November 16, 2022

PEREMPUAN DALAM TRADISI JAWA

 

PENDAHULUAN

Perjuangan feminis di berbagai kawasan dunia, termasuk Indoensia dalam melawan ketidakadilan jender terhadap perempuan kiranya belum selesai. Kesetaraan jender sampai saat ini masih menjadi cita-cita perjuangan mereka. Di Jawa, emansipasi perempuan yang diperjuangkan oleh RA. Kartini beberapa waktu lalu tampaknya telah membawa perubahan bagi perempuan.

Namun dalam budaya Jawa perempuan dikondisikan dalam posisi yang dipandang tidak adil. Kiranya dapat dilihat dari sastra Jawa sebagai media sosialisasi nilai-nilai budaya dan merupakan cerminan representatif yang dapat memberikan informasi tentang peran serta kedudukan perempuan pada masa lalu.

Dalam budaya Jawa pada masa lalu, perempuan dipossisikan sebagai makhluk inferior yang perannya terbatas pada sektor-sektor domestik, sedangkan laki-laki diposisikan sebagai makhluk superior yang berperan pada sektor publik. Karena peran yang berbeda itu dapat dipandang sebagai cerminan dari budaya Jawa yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan.

 


PEMBAHASAN

 

A.    Kedudukan dan Peran Perempuan

Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama sebagai makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Namun, dalam masyarakat di berbagai tempat terdapat perbedaan pandangan tentang status perempuan sehingga muncul konstruksi yang berbeda-beda mengenai kedudukan perempuan. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pandangan tersebut, seperti stereotipe (pelabelan) yang diatikan dengan sifat ataupun fisik laki-laki dan perempuan. Laki-laki dikonsepsikan bekerja di luar rumah (wilayah publik) yang tantangannya lebih besar. Di sisi lain, wanita dikonsepsikan bekerja dalam bidang terkait dengan urusan di dalam rumah tangga (wilayah domestik) yang tidak banyak mengandung resiko/bahaya. Konsep peran yang dikonstruksikan oleh masyarakat dan dikenal dengan istilah jender.

Dari hasil penelitiannya, George Peter Murdock menyebutkan bahwa dalam kelompok masyarakat, laki-laki cenderung mamilih pekerjaan yang “maskulin”. Sementara itu perempuan memilih pekerjaan “feminin”.[1] Pembagian kerja berdasarkan kerja berdasarkan jenis kelamin itu memunculkan pelembagaan kedudukan wanita di sektor domestik. Dan pekerjaan di wilayah domestik dipandang lebih rendah daripada pekerjaan di wilayah publik karena tidak menghasilkan keuntungan materi. Hal ini mengakibatkan kedudukan perempuan yang bekerja di sektor domestik dipandang lebih rendah daripada laki-laki yang bekerja di sektor publik. Selain itu pada umumnya perempuan diasumsikan sebagai makhluk inferior, laki-laki diasumsikan sebagai makhluk superior. Dengan demikian, selain menyebabkan terjadinya marginalisasi, peranan perempuan yang terbatas di sektor domestik juga menyebabkan subordinasi.

 

B.     Perempuan dalam Budaya Jawa

Perempua dalam budaya Jawa berada pada posisi subordinat dan marginal. Contohnya saja, di kalangan masyakarat Jawa dikenal istilah kanca wingking (teman belakang) untuk menyebut istri. Hal itu menunjukkan bahwa perempuan tempatnya bukan di depan sejajar dengan laki-laki, melainkan di belakang, di dapur, karena dalam konsep budaya Jawa wilayah kegiatan istri adalah seputar dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur (melayani kebutuhan biologis suami).

Ideologi yang menekankan bahwa peran perempuan yang utama adalah di sekitar rumah tangga, sebagai ibu dan isteri, telah berabad-abad disosialisasikan dan diinternalisasikan dalam masyarakat Jawa.[2]

Dalam masyarakat Jawa ideologi tersebut di lestarikan da secara terus menerus diredefinisikan melalui hukum-hukum adat yang berlaku, kepercayaan-kepercayaan serta negara dan pemerintah yang pernah ada dalam sejarah masyarakat Jawa.[3]

Karena peran perempuan dikonsepsikan untuk melaksanakan tugas di dalam rumah tangga, sejak masih gadis anak perempuan telah diajari dengan tugas sektor domestik yang berkisar di wilayah sumur, dapur dan kasur. Sambil menunggu jodoh, mereka diajari cara berhias, memasak dan melayani suami.

Masa persiapan berumah tangga itu dikalangan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah pingitan, yaitu larangan untuk keluar rumah.[4] Kondisi yang demikian memunculkan ungkapan swarga nunut neraka katut, artinya kebahagiaan atau penderitaan perempuan tergantung sepenuhnya pada laki-laki.

Perubahan pandangan terhadap kedudukan perempuan secara barangsur-angsur terjadi sesudah R. A . Kartini memperjuangkan hak memperoleh pendidikan bagi perempuan. Sejak masa Kartini itu, perempuan Jawa mulai melangkah kearah emansipasi. Perjuangannya membuahkan hasil, diantaranya makin terbukanya kesempatan perempuan untuk mengenyam pendidikan. Dengan bekal pendidikan itu sebagian perempuan Jawa memperoleh pekerjaan di laur rumah tangganya sehingga tugas-tugas perempuan yang semula hanya disektor domestik kemudian meluas ke sektor  publik. Disisi lain ada beban ganda yang harus dikerjakan sebab perempuan tetap bertanggung jawab terhadap tugas-tugas domestiknya.

Secara yuridis formal telah terbuka peluang bagi perempuan untuk memainkan peran disektor publik. Namun, konstruksi budaya Jawa yang menempatkan perempuan  sebagai mahluk kedua tampaknya masih mengakar kuat di dalam masyarakat Jawa. Seperti di kemukakan Y. B. Mangun wijaya di beberapa daerah kaum perempuan justru yang bekerja keras. Penempatannya di seputar “ dapur-sumur-kasur” membuat perempuan miskin cakrawala pengetahuan walaupun kadang-kadang memiliki kekayaan duniawi. Bahkan, sering terjadi pula kekerasan baik fisik maupun psikis terhadap perempuan. Dikalangan masyarakat miskin sering terjadi seorang perempuan dipaksa oleh suaminya untuk melacurkan diri guna mencukupi kebutuhan ekonomi kelaurganya.

 

C.     Gambaran Ideal Perempuan Jawa

Gambaran tentang perempuan ideal diungkapkan dalam berbagai karya sastra Jawa. Salah satu diantaranya adalah pada tembang megatruh bait 20-28 dan sinom bait pertama diungkapkan bagaimana seharusnya perempuan berperilaku terhadap suami. Termasuk perbuatan-perbuatan yang seharusnya dilakikan oleh seorang perempuan sebagai istri adalah takut dan berbakti kepada suami (wedi lan bakti ing laki). Dalam pengertian bahwa seorang istri harus bersedia menerima kemauan serta kehendak suami dan semua kemauan itu hendaklah dilaksanakan, namun harus tetap menilai baik/buruk keinginan suami

 

Adapun yang merendahkan derajat prempuan sebagai istri ada tiga macam.

1.      Berani berbuat sembrana yang menunjukan ketidaktaatan, suka menyangkal pembicaraan, sering membantah, bicara tidak sopan, sangat berani, hanya menggunakan kemauan sendiri.

2.      Tidak menjaga hal-hal yang seharusnya dirahasiakan, pemboros, menghambur-hamburkan harta, tidak mempunyai rasa sayang akan pemberian suami dan merusak nafkah.

3.      Hatinya penuh dengan syak wasangka, suka pamer, tidak lurus, tidak tulus, curang, nakal dan berbuat sembarangan.[5]

Dalam tradisi Jawa tentu tidak jarang lagi dengan yang namanya 3 B (bibit, bobot dab bebet) dalam mencari seorang istri

a.       Bibit

Ditinjau dari keturunan bibit sangat menentukan hasil keturunan yang akan datang, dimana bibit yang baik di peroleh dari keluarga yang baik, sehat jasmani, rohani dan tidak mengalami gangguan jiwa.

b.      Bobot

Kekayaan ini sangat di butuhkan dalam membangun rumah tangga dimasa yang akan datang, karena dengan harta yang dimiliki ini dapat menentukan arah kemana dan apa yang dibutuhkan dalam membangun rumah tangga.

c.       Bebet

Kedudukan seseorang dalam memnbangun rumah tangga dalam memilih wanta melihat bebet, kedudukan wanita tersebut.[6]

 

 

 

 

 

 

D.    Kedudukan Perempuan

Kedudukan perempuan yang disebutkan dalam beberapa karya sastra Jawa:

1.      Sebagai hamba tuhan

Perempuan Jawa pada umumnya menganut agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, atau Budha, Animisme dan dinamisme. Ajaran yang sinkretis ini disebut agama Jawi atau Kejawen.

2.      Sebagai anak atau menantu

Anak perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bakti (mengabdi) kepada orang tua. Setelah menikah, pengabdian sebagai anak bertambah denganwajib bakti kepada mertua. Selain orang tua, mertua juga mempunyai andil, dalam menciptakan kegahagiaan anak/menantu, sebagaimana orang tua kandung. Karena melalui perantaraan mertua, perempuan mendapat suami yang dapat memberikan kebahagiaan.

3.      Sebagai Istri

Dalam sastra jawa banyak di temukan ajaran tentang tugas-tugas istri sebagai pendamping suami. Karena kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus berbakti kepada suami, deskripsi tentang sifat dan perilaku istri ideal banyak dikemukakan dalam sastra jawa. Dengan tuntutan ideal tersebut, tugas seorang istri sangat kompleks dan berat.

Ajaran patuh kepada suami mengharuskan perempuan jawa rela di madu oleh suaminya dan harus bersikap baik terhadap madunya. Masyarakat pada umumnya, terutama bagi pemeluk Islam, mengetahui bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat suami dapat berbuat adil.

4.      sebagai Ibu

Tugas perempuan dalam kedudukannya sebagai Ibu tidak banyak disinggung dalam karya sastra jawa. Yang sering ditemukan dalam sastra jawa adalah hak Ibu, termasuk Bapak untuk mendapatkan penghormatan dan kebaktian dari anak. Ibu mendapat kedudukan yang sama dengan bapak dalam hal mendapatkan kepatuhan dan penghormatan dari anak.[7]

E.     Streotipe Wanita Jawa

Gambaran perempuan jawa menurut cara pandang budaya jawa itu adalah sebagai berikut:

  1. secara kodrati perempuan merupakan mahluk lemah jika dibandingkan dengan laki-laki sehingga perlu dilindungi oleh laki-laki.
  2. Karena perempuan dipandang sebagai mahluk lemah sehingga perlu mendapat perlindungan dari laki-laki, nasib perempuan sebagai tergantung pula pada suami. Ungkapan jaw mengatakan swarga nunut neraka katut. Swarga adalah lambang dari kehidupan dunia maupun akhirat yang  menunjukan penderitaan dan penuh kesengsaraan. Dalam hal ini, kebahagiaan dan kesengsaraan istri tergantung pula pada kebahagiaan dan kesengsaraan suami. Perempuan seakan-akan tidak mempunyai daya untuk menentukan nasibnya.
  3. Perempuan dicipakan dari bagian tubuh laki-laki. Pandangan tersebut berasal dari kisah penciptaan perempuan yang pertama, yakni Hawa, yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Kisah tersebut telah menamakan suatu sikap superioritas laki-laki terhadap perempuan
  4. Perempuan diciptakan untuk berbakti kepada laki-laki (suami). Tugas perempuan adalah melayani kebutuhan aki-laki. Khususnya kebutuhan seks. Oleh karena itu, perempuan ditempatkan sebagai objek seksual sehingga tidak mengherankan kalau raja Jawa pada masa lalu memiliki banyak selir .
  5. Kedudukan perempuan semata-mata dipandang sebagai alat reproduksi. Artinya, perempuan hanya berfungsi sebagai objek bagi laki-laki untuk mengandung dan melahirkan anak keturunan. Ada semacam kebanggaan dalam budaya jawa terhadap banyaknya anak keturunan yang dapat dimiliki. Tercermin dalam ungkapan banyak anak banyak rejeki. Akibatnya perempuan selalu disibukan dengan kegiatan mengasuh, mendidik, serta mengurus anak.
  6. Perempuan hanya mengurusi soal-soal domestik, urusan-urusan kerumah tanggaan, atau urusan dapur. Oleh karena itu,perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi. Di depan umum seorang istri tidak boleh menonjol dari suami.

Analisis terhadap status dan peran perempuan Jawa menghasilkan kesimpulan yang beragam. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam mencermati hubungan gender dan dinamika interaksi yang  terjadi dalam hubungan gender pada masyarakat dan budaya Jawa. Hasil-hasil pelelitian terdahulu mengenai perempuan Jawa secara umum  dapat dikelompokan menjadi dua pandangan.

Kelompok pertama mengemukakan bahwa perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang besar dan status yang tinggi, baik dalam masyarakat yang luas maupun keluarga. Posisi tersebut dicapai perempuan antara lain karena adanya  struktur keluarga yang bilateral, anggapan umum yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan atau suami dan istri adalah mahluk yang saling melengkapi. Peranan penting perempuan juga ditunjukan dengan adanya kenyataan bahwa sebagian besar rumah tangga Jawa, perempuanlah yang bertanggung jawab dalam mengelola pendapatan dan pengeluaran rumah tangga.

Kelompok kedua menyangkal pendapat bahwa wanita Jawa memiliki kekuasaan dan status yang tinggi. Peranan penting wanita dalam pengelolaan  rumah tangga belum  tentu menunjukan tingginya status wanita. Wanita memiliki  beban ganda  karena mereka harus mencari nafkah untuk keluarga dan juga dituntut untuk menyelesaikan  sebagian besar pekerjaan domestik sehingga mereka harus membagi waktu dan sumber daya untuk memenuhi kedua kewajiban tersebut secara bersamaan.[8]

Keadaan yang  sekilas menunjukan bahwa perempuan Jawa memiliki kekuasaan dan peran yang besar dalam keluarga dan masyarakat sebenarnya merupakan kenyataan semu yang membutuhkan kajian yang lebih kritis.[9]

 

PENUTUP

 

Pandangan tentang yang terkandung dalam sastra Jawa tidak dapat dilepaskan dari konstruksi masyarakat Jawa mengenai kedudukan perempuan pada masa itu. Melalui karya sastra mereka membantuk pandangan tentang perempuan ideal. Beberapa streotipe yang dikemukakan antara lain adalah perempuan merupakan mahluk yang lemah sehingga di pandang tidak memiliki potensi untuk menentukan nasibnya sendiri.

Akibatnya, muncul ungkapa swarga nunut neraka katut. Karena nasibnya tergantung pada suami, perempuan dipandang lebih rendah kedudukannya dari pada laki-laki. Sesuai dengan itu peranan perempuan terbatas pada tugas-tugas domestik, yakni sekitar sumur, dapur dan kasur. Perempuan dikatakan ideal jika  memiliki kemampuan untuk mendukung tugas domestiknya, seperti pandai memasak, macak (berhias) dan mahir melayani suami.

 DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ridzal, Faizie. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender Dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: pustaka pelajar

Sofwan, Ridin. 2001. Perempuan Dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media

http://imm-progresif.blogspot.com/2010/11/kriteria-istri-dalam-pandangan-tradisi.html



[1] Ridin Sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 2.

[2] Irwan Abdullah, Sangkan Peran Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 90.

[3] Ibid

[4] Ridin Sofwan. 2001. Perempuan Dan Seksualitas Dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media. hlm. 7

[5] Ibid. hlm.50

[7] Fauzie Ridzal. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia. Yogyakarta: tiara wacana. hlm.23

[8] Irwan Abdullah. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm.82

[9] Mansur Faluh. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 84

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon