak boleh menonjol dari suami.
Analisis terhadap status dan
peran perempuan Jawa menghasilkan kesimpulan yang beragam. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam mencermati
hubungan gender dan dinamika interaksi yang
terjadi dalam hubungan gender pada masyarakat dan budaya Jawa.
Hasil-hasil pelelitian terdahulu mengenai perempuan Jawa secara umum dapat dikelompokan menjadi dua pandangan.
Kelompok pertama
mengemukakan bahwa perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang besar dan status yang
tinggi, baik dalam masyarakat yang luas maupun keluarga. Posisi tersebut
dicapai perempuan antara lain karena adanya
struktur keluarga yang bilateral, anggapan umum yang menyatakan bahwa
laki-laki dan perempuan atau suami dan istri adalah mahluk yang saling
melengkapi. Peranan penting perempuan juga ditunjukan dengan adanya kenyataan
bahwa sebagian besar rumah tangga Jawa, perempuanlah yang bertanggung jawab
dalam mengelola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga.
Kelompok kedua menyangkal
pendapat bahwa wanita Jawa memiliki kekuasaan dan status yang tinggi. Peranan
penting wanita dalam pengelolaan rumah
tangga belum tentu menunjukan tingginya
status wanita. Wanita memiliki beban
ganda karena mereka harus mencari nafkah
untuk keluarga dan juga dituntut untuk menyelesaikan sebagian besar pekerjaan domestik sehingga
mereka harus membagi waktu dan sumber daya untuk memenuhi kedua kewajiban
tersebut secara bersamaan.[8]
Keadaan yang sekilas menunjukan bahwa perempuan Jawa
memiliki kekuasaan dan peran yang besar dalam keluarga dan masyarakat
sebenarnya merupakan kenyataan semu yang membutuhkan kajian yang lebih kritis.[9]
PENUTUP
Pandangan tentang yang
terkandung dalam sastra Jawa tidak dapat dilepaskan dari konstruksi masyarakat
Jawa mengenai kedudukan perempuan pada masa itu. Melalui karya sastra mereka
membantuk pandangan tentang perempuan ideal. Beberapa streotipe yang
dikemukakan antara lain adalah perempuan merupakan mahluk yang lemah sehingga
di pandang tidak memiliki potensi untuk menentukan nasibnya sendiri.
Akibatnya, muncul ungkapa
swarga nunut neraka katut. Karena nasibnya tergantung pada suami, perempuan
dipandang lebih rendah kedudukannya dari pada laki-laki. Sesuai dengan itu
peranan perempuan terbatas pada tugas-tugas domestik, yakni sekitar sumur,
dapur dan kasur. Perempuan dikatakan ideal jika
memiliki kemampuan untuk mendukung tugas domestiknya, seperti pandai
memasak, macak (berhias) dan mahir melayani suami.
Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan
Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ridzal, Faizie. 1993. Dinamika
Gerakan Perempuan Di Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis
Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: pustaka pelajar
Sofwan, Ridin. 2001. Perempuan
Dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media
http://imm-progresif.blogspot.com/2010/11/kriteria-istri-dalam-pandangan-tradisi.html
[1]
Ridin Sofwan, Perempuan dan
Seksualitas dalam Tradisi Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 2.
[2]
Irwan Abdullah, Sangkan Peran
Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 90.
[3]
Ibid
[4]
Ridin Sofwan. 2001.
Perempuan Dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
hlm. 7
[5] Ibid. hlm.50
[7] Fauzie Ridzal. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia. Yogyakarta: tiara wacana. hlm.23
[8] Irwan Abdullah. 1997. Sangkan Paran
Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm.82
[9] Mansur Faluh. 1996. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 84
EmoticonEmoticon