A. Pendahuluan
Tujuan dari perkawinan yaitu untuk menentramkan (menenangkan) jiwa, melestarikan keturunan, memenuhi kebutuhan biologis dan melakukan latihan praktis dan memikul tanggung jawab.
Namun sekarang ini tidak jarang oran g melakukan perkawinan karena si pria dituntut bertanggung jawab atas perbuatannya melakukan hubungan seks dengan seorang wanita, sebelum terjadi akad nikah menurut ajaran islam.ada juga yang melangsungkan pernikahan karena untuk menutup malu keluarga si wanita. Wanita hamil tersebut diceraikan pria lain yang bukan menghamilinya. Untuk mengawini wanita tersebut apakah si pria tersebut bersedia dengan sukarela ataupun karena ada imbalan tertentu. Biasanya peristiwa tersebut dihebohkan setelah terjadi kehamilan yang susah di tutup-tutupi.
B. Pembahasan
Perkawinan wanita hamil adalah wanita yang hamil sebelum melangsungak akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Apabila wanita hamil yang dicerai suaminya atau ditinggal mati suaminya maka si wanita itu tidak boleh di kawini sebelum melahirkan. Sesudah melahirkan dan sesudahmenjalani nifas baru diperbolehkan ia melaksanakan akad nikah. Ada beberapa pendapat yang berkembang dalam masyarakat mengenai wanita yang hamil yang kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya. Diantaranya adalah :
1. Ulama’ mazhab yang 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah. Dan boleh bercampur sebagai suami-istri dengan ketentuan jika pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru ia menikahinya.
2. Ibnu Hazm (Zhahiri) berpendapat, bahwa keduanya bleh dinikahkan dan boleh bercampur dengan ketentuan, bila telah bertabat dan menjalani hukuman dera, karena keduanya telah berzinah.[1]
Dalam kompilasi hukum islam pasal 53 dijelaskan bahwa :
o Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
o Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada poin pertama itu dilangsungkan tanpa menunggu terlebih dahulu kelahiran anaknya.
o Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil, tidak perlu dilakukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung itu lahir ketentuan tersebut sejalan dengan firman Allah SWT
ÎT#¨9$# w ßxÅ3Zt wÎ) ºpuÏR#y ÷rr& Zpx.Îô³ãB èpuÏR#¨9$#ur w !$ygßsÅ3Zt wÎ) Ab#y ÷rr& Ô8Îô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
Artinya :
3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. (QS. An-Nuur : 3).[2]
Pada ayat tersebut menunjukan bahwa kebolehan nikak dengan laki-laki yang menghamili merupakan pengecualian oleh karena itu, laki-laki yang menghamili itulah yang tepat menjadi suaminya, selain itu pengidentifikasian dengan laki-laki musyrik menunjukan keharaman wanita yang hamil dimaksud untuk menjadi syarat larangan terhadap laki-laki yang baik untuk mengawininya.[3]
Dalam realitanya kehidupan masyasrakat sering juga ditemukan persoalan dimana seorang wanita hamil tidak dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya. Mengenai pria yang kawin dengan wanita yang hamil oleh oran g lain ini, terjadi perbedaan pendapat para ulama.
1. Imam Abu Yusuf mengatakan keduanya tidak bleh dikawinkan sebab bila dikawinkan perkawinannya batal.
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi
ان رجلا تزوج امرأة فلما اصا يهاوجدها حبلى فرجع ذلك ألى النبي صلى الله عليه و سلم ففرق بينهما و جعل لها الصداق و جلى ها ما ئه
"Sesungguhnya seporang laki-laki mengawini seorang wanita ketika ia mencampurinya. Ia ia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi, kemudian Nabi menceraikan keduanya dan memberikan kepada wanita itu maskawin kemudian did era sebanyak seratus kali".
Ibnu Qudamah sejalan dengan pendapat Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan oran g lain kecuali dengan dua syarat :
a) Wanita tersebut telah melahirkan, bila dia hamil, jadi dalam keadaan hamil tidak boleh dikawini.
b) Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera, apakah dia hamil atau tidak.
2. Imam Muhammad Bin Al-Hasan Al-Syaibany mengatakan, bahwa perkawinan itu sah tetapi haram baginya bercampur baginya selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits
لاتؤطاء حاملا حتى تصع
"Janganlah engkau mencampuri wanita yang hamil sehingga lahir (kandungannya)".
3. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah karena tidak terikat dengan pekawinan oran g lain. Wanita itu boleh juga dicampuri karena tidak mungkin nasab bayi yang terkandung ternodai oleh sperma suaminya. Sedang bayinya bukan keturunan oran g yang mengawini ibunya itu.
Dengan demikian status anak tersebut adalah sebagai anak zina bila pria yang mengawini ibunya itu, pria yang menghamilinya maka terjadi perbedaan pendapat.
a) Bayi itu termasuk anak zina bila ibunya dikawini setelah usia kan dungannya berumur 4 bulan keatas. Bila kurang dari 4 bulan maka bayi tersebut adalah anak suami yang sah.
b) Bayi tersebut termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak diluar nikah walaupun dilihat darisegi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya. Karena hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya itu.[4]
[1] M. Ali Hasan, Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Hukum Islam Komtemporer, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 86
[2] H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 37-38
[3] H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Indonesia , ( : Sinar Grafika, 2006), h. 45
EmoticonEmoticon