1. Pengertian Ijma’
a. Secara etimologi
Secara etimologi ijma اڶاجماع berarti “kesepakatan” atau konsensus. Pengertian ini dijumpai dalam Surat Yusuf 12 : 15, yaitu:
$£Jn=sù (#qç7yds ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs Îû ÏMt6»uxî Éb=ègø:$# 4
Artinya:
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur)”
Pengertian etimologi ijma’ adalah العرم على شئ (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian ini ditemukan dalam Surat Yunus, 10 : 71:
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uà°ur
Artinya:
“Bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu”
Perbedaan antara pengertian pertama dan kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.[1]
b. Secara terminologi
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh dari kaum muslimin pada suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah SAW atas sesuatu hukum syara’ dalam suatu kasus tertentu.[2]
Adapun pengertian ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijma’ sebagai berikut:
1) Al-Ghazali merumuskan ijma’ dengan:
عِبَارَةٌ عَنِ اتِّفَاقِ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ خَاصَّةً عَلَى أَمْرٍ مِنَاْلاُمُوْرالدِّيْنِيَّةِ.
Artinya: “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.
Meskipun dalam sitilah ini dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas, yait seluruh umat Nabi Muhammad atau umat Islam. Pandangan Imam Al-Ghazali ini mengalami perubahan dan perkambangan di tangan pengikutnya dikemudian hari.
2) Al-Amidi, yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’:
Imam Al-Amidi membatasi ijma’ itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi Muhammad, yaitu ornag-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengungkai dan pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam.
3) Definisi yang berbeda dai beberapa ulama fiqh
Menurut mereka tidak menitik beratkan kata “semua”. Akan tetapi cukup pada suatu kelompok atau beberapa orang saja. Mereka tisak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri di luar apa yang ditetapkan oleh Qur’an dan sunah. Bagi mereka ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya sunah yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum (terbebas dari dosa).
4) Al-Nazham (Pemuka kelompok Nazhamiyah, pecahan dari Mu’tazilah)
Mengemukakan rumusan tentang ijma’ yaitu suatu perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah. Maksudnya setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’ah, meskipun ucapan seseorang, walaupun rumusannya tidak sejalan denga arti lughowi yang mengartikan ijma’ artinya “kesepakatan”.
5) Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian ahl al sunnah dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf
Konseusus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus. Dari rumusan tersebut jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan. Dan yang sepakat di sini yaitu semua mujtahid muslim, berlaku sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, karena selama Nabi masih hidup, Al-Qur’anlah yang akan menjawab persoalan hukum karena ayat Al-Qur’an kemungkinan masih turun dan Nabi sendiri sebagai tempat bertanya tentang hukum syara’.[3]
2. Syarat-syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat disimpulkan beberapa persyaratan ijma’. Syarat-syarat terjadinya ijma’ adalah sebagai berikut:
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid
Para ulama berbeda pendapat tentang istilah mujtahid, secara umum mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalil syara’.
Dalam kitab jam’li al-wajam’I disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid orang yang faqih. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa mujtahid itu ahlul halli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat al wahid dalam kitab al-isbat. Bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlul halli wa aqdi. Kedua pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu mengistinbath hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (umum) yang belum mencapai derajat mujtahid tidak dapat dikatakan ijma’. Begitu pula penolakan mereka.
b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Apabila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit maka menurut jumhur ulama hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma; itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud dengan kesepakatan dalam ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan. Sebagian ulama lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskiupun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil shahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.
c. Para mujtahid harus umat Muhammad
Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad adalah orang-orang mukallah dari golongan Ahl-halli wal aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah muslim, berakal dan telah baligh.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad tidak dapat dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat Nabi lain yang berijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
d. Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi Muhammad masih hidup, karena Nabi Muhammad senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan itu dianggap sebagai syariat.
e. Kesepatakan mereka harus berhubungan dengan syariat
Maksudnya kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariatnya seperti tentnag wajib, sunah, makruh, haram dll.
Hal itu sesuai dengan pendapat Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada maslah-masalah agama juga sesuai dengan pendapat al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat, Syafi’udin dalam Qawaidu Ushul, Kamal bin Hamam dalam kitab Tahriri dan lain-lain.
3. Macam-macam (Tingkatan) Ijma’
a. Ditinjau dari segi terjadinya dan martabatnya
1) Ijma’ Sharih/Qauli/Haqiqi
Adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap sesuatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’ dan kesepakatan ini dinyatakan secara tegas oleh masing-masing mujtahid.
Menurut Abdul Karim Zaidan ijma’ sharih dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu boleh jadi para mujtahid menghadapi sesuatu masalah, lalu asing-masing mereka menyatakan kesepakatan secara bulat.
Mungkin pula bisa terjadi bahwa para mujtahid tersebut dihadapkan dengan sesuatu masalah, kemudian masing-masing mereka terdapat persamannya. Kemungkinan, boleh jadi pula sebagian mujtahid mengeluarkan fatwa dan fatwa ini sampai ke mujtahid yang lain dan mereka menyetujuinya. Atau, dapat pula terjadi seorang mujtahid menetapkan hukum sesuatu masalah dan ketetapan hukum tersebut disepakati oleh mujtahid yang lain secara nyata.
2) Ijma’ Sukuti
Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereka diam. Tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Ijma’ sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
a) Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan
b) Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya dan biasanya cukup untuk memikirkan permaslaahannya dan biasanya cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
c) Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permaslahan ijtihadi, yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni.
Tentang permasalahan yang tidak boleh diijtihadi, atau yang bersumber dari dalil-dalil qathi’, apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan lainnya diam, hal itu tidak bisa dikatakan jma’.
Hal ini karena diamnya mereka tidak dapat dikatakan menyepakati melainkan meremehkan pemberi fatwa tersebut karena ilmunya masih dangkal.[4]
b. Ditinjau dari segi mujtahid yang berijma’
Ditinjau dari segi mujtahid yang berijma’, ijma terbagi atas beberapa macam, yaitu:
1) Ijma’ Ummat
Yaitu ijma’ yang dimaksud dalam definisi ijma’ tersebut yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin setelah wafatnya Rasulullah SAW.
2) Ijma’ sahabat
Yaitu kesepakatan seluruh ulama sahabat terhadap suatu urusan.
3) Ijma’ Ahli Madinah
Yaitu kesepakatan ulama-ulama penduduk Madinah terhadap suatu masalah. Ijma’ dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
4) Ijma’ Ahli Kuffah
Yaitu kesepakatan ulama-ulama penduduk Kuffahterhadap suatu masalah. Ijma’ ini dijadikan hujjah oleh Imam Abu Hanifah.
5) Ijma’ al-Khulafa al-Arba’ah
Yaitu kesepakatan empat khalifah pertama, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Sebagian ulama menganggap ijma’ ini sebagai hujjah.
6) Ijma’ al-Syaikhan
Yaitu kesepakatan antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Sebagian ulama juga menganggap ijma’ ini sebgai hujjah.
7) Ijma’ al-Itrah
Yaitu kesepakatan ulama-ulama ahli bait.[5]
4. Kehujjahan Ijma’
Para ulama memang berbeda pendapat tentang otoritas ijma’ ini. Perbedaan-perbedaan ini lebih banyak dipengaruhi persoalan-persoalan substansi ijma’ dan aspek-aspek internal masing-masing mazhab ushul. Persoalan substansial ijma’ di sini adalah ijma’ itu dalam arti kesepakatan seluruh mujtahid tanpa terkecuali, atau sebagian besar mujtahid saja.
Kemudian persoalan yang menyangkut aspek internal masing-masing mazhab yaitu terkait pada sumber terbentuknya ijma’ dan penerimaan mereka terhadap ijma’ tersebut.
Terhadap substansial ijma’ terdapat tiga persoalah yang menjadi perbedaan di kalangan mazhab ushul, yaitu:
a. Tentang ukuran dan batasan ijma’
Para ulama ushul berbeda pendapat tentang ukuran jumlah yang disebut ijma’. Diantara ulama yang mengatakan bahwa ijma’ itu tidak perlu adanya kesepakatan seluruh mujtahid, tetapi sudah dipandang cukup jika jumlah mereka sudah mencaai sebanyak tingkat mutawatir. Akan tetapi, sebagian ulama ushul berpendapat bahwa ijma’ itu harus kesepakatan mujtahid, kalau ada yang tidak setuju meskipun sedikit itu harus kesepatakan mujtahid, kalau ada yang tidak setuju meskipun sedikit tidak dapat dikatakan ijma’.
b. Kemungkinan terjadinya ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakan jumhur ulama berkata ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana.
Menurut Al-Nizam dan golongan Syi’ah, ijma’ itu bisa terjadi dengan mengmukakan beberapa argumentasi, antara lain:
1) Sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur ulama tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi kriteria.
2) Ijma’ itu harus bersadarkan pada dalil baik yang zhanni ataupun Qathi’i. apabila berlandaskan pada dalil Qathi tidak diragukan bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’ dan sebaliknya apabila menggunakan dalil Zhanni, dapat dipastikan para ulama akan berbeda pendapatnya dengan kemampuan berfikir dan daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yang menguatkan pendapat mereka. Itulah beberapa alasan terpenting yang dikemukakan oleh mereka yang mengingkari adanya ijma’.
Adapun mereka yang mengakui adanya ijma’ memberikan argumen dengan mengemukakan beberapa contoh, ijma’ yang telah dilakukan oleh para mujtahid dari golongan sahabat, seperti nenek mendapat seperenam dari harta waris, tidak sahnya perempuan muslimin menikah dengan non muslim dan lain-lainnya.
c. Kehujjahan ijma’ sebagai dalil
Berbagai pandangan yang muncul di kalangan ulama shul baik klasik maupun kontemporer, bahwa ijma’ merupakan salah satu dalul hukum. Akan tetapi, di kalangan ulama ushul timbul perbedaan pendapat tentang hakekat dan kekuatan kehujjahan ijma sebagai dalil hukum baik ijma’ sharih maupun ijma’ sukuti.
1) Terhadap ijma’ sharih, jumhur ulama sepakat bahwa ia merupakan hujjah qath’i yang wajib diamalkan
Dalam pandangan jumhur ulama, haram hukumnya menyalahi atau menolak ijma’ sharih, sebaliknya bagi al-Nizzam, sebagian khawarij dan syi’ah. Ijma’ sharih tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Mereka mengatakan “Seungguhnya ijma’ bukan hujjah”. Mereka mengingkari dan menolak kehujjahan ijma’.
2) Terhadap ijma’ sukuti terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh
Pendapat pertama menyatakan bahwa ijma’ sukuti bukan ijma’ apalagi untuk dijadikan hujjah, sekalipun hujjah yang bersifat Zhanni (Imam Syafi’i dan sebagian ulama Malikiyah).
Pendapat kedua mengatakan bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah yang qath’i dan tidak boleh ditolak, karena kedudukannya sama dengan ijma’ sharih meskipun kekuatannya sedikit lebih rendah dari ijma’ sharih (sebagian besar pendapat ulama Hanafiyah dan Hanbali)
Pendapat ketiga mengatakan bahwa ijma’ sukuti tidak digolongkan keada ijma tetapi menjadi hujjah yang bersifat Zhanni (pendapat sebagian ulama hanafiyah dan sebagian ulama syafi’iyah).
Menurut al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan syiah, khawarij, dan al-Nizzam dari golongan mu’tazilah.
Al-Hijjab berkata bahwa ijma’ adalah hujjan tanpa harus menanggapi pendapat al-Nizzam, khawarij dan syiah. Menurut syiah baik Zaidiyah maupun Imamiyah sebenarnya menerima ijma sebagai hujjah, tetapi ijma’ yang mereka terima adalah ijma’ dari imam-imam mereka yang dianggap ma’shum (terpelihara) dari kesalahan.[6]
PENUTUP
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa ijma’ yaitu kesepakatan seluruh dari kaum muslimin pada suatu maslaah setelah wafatnya Rasulullah SAW, atas suatu hukum ysra’ dalam suatu kasus tertentu. Dan ada beberapa macam-macam ijma’.
- Dari segi martabat dan terjadinya
1) Ijma’ sharih/Qauli/Hakiki
2) Ijma’ Sukuti
- Dari segi mujtahid yang berijma’
1) Ijma’ ummat
2) Ijma’ sahabat
3) Ijma’ Ahli Madinah
4) Ijma’ Ahli Kuffah
5) Ijma’ al-Khulafa al-Arba’ah
6) Ijma’ al-Syaikhan
7) Ijma’ al-Itrah
Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan. Untuk itu kami mohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Rohayana, Ade. 2005. Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Djazuli, A. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
Syarifudin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jilid I. Jakarta: PT. Logos Ilmu.
[1] Drs. H. Nasrun Haroen, M.A, Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 51.
[2] Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 73.
[3] Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jilid I (Jakarta: PT. Logos Ilmu, 2001), h. 112-115.
[4] Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ushul Fiqh, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005), h. 121-125.
[5] Prof. H.A. Djazuli, Op.Cit., h. 75-76.
[6] Ade Dei Rohayana, .Ag, Op.Cit., h. 126-132.
EmoticonEmoticon