November 15, 2022

Pengantar Ushul fiqih

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pengertian fiqih atau ilmu fiqih sangat berkaitan dengan syara’ karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelumnya memberikan penjelasan tentang arti fiqh, terlebih dahulu perlu dijelaskan arti dan hakikat syari’ah.
Fiqh adalah ilmu tentang hukum Allah yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat mamaliyah furu’iyah, pengetahuan tentang hukum Allah itu berdasarkan dalil tafsili, dan fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan ustidlal seorang mujtahid/fiqh.
Pada waktu Nabi Muhamad Saw masih hidup, segala peroalan hukum yang timbul langsung dinyatakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut Hadits atau sunnah.
Kemudian para ulama’ mustahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan azaz dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Disamping itu, jika memperhatikan jiwa syari’ah dan tujuan Allah yang menetapkan mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah-kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumber itulah yang disebut ushul fiqh.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ushul Fiqh
Kata “Ushul Fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”.
Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi berarti “paham yang mendalam”.
Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat analiah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”.
Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya.” Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud definitif dari kata shal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”. Dengan demikian “ushul fiqh” secara istilah teknik hukum berarti: “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci’, atau dalam artian sederhana adalah: “Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan, “Mengerjakan shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum syara’”. Tidak pernah tersebut dalam al-Qur’an maupun hadits bahwa shalat itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah perintah mengerjakan shalat yang berbunyi:

Kerjakanlah shalat
Ayat al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut “dalil syara’”.
Yang disebut “dalil syara’” itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.
Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seseorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.[1]
Menurut Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, telah mengemukakan definisi Ushul Fiqh yang lengkap, yaitu:
“Ushul fiqh ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum).[2]
Ushul fiqh ialah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat. Perkataan dasar yang dipergunakan dalam perumusan ini bukanlah dasar dalam pengertian benda (seperti dasar kain untuk baju misalnya). Akan tetapi dasar ialah bahan-bahan yang dipergunakan oleh pikiran manusia untuk membuat hukum fiqih, yang menjadi dasarnya, ialah :
-          Al-Qur’an
-          Sunnah Nabi Besar Muhamad Saw (Hadits)
-          Ra’yu atau akal seperti qiyas dan ijma’.[3]

B.  Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dall syara’ yan terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalilitu. Dengan kaidah-kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.[4]
Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu antara lain:
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama terdahlu, maka bila suatu ketika menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahlu, maka kita akan dapat mencari jawaba hukum terhadap masalah bau itu denga cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahlu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum angsesuaidengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya.[5] 

C.  Aturan-aturan Ushul fiqh
a.       aliran Jumhur Ulama Ushul Fiqh
aliran ini dikenal juga dengan aliran ayafi’iyah atau aliran Mutakallimin. Disebut aliran Syafi’iyah karena orang paling pertama mewujudkan cara penulisan Usul seperti ini adalah Imam Syafi’i, dan dikenal sebagai aliran Mutakallimin karena para pakar di bidang ini setelah  Imam Syafi’i adalah kalangan Mutakallimin (para ahli lmu kalam), misalnya Imam al-Qadli Abdul Jabbar, dan al-Imam al-Ghazali.
Dalam perkembangannya metode penyusunan Ushul Fiqh aliran ini diikuti oleh kalangan Malikiyah dan Hanabilah. Oleh karena itu, metode ini juga dikenal dengan metode Jumhur ulama Ushul Fiqh. Buku-buku setandar dalam aliran ini yang disusun ketika itu adalah kitab al-Amd oleh Qadi Abdul abbar al-Mu’tazili (w. 415H), kitab al Mu’amad fi Ushul al-Fiqh oleh Abu Husein Al-Bashri al-m’tazili (w. 436 H).


b.      Aliran Fuqaha atau Alira Hanafiyah
Aliran fuqaha, adalah aliran yang dikembangkan oleh kalangan ulama  hanafiyah. Disebut aliran fuqaha (ahli-ahli fikih) karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fikih. Dalam merumuskan kaidah Ushul Fiqh mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fikih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Kitab-kitab standar yang disusun dalam aliran ini adalah periode ini adalah antara lain kitab Ta’sis al-Nazhar oleh Abu Zaid Al-Dabbusi (w.430 H), kitab Ushul al-Bazdawi oleh Ali Ibn Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H).
c.       Aliran yang mnggabngkan antara Dua Aliran diatas
Dalam perkembangan selanjutnya, seperti disebutkan oleh Muhammad Abu Zahrah, muncul aliran ketiga yang dalam penulisan ushul Fiqh menggabungkan antara dua aliran tersebut. Mislanya buku Badi’al-Nizam karya Ahamd bin ‘Ali al-Sa’ati (w. 694 H) ahli Ushul Fiqh al-Bazdawi oleh Ali Ibn Muhammad al-Bazdawi dari aliran Hanafiyah dan al-Ihkam fi ushul al-Ahkam oleh al-Amidi (w. 631 H) dari aliran Syafi’iyah buku Jam’u al-Jawami’ oleh Ibnu al-Sibki (w. 771 H), ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah, dan buku al-Tahrir oleh al-Kamal Ibnu al-Humam (w. 861 H) ahli Usuhul Fiqh dari kalangan Hanafiyah.[6]

D.  Pokok Pembahasan Ushul Fiqh
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas maka bahasan pokok ushul fiqh itu adalah tentang :
1.      Dalil-dalil atau sumber hukum syara;
2.      Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu
3.      Kaidah-kaidah tentang ushaa dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang mengandungnya
Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemungkinan terjadinya benturan antara  dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang  orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam tentang  orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini  memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid.[7]

E.  Perkembangan Ushul Fiqh
Ushul Fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pad awaktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakang para sahabat dalam melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun meskipun tidak dirumuskan secara jelas.
Usha istinbath hukum yang dilakukan Ibrahim al-Nakha’i dan ulama Irak lainnya mengarah kepada mengeluarkan ‘illat hukum dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru bermunculan kemudian hari.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa metode yang digunkan dalam merumuskan hukum syara’ semakin memperlihatkan bentuknya. Perbendaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiwh. Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiwhnya menggunakan metode tersendiri. Ia menerapkan al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadist nabi, berikutnya fatwasahabat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama  Tabi’in sebagai dalil dengan pertimbangan bahwa  ulama tabi’in itu  berada  dalam satu rangking dengannya. Metodenya  dalam menggunakan qiyas dan istihsan terlihat nyata sekali. Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang hidup  di kalangan penduduk Madinah.
Dalam penggunaan qiyas, ia memberikan persyaratan yang begitu berat. Tetapi di balik itu Imam Malik menggunakan maslahat mursalah sedangkan metode yang dirumuskan Imam Syafi’i itulah yang disebut ushul fiqh.
Dengan mencoba mengembangkan ushul fiqh syafi’i dengan cara antara lain, menyerahkan, memperinci, yang bersifat garis besar. [8]


[1] Amir Syaifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Ciputat: 1997), h. 41
[2] Nazar Bkary, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: 1996)h. 16-17
[3] Syafi’i Karim, Fiqh Ushuk Fiqh, (Jakarta: 1995), h. 20
[4] Amir Syarifudin, op.cit., h. 41
[5] Syafi’i Karim, op.cit., h. 53
[6] Satria Efendi, M. Zein, MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: 2005), h. 23-26
[7] Amir Syarifudin, op.cit., h. 41
[8] Ibid, h. 36

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon