Showing posts with label Fiqih III. Show all posts
Showing posts with label Fiqih III. Show all posts

November 15, 2022

Poligami, Nikah Siri, Dan Muth'ah




I.          PENDAHULUAN
Segala sesuatu di dunia ini diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan sebagaimana firmannya :
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ
Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebasaran Allah” (Adz-Dzariyaat : 49)
 Al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia secara naluriah, di samping mempunyai keinginan terhadap anak keturunan, harta kekayaan dan lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya, untuk memberikan jalan keluar yang terbaik mengenai hubungan manusia yang berlainan jenis itu, Islam menetapkan suatu ketentuan yang harus dilalui, yaitu pernikahan.
Untuk mengetahui sejauh mana kebaikan hokum pernikahan dalam Islam, perlu dilihat bagaimaan sikap Islam terhadap poligami, karena masih saja ada anggapan bahwa hukum Islam, khususnya mengenai perkawinan, tidak dianggap adil sehubungan dengan sikap slam yang membolehkan kaum pria kawin dengan wanita lebih dari satu.
Dalam uraian berikut akan dicoba membahas masalah poligami, nikah mut’ah dan nikah sirri.

II.       POLIGAMI, NIKAH MUT’AH DAN NIKAH SIRRI
A.    POLIGAMI
Poligami merupakan tindakan seorang laki-laki untuk memperistri wanita lebih dari satu. Dalam agama Islam berpoligami memang tidak dilarang bahkan Islam sangat menganjurkan, namun dengan dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1.      Bahwa istri kedua, ketiga dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim
2.      Harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim.
Adapun kedua syarat tersebut didasarkan atas struktur kaidah bahasa dalam firmannya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, atau empat.” (An-Nisa’: 3).
Sesungguhnya perintah berpoligami berdasarkan ayat tersebut, akan data menguraikan berbagai kesulitan sosial yang dialami perempuan dalam hidup bermasyarakat, antara lain:
1.      Adanya seorang laki-laki disisi seorang janda akan mampu menjadi dan memeliharanya agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang keji.  
2.      Pelipatgandaan tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak yatim dimana mereka tumbuh dan dididik didalamnya.
3.      Keberadaan sang ibu di sisi anak-anak mereka yang yatim senantiasa tetap bisa mendidik dan menjaga mereka agar tidak menjadi gelandangan dan terhindar dari kenakalan remaja.[1]

B.     ALASAN POLIGAMI
Karena pada prinsipnya suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, maka Poligami diperbolehkan apabila dikehendaki ole pihak-pihak yang bersangkutan dan pengadilan telah memberi izin pasal 3 ayat 2 UU Pekawinan
Adapun alasan yang dipedomani oleh pengadilan untuk dapat memberi izin  poligami, titegaskan dalam pasal 4 ayat 2  UU Perkawinan  :
Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu apabila  :
a)      Istri tidak  dapat menjalankan kewajibannya sebagai Istri
b)      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c)      Istri tidak dapat melahirkan keturunan

C.    SYARAT POLIGAMI
Selain alasan-alasan diatas, untuk berpoligami seorang suami juga harus memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan  dalam ketentuan pasal 5 UU Perkawinan yaitu :
1)      Untuk dapat mengajukan permohonan  kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (I) UUP, harus dipenuhi syarat- syarat sebagai berikut :
a)      Adanya persetujuan dari Istri
b)      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
c)      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri  da anak-anak mereka.
2)      Persetujuan yang maksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlakukan bagi suami apabila istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak ada kabr dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan[2]
Dari situ juga pengadilan harus menerima kesediaan dari istri pertama baik tertulis maupun secara lisan dalam persidangan Pengadilan Agama dengan seperti itu segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus dihilangkan atau setidaknya dikurangi.
ذَرْ أُالْمَفَاسِدِ مُقَدَّمُ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
menghindari kemadhorotan (kerusakan) harus didahulukan dari pada mengambil manfaat (kemaslahatan)”
                 Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 3
 ÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

B. NIKAH MUT’AH Dan NIKAH SIRI
a. NIKAH MUT’AH
Nikah Mut’ah adalah nikah yang dilakukan antara laki-laki dan wanita dalam jangka waktu tertentu  (Ensiklopedi hukum Islam)
·         Jumhur ulama                         : ِِِAkad alam jangka waktu tertentu
·         Al-jazir                                  : Nikah yang dikaitkan dengan pembatasan waktu tertentu
·         Madzab Maliki, Syafi.i          : Nikah yang dikaitkan dengan waktu tertentu dan pembatasannya waktu itu diucapkan pada saat nikah berlangsung.
·         Ulama Fiqh lain                    : Akad seorang laki-laki kepada wanita tertentu untuk hidup bersama dalam waktu tertentu pula
Menurut Madzab Syafi’i, Hambali dan maliki nikah Mut’ah disebut juga nikah Muaqqaf (nikah yang dibatasi waktunya)[3] istilah lain dari nikah Muqat’i (nikah yang terputus)
·         Hukum nikah Mut’ah
Menurut madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, serta Jumhur  Sahabat dan tabi’in  menyatakan bahwa nikah mut’ah dilarang untuk selama-lamanya
Sabda Rasulullah SAW yang artinya  :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW  telah mengharamkan mut’ah lalu beliau bersabda : Hai sekalian manusia. Aku telah membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah. Ketahuilah sekarang Allah SWT telah mengharamkannya sampai hari kiamat nanti “(HR. Ibnu Majah)
Kemudian perlu diketahui , bahwa dikalangan sahabat dan tabi’in seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud menganggap bahwa nikah mut’ah boleh dilakukan dengan alas an Firman Allah ;
$yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 ÇËÍÈ
“Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban” ; ( An-Nisa : 24 )
Nikah Mut’ah  diperbolehkan sejauh dibutuhkan dan dalam situasi darurat atau terpaksa. Hal ini berarti tidak halal secara mutlak. Untuk menentukan darurat atau terpaksa tentu sangat sulit member batasannya, tidak sama untuk setiap individu.
6. Nikah Sirri
Istilah nikah sirri berawal dari ucapan Umar bin Khatatb, pada saat beliau diberitahu, bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak dihadiri oleh saksi. Singkat cerita beliau mengharamkannya.[4]
Imam Abu Hanifah dan Syafi’I berpendapat bahwa  nikah sirri tidak boleh dan jika terjadi harus di fasakh (dibatalkan) oleh pengadilan agama.
عن  ابن عبا س  اَِِن البِيْي صلعم قا ل البفا يا ا للا تى ينكحن ا نفسهن بغيربينة (رواه الترمذى)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, sesunggunya Nabi Saw.,  bersabda : “ Pelacur  adalah wanita yang mengawinkan dirinya tanpa (ada ) bukti” ( HR. Tirmidzi).
Dilihat sepintas, pernikahan itu dipandang sah, bila memenuhi syarat dan rukunnya. Namun pernikahan juga harus tercatat pada kantor urusan agama. Apabila terjadi perselisihan, maka dapat diajukan ke Pengadilan Agama.
Dari sudut pandang fiqih, pernikahan itu dipandang sah, tetapi apabila terjadi perselisihan, tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan agama. Dengan  demikian  madharatnya lebih besar dari pada manfaatnya.

III. Kesimpulan
Dalam berpoligami tentunya calon suami harus memperhatikan syarat-syarat untuk berpoligami seperti dapat berlaku adil, mengawini janda yang tujuannya untuk menolong nasib mereka bukan karena nafsu biologis semata.
Dari sudut pandang islam nikah mut’ah dan nikah sirri dilarang. Karena lebih besar mudharatnya daripada  manfaatnya. Disamping itu nikah mut’ah  jug adiharamkan  oleh para ulama-ulama  terdahulu kecuali aliran syi’ah.
Demikianlah makalah yang kami susun mudah-mudahan apa yang kami tulis dalam makalah ini mengandung manfaat yang besar khususnya bagi kami dan umumnya pada pembaca. Kami merasa banyak sekali kekurangan dalam membuat makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan sumbangsih kritik dan saran dari pembaca agar dalam perkembangan silanjutnya akan lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA


Hasan M. Ali. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam.Jakarta.
Siraja.

Rofiq Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Shahrur Muhammad. 2004. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer.Yogyakarta :
Elsaq Press. 


[1] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Komntemporer, (Yogyakarta: ELSAQ Press, 2004), h. 428-429
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. PT Raja Gratindo, Jakarta 1998 hal .173
[3] M.Ali hasan . Pedoman hidup berumah tangga dalam Islam Siraja, Jakarta, 2006 hal 287.
[4] Ibid. Hal. 296