Showing posts with label pengembangan kepribadian. Show all posts
Showing posts with label pengembangan kepribadian. Show all posts

November 16, 2022

UPACARA ADAT TUJUH BULAN KEHAMILAN (MITONI) DALAM PANDANGAN ISLAM

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 Ajaran Islam bisa dinyatakan kuat bila ajaran itu telah mentradisi dan membudaya ditengah-tengah masyarakat Islam. Tradisi dan Budaya menjadi sangat menentukan dalam kelangsungan syiar Islam ketika tradisi dan budaya telah menyatu dengan ajaran Islam, karena tradisi dan budaya merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubah tradisi adalah sesuatu yang sangat sulit. Maka suatu langkah bijak ketika tradisi dan budaya tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi justru tradisi dan budaya sebagai pintu masuk ajaran.

Lepas dari itu , agama adalah mustadim dan membawa misi memustadimkan sesuatu yang belum mustadim, termasuk mensakralakan 9tidak diperkenankan seseorang menyentuh) sesuatu nilai tradisi yang sebenarnya tidak sakral.

Sesuai dengan judul, maka makalah kali ini akan membahas salah satu tradisi-tradisi Islami yang telah  mentradisi dan membudaya ditengah-tengah masyarakat Islam yaitu upacara adat 7 bulan kehamilan (tingkepan) atau sering juga disebut Walimatul Haml.

Manusia yang tak sempurna pastilah produk-produknya tidak akan sempurna termask penyusun, apalagi sekapasitas mitsli yang berkedangkalan ilmu. Segala kesalahan dan yang terlewatkan dalam makalah ini mohon maaf dan semoga dapat diupayakan perbaikan.

 


BAB II

UPACARA 7 BULAN KEHAMILAN

(MITONI) DALAM PANDANGAN ISLAM

 

1.      Pengertian

Mitoni atau walimatul haml artinya selamatan untuk wanita hamil. Dalam masyarakat jawa disebut tingkepan. Tingkepan menurut bahasa berarti upacara selamatan tujuh bulan untuk wanita yang sedang hamil.[1] Di daerah Jawa Timur bagian pantura, ada yang menyebut acara walimatul haml ini dengan  mrocoti” suatu bentuk tafa’ul, dimana calon bayi yang masih dalam kandungan lahir dengan selamat, lancar dan tiada halangan apa-apa “langsung procot” langsung lahir. Procot itu sendiri artinya sudah lahir.

Masalah kehamilan ini mendapat perhatian khusus dalam agama Islam. Bagi pasangan suami isteri yang baru saja melaksanakan akad nikah, kehamilan adalah harapan pertama dan utama. Kehamilan menjadi kebanggaan tersendiri dan menjadi berita gembira dalam setiap keluarga. Semua pasangan suami istri harapan pertama setelah melangsungkan akad nikah adakah selepasnya mendapatkan keturunan. Do’a yang dipanjatkan pada saat walimatul ‘urusy tidak pernah ketinggalan, pasti mendo’akan agar kedua pengantin selekasnya diberi keturunan.[2]

Kata Md. Ali Al-Hamidy ‘turunan” adalah buah atau hasil dari pergulatan hidup; tujuan akhir dari bersuami istri; dan dia pula yang menjadi semarak rumah tangga, kalau disusun dengan peraturan yang sebaik-baiknya.

Sebagai ungkapan rasa syukur para orang tua yang dikaruniai anak keturunan, sejak janin masih berada dalam kandungan sudah dipersiapkan segala sesuatunya demi untuk menyongsong kelahirannya. Segala perangkat dan perlengkapan disiapkan, setiap waktu do’a dipanjatkan, ungkapan syukur tiada henti meluncur dari hati sanubari setiap insan. Karena itu, berita kehamilan dari pasangan suami istri menempati tempat istimewa di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.[3]

 

2.      Tradisi Mitoni

Sebgai ungkapan rasa syukur dalam menyambut berita kehamilan dari pasangan suami istri, dalam masyarakat jawa terdapat suatu tradisi berupa ritual yang khusus diperuntukan bagi seorang wanita yang sedang mengandung yaitu selamatan ngapati (saat kandungan berusia empat bulan), dan mitoni (pada saat usia kandungan genap enam atau tujuh bulan). Selamatan ini disebut dengan tingkepan. Ada juga yang menyebut dengan mrocoti, yang merupakan tafa’ul. Seraya mengharapkan agar janin dalam kandungan dan ibunya sehat, pada saat kelahirannya lancar, langsung keluar (procot, Jawa) tanpa ada kesulitan dan halangan apapun.[4]

Orang Jawa menamai usia kehamilan tujuh  bulan itu Sapta Kawasa jati. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Artinya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. Namun apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan lancar agar bayi di dalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan seta keselamatan.

Tradisi Tingkepan ini hanya ada di Indonesia, khususnya di Jawa. Masyarakat jawa, menurut DR. K. H. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, terkenal dengan tradisinya yang beragam, mulai dari yang bersifat ritual yang berbau mistis sampai yang bersifat seremonial. Kalau dicermati, tradisi yang ada sekarang itu tidak terbentuk dengan sendirinya. Tradisi di samping dipengaruhi oleh pola pikir sekarang, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh generasi pendahulu. Dengan demikian ia selalu menghubungkan pada generasi pendahulu yang pada saat itu memiliki faham dan agama atau kepercayaan yang berbeda-beda sehingga tidak semua tradisi sesuai dengan syari’at. Oleh karena itu, sebagai pewaris tradisi, hendaknya tidak mengadopsinya secara sporadis, tetapi selalu menimbang atau mengukur terlebih dahulu dengan ukuran syari’at. Termasuk juga dengan tradisi tingkepan ini, baik dalam acara ritual ngapati atau mitoni ini.

Pelaksanaan ritual tujuh bulanan ini dihubungkan dengan proses perkembangan janin yang ada dalam kandungan, di mana manusia diciptakan oleh Allah dari saripati tanah, kemudian tanah tersebut dijadikan air mani (sperma) yang ada pada seorang laki-laki, setelah terjadi persemaian antara sperma (dari seorang laki-laki, dengan induk telur dari seorang perempuan), maka selanjutnya terjadi pembuahan di dalam rahim seorang perempuan. Kemudian menjadi janin yang tumbuh berkembang di dalamnya hingga akhirnya menjadi manusia sempurna. Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman:

 

“ Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maha sucilah Allah, sebaik-baik Pencipta

(Q. S Al Mu’minun: 12-14)

Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat menakjubkan, sebagai tanda keagungan sang pencipta. Bermula dari ujud (benda) yang tak bernilai (sperma) lalu secara bertahap berubah menjadi janin (embrio), kemudian tumbuh menjadi segumpal darah hingga menjadi segenggam daging, selanjutnya tumbuh menjadi tulang belulang yang terbungkus oleh daging, hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, akal budi dan perasaan.

Semua proses tersebut terjadi dengan kuasa Allah SWT, tanpa kita minta atau kita pesankan sebelumnya. Sebagai ungkapan atas peristiwa yang menakjubkan itu, ketiga ayat tersebut diakhiri dengan kalimat yang mengagungkan Allah Ta’ala

 

Maha sucilah Allah, sebaik-baik Pencipta

 

Mengenai terjadinya janin hingga menjadi manusia yang sempurna, Rasulullah saw menyatakan proses yang terjadi pada kandungan dalam rahim, juga ditentukan kepastian (takdir) hidupnya baik yang berkaitan dengan rizki, masa hidup (ajal) hingga perilakunya nanti di dunia. Semuanya telah ditetapkan didalam rahim sebelum manusia dilahirkan.

Fase-fase manusia yang paling penting dan genting adalah tiga hari yaitu saat dilahirkan, saat dicabut nyawanya (meninggal) dan saat dibangkitkan kembali dari alam kubur. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt.

 

Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.

 

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali".

 

Oleh karena itu, seyogyanya kita senantiasa memohon kepada Allah agar diselamatkan dari lirikan dan sentuhan setan pada hari kelahiran, pada hari kematian supaya selamat dari tercabut iman dari himpitan kubur dan pada hari kebangkitan supaya selamat dari siksa dan murka Allah.[5]

 

3.      Pelaksanaan Walimatul Haml

Pelaksanaan walimatul haml dalam tradisi jawa dan masing-masing daerah tidak sama, waktunya pun berbeda-beda tergantung situasi dan kondisi kemampuan penyelenggara. Upacara walimatul haml ada yang dilaksanakan dua kali dan ada yang hanya sekali. Bagi yang melaksanakan dua kali biasanya dilaksanakan pada bulan keempat (ngapati) dan selanjutnya pada bulan ketujuh (mitoni).

a.    Kehamilan pertama bulan keempat yang disebut ngapati yaitu membuat selametan beurpa:

-            Nasi punar yaitu nasi uduk yang dibuat kuning dengan kunyit dengan lauk pauk daging kerbau, sambal goreng ati, rempela dan jantung.

-            Apem yaitu kue yang dibuat dari beras ragi dan gula kelapa

-            Ketupat dengan bentuk kupat sinta, kupat luwar dan kupat jago

Makna selametan tersebut pada dasarnya agar benih yang dikandung akan tetap sehat dengan mengingatkan wanita yang hamil itu perlu makan yang bergizi dan perlu minum jamu tradisional.

b.    Kehamilan bulan ketujuh

Apabila usia kehamilan telah mencapai usia 7 bulan, upacaranya khusus dengan penuh tata upacara misalnya wanita yang sedang hamil 7 bulan dimandikan dengan air kembang setaman oleh para sesepuh. Dalam upacara itu wanita yang hamil berganti-ganti kain batik sampai 7 kali dan diakhiri dengan kain bermotif sidomuki, sidomulyo atau sidoasih. Kain batik yang terakhir dngan motif-motif tersebut mempunyai makna agar anak yang dilahirkan kelak menjadi bahagia. Disamping itu perlu disediakan kelapa gading muda yang dilukisi wayang Kamajaya dan Ratih, dengan harapan bahwa kelak bila bayi lahir perempuan seperti Dewi Ratih cantiknya dan bila laki-laki seperti Hjang Kamajaya bagusnya atau gantengnya.

Mengapa Hyang Kamajaya? Karena Hyang Kamajaya tidak playboy seperti Harjuna yang istrinya banyak mengapa Dewi Ratih? Karena Dewi Ratih sangat setia dengan suaminya yaitu Hyang Kamajaya dan tidak bersedia dimadu seperti Dewi Wara Subadra.[6]

Dalam upacara mitoni atau tingkepan ini disamping bersedekah juga diisi pembacaan doa dengan harapan si bayi dalam kandungan diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia. Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman:

 

Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur".

 

Pada hakikatnya kedua bentuk selamatan yang dikhususkan kepada ibu hamil di atas, baik ngapati atau mitoni adalah berupa kegiatan sedekah dan do’a dengan harapan agar keinginannya terkabul, khususnya agar ibu dan janin yang dikandung senantiasa diberi keselamatan, kesehatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia, menjadi anak shalih/shalihah.

Mengingat hakikat selamatan adalah sedekah dan do’a, maka sangat tidak dibenarkan bila seseorang memaksakan untuk menyelenggarakan selamatan di luar batas kemampuannya apalagi hukum walimah haml ini tidak wajib mengadakan walimah boleh tidak diadakan, cukup berdo’a sendiri saja pun tidak masalah. Sekali lagi, jangan memaksakan  diri dan walaupun mampu  jangan terlalu mewah dan berlebihan.

Hendaknya disadari, bahwa masih ada yang lebih wajib dan lebih penting dalam urusan anak daripada sekedar melaksanakan walimah secara berlebih-lebihan dalam kondisi berkemampuan. Allah sangat mengecam sikap berlebih-lebihan hingga memaksanakan diri dan bersikap boros Allah berfirman:

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

 

Sudah menjadi kebiasaan umum di tengah-tengah masyarakat adanya kecenderungan membesar-besarkan perkara sunat, atau perkara mubah tapi menelantarkan perkara yang wajib. Kalau menyelenggarakan selamatan berlomba-lomba secara besar-besaran tapi untuk menyumbang pembangunan masjid, musholla, madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan lain-lain berlomba kecil-kecilan, bahkan saling mengundurkan diri. Sikap semacam iniharus perlahan-lahan diubah. Marilah kita lakukan suatu amalan secara wajar dan tempatkan sesuatu pada tempat yang layak pula. Kita utamakan perkara yang terpenting, baru yang agak penting, dan tinggalkan perkara yag mubadzir.[7]

 

4.      Proses Tahapan Pelaksanaan Mitoni

Tahap pelaksanaannya berurutan bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana, sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore dan dihadiri oleh segenap sanak keluarga, para tetangga serta handai taulan.

a.    Siraman

Siraman artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang dikandung. Lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yadan didekor indah, disebut krobongan atau bisa juga dilakukan di kamar mandi.  Sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunaa diambil dari tujuh sumber atau bisa juga dari air berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari tarakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati kantil serta kenangan. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih unutk tugas memandikan, seolah tanpa saingan yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya.

Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting ataupun gelang akar bahar, dan hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi. Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih ada dagingnya.

Bunga-bunga yang menempel di sekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting ke lantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. Jika cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin akan berteriak “Cowok! Laki!! Jagoan! Harno!” dan komentar-komentar lain yang menggambarkan anaknya nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berkepin-keping, dipercaya anaknya nanti bakal cewek.

Acara ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesak ingin melihat dan ramai berkomentar, sementara sang MC dengan bersemangat menyiarkan berita seputar pandangan mata. Siraman selesai, sang calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk dan hair dryer supaya tidak perlu kerokan, masuk angin.

 

b.    Brojolan

Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah, putih dan hitam. Merah melambangkan kasih sayang calon ibu, puth melambangkan tanggung jawab calon bapak atau bokap bagi kesejahteraan keluarganya nanti. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuaya. Tidak ada letrek, janur pun jadi.

Calon nenek memasukkan tropong (alat tenun) ke dalam lilitan kain jarit kemudian dijatuhkan ke bawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol lahir dengan lancar. Tidak ada tropong, telur ayam pun jadi.

Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa gading yang telah digambari lewat lilitan kain jarit yang dikenakan oleh calon ibu. Sepasang kelapa gading tersebut bisa ditato gambar Kamajaya dan Dewi Ratih. Para selebriti perwayangan tersebut dikenal berwajah cantik dan ganteng. Harapannya adalah agar anak yang lahir kelak bisa keren seperti mereka. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.

Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan dengan ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga.

Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak: “Perempuan!” Apabila tidak terbelash, hadirin boleh berteriak: “laki-laki!” dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinging sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang.

c.    Pemakaian Busana

Selesai brojolan, calon ibu dibimbing ke ruangan lain untuk dikenai busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sidoluhur, sidoasih, sidomukti, gondosuli, semenraja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu persatu.

Setiap berganti hingga kain yang keenam, pemandu akan bertanya kepada hadirin sudah pantas atau belum dan hadirin akan menjawab serentak: “belum!” ketika kain ke tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab sudah. Sudah pantas dan selayaknya. Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk calon bapak ibunya. Gaya pendudukan seperti ini disebut angreman, bukan menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami telurnya.

Sebelum matahari terbenam, sebelum ayam tertidur, seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan, tuntas, tas.

d.   Eyang

Semodern apapun jaman ini nantinya berkembang, perasaan ketika kita menantikan hadirnya seorang cucu pasti tidak akan berubah. Rasanya pasti tetap saja mendebarkan. Bagaimaan tidak, karena sebentar lagi, sepasang papah dan mamah ini akan menjelma menjadi sepasang kakek dan nenek. Gelar eyang akan segera melekat. Ini artinya kita musti jaga kelakuan, tidak bisa dan tidak bisa lagi neko-neko dan tidak bisa tidak itu bakal terjadi, sekitar dua bulan lagi setelah upacara mitoni.

 

5.      Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Saat Hamil

Seorang perempuan yang sedang hamil sebaiknya menjauhi maknan kacang-kacangan, makanan yang panas, makanan yang rasanya pahit, makanan kelas rendah dan makanan campur-campur. Makanan yang sangat baik dikonsumsi adalah jambu biji (terutama di bulan ketiga dan keempat) dan sebagai konsumsi hariann adalah daging ayam, buah delima, buah apel manis dan lain-lain. Baik juga mengunyah kemenyan Arab (musthaka atau luban), yang mana denga mengkonsumsi kemenyan Arab ini akan dapat menambah kecerdasan anak, mempertajam daya ingat, meghilangkan sifat pelupa dan menghentikan lendir. Sedangkan jambu biji menyebabkan bayi /anak rupawan (Quran al-Uyun: 42)

Pada bulan-bulan yang akhir saat menunggu kelahiran – disamping menjaga kesehatan – sebaiknya senantiasa mengerjakan shalat hajat dan membaca Al-Qur’an, surat Luqman dan Surat Maryam dan surat-surat yang lain dan memperbanyak do’a berikut:

اُعِيْذُهُ بِا الْوَاحِدِ الصَّمَدِ مِنْ شَرِّ كُلِّ دِيْ مَسَدِ

Aku memohon perlindungan untuk kandungan anak ini kepada Allah Yang Maha Esa lagi sebagai tempat meminta dari kejahatan setiap orang yang dengki.[8]

 

Menurut Dr. H. Ali Akbar “Allah menghendaki laki-laki muslim dan perempuan muslimah agar membentuk keluarga muslim yang akan menghasilkan keturunan-keturunan muslim dan keturunan-keturunan muslim inilah yang diharapkan akan dapat menghasilkan keluarga-keluarga dan masyarakat Islam yang berusaha menjamin perdamaian di dunia ini.

Untuk mencapai tujuan di atas, Islam menganjurkan menikah dengan perempuan yang peranak, bukan perempuan yang mandul dan mengajurkan berkeluarga besar, bukan keluarga kecil. Yang dimaksud dengan keluarga besar di sini adalah keluarga yang banyak anak, dengan Bapak-Ibu yang sehat mampu pula medidik mereka menjadi rang-orang Islam yang taat.[9]

 

6.      Hukum Walimatul Haml

Mengenal hukum ritual yang disebut 7 bulanan atau tingkeban adalah boleh (jawaz). Memang terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama. Ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak, bahkan ada yang menyatakan sebagai bid’ah aabihah (bid’ah yang jelek). Bila dalam acara tingkepan hanya diisi dengan kegiatan membaca Al-Qur’an dan shalawat, ditambah dengan shadaqah dari shohibul baik untuk para tamu, maka hal itu adalah adat yang baik dan tidak melanggar syariat Islam. Maka kegiatan semacam itu jelas tidak dilarang. Kalaupun ada yang mengatakan bid’ah maka hal itu termasuk bid’ah hasanah, dan tidak menjadi alasan terlarangnya kegiatan itu. Dan bila masih terdapat adat yang menyimpang dari syariat agama,  maka para ulama’ wajib mengingatkan dan meluruskannya.

Dan sepanjang pengamatan kami, khususnya di daerah kami sendiri, kegiatan tingkepan ini pada umumnya hanya diisi dengan kegiatan membaca Al-Qur’an, sholawat dan do’a bersama serta diakhiri dengan makan bersama. Dengan demikian, maka huum kegiatan tingkepan yang diisi dengan membaca Al-Qur’an dan shalawat adalah boleh (jawaz).

Di sini kami kutipkan pula fatwa dari Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. Imam besar masjid Istiqlal Jakarta dan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI pusat, yang juga memperbolehkannya kata beliau, “Menurut pengamatan kami selama ini ritual semacam ini berisikan do’a bersama agar anak yang ada di kandungan nanti lahir dengan selamat, kelak menjadi anak yang shaleh dan bernasib baik, ritual itu biasanya diakhiri dengan makan bersama, menyedekahkan makanan pada tetangga di sekitar rumah.”[10]

Ini tentu dianjurkan agama jika dilihat dari isi dan tujuan ritualnya yang tidak bertentangan dengan norma dan ajaran Islam.

 

 


BAB III

KESIMPULAN

 

Dalam menyikapi tradisi masyarakat seperti ini, seyogyanya kita tidak terlalu gegabah dengan memfonis bid’ah, tersesat atau lainnya sebelum mengetahui benar substansi perbuatannya kita telusuri terlebih dahulu bagaimana prosesi kegiatan itu, apa latar belakang, niat, tujuan dan prosesinya. Dan ternyata kegiatan tingkepan ini dlakukan dengan niat untuk mengajak berdo’a bersama atau meminta do’a para hadirin yang diundang.

Setelah ditelusuri dan diamati secara cermat dan mendalam mulai dari niat, tujuannya, tata cara dan prosesinya ternyata tidak terdapat hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam. Meskipun kegiatan semacam ini belum ada di masa Nabi dan sahabat termasuk nama kegiatannya.

Banyak perbuatan yang belum pernah ada pada zaman Nabi SAW baik nama atau prosesinya, kemudian pada perkembangannya diadakan oleh para sahabat dan ulama pada generasi berikutnya seperti shalat tarawih, menjilid Al-Qur’an menjadi satu buku, adzan memakai pengeras suara dan lain-lain. Termasuk juga kegiatan tingkeban ini walaupun belum pernah dilakukan Nabi dan para sahabat, sepanjang prosesinya tidak ada yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak ada larangan untuk melakukannya, apalagi mencegahnya.

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Aziz S, Moh. Saifullah. 2009. Kajian Hukum-hukum Walimah (Selamatan). Surabaya: Terbit Terang.

Chafidh, M. Afnan dan A. Ma’ruf Asrori. 2006. Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian. Surabaya: Khalista.

Pusat Bahasa Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indnesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengnal Busaya Jawa. Jakarta:  PT. Pradnya Paramita.

http://debrito.net/isi/mitono-satu-peristiwa-seribu-makna. diakses 14 Desember 2010.

 



[1] Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, PN Balai Pustaka, 2001, h. 1198.

[2] Ust. Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz , Kajian Hukum-hukum Walimah (Selamatan), (Surabaya: PT. Terbit Terang, 2009), h. 89.

[3] Ibid, h. 90-92.

[4] Ibid., h. 93

[5] Ibid., hal. 94-98

[6] Thomas Wiyasa Bratawijaya, Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), Cetakan I, hal. 117-118

[7] Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz, op.cit., hal. 101-102

[8] M. Afnan Chafidh – A. Ma’ruf Asrori, Op.Cit., h. 11.

[9] Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz, Op.Cit., h. 111.

[10] Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz, Op.Cit., h. 114-115.


Seks Bebas dalam Cermin Budaya Jawa: Pandangan Kearifan Lokal terhadap Perilaku Free Sex

 

I.     Pendahuluan

Perbincangan tentang free sex akhir-akhir ini mendapatkan perhatian yang amat tinggi. Di media elktronik seakan dapat disaksikan pada setiap program infotainment dan dialog-dialog yang ditayangkan oleh stasiun TV. Media cetak juga tidak ketinggalan mengekspos besar-besaran di seputar kehidupan seksual umat manusia ini. Dua peristiwa yang melatarbelakangi terhadap pemberitaan ini adalah dua hal yang berbeda, tetapi memiliki dampak yang luar biasa.

Pertama, video mesum Yahya Zaeni (YZ) dengan Maria Eva (ME). Yahya Zaini mendapat sorotan tajam di antaranya karena dia memiliki background sebagai anggota DPR dari fraksi Partai Golkar, mantan aktivis PB HMI, dan koordinator bidang keruhanian Partai Golkar. Sementara itu, Maria Eva yang alumni SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo ini sebagai penyanyi dangdut yang berarti sebagai public figure. Kedua, berita poligami K.H. Abdullah Gimnastiar atau lebih dikenal dengan Aa’ Gym. Pemberitaan terhadap Aa’ Gym diantaranya adalah karena ia seorang mubaligh yang sedang berada di atas puncak popularitas. Sebagai pengasuh Pesantren Daruttauhid Bandung, ia memiliki jaringan radio yang sangat luas di berbagai daerah dan TV Manajemen Qolbu yang sering diajarkan kepada umat, saat ia poligami menuntutnya untuk melaksanakannya lebih disiplin.

Meskipun dua kasus ini berbeda, tetapi ada benang merahnya, yaitu seks. Yang pertama terkait dengan eksploitasi seks di luar akad pernikahan dan kemudian diekspos ke luar, sedangkan yang kedua adalah tentang penyaluran libido seksual yang diikat dalam pernikahan kedua atau poligami. Yang pertama masyarakat seakan sudah ada konsensus bahwa eksploitasi seks tersebut bertentangan dengan agama dan norma budaya bangsa, meskipun hal tersebut diakui wajar dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dewasa, karenanya YZ dan ME tetap bisa diterima oleh masyarakat meskipun hukuman sosial dirasakan amat berat. Kasus kedua merupakan ajaran agama yang debatable, diakui sekaligus digugat bahkan ada yang mengharamkan. Realitasnya, poligami secara hukum dan perundang-undangan tetap halal, tidak dilarang oleh undang-undang, dan hanya dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan, seperti dijadikan alat pemuasan nafsu seksual pelakunya. Meskipun demikian, Aa’ Gym telah menerima perlakuan sosial yang luar biasa keras, seperti cemoohan dan perlakuan lain yang dapat mengurangi kenyamanan hidupnya.

Tulisan ini hendak mengkaji tentang kearifan lokal Jawa terkait dengan kehidupan seks. Tulisan ini tidak membahas tentang halal-haram video mesum, dan tidak mengkaji tentang kontraversi di seputar poligami. Kajian difokuskan pada seksualitas masyarakat Jawa.

 

II.  Pembahasan

A.    Binalitas Politik

Godaan hidup bagi orang, menurut orang Jawa adalah harta, wanita, dan tahta. Harta menjadi godaan hidup dalam arti kurang atau berlebih menyangkut kesejahteraan ekonomi. Orang dalam kemiskinan rentan terjerumus dalam kekafiran. Orang yang dilanda miskin-papa akan mudah digoda oleh lingkungan sosialnya untuk menggadaikan kehormatannya. Kemiskinan bisa membuat orang tidak menggunakan nalar sehatnya sehingga ia tergoda untuk mencuri, menjual harga diri dengan melacur seksual (PSK), dan melacur politik sebagai broker dan pecundang politik dengan korupsi dan menjual keadilan

Kesejahteraan berlebih berarti kekayaan yang melimpah. Kekayaan juga akan mampu menggoda seseorang untuk berperilaku aneh seperti berfoya-foya, berlebih-lebihan (isyraf dan tabdzir), berperilaku aniaya terhadap yang miskin, ingin meraih kekuasaan lewat uang dan kekayaan yang dimiliki, maka terjadilah “money politics”, dan berperilaku seksual menyimpang atau minus moral dengan mempermainkan lain jenis sebagai pemuas nafsu.

Wanita sebagai penggoda maksudnya adalah libido seksual yang menggelora yang disimbolkan dengan kata wanita. Cinta buta menempatkan nafsu seksual menjadi dominan dan mempengaruhi alur pikir dan kebijakan yang diambil. Nafsu seksual jika telah menjadi orientasi hidup, maka individu tersebut membuat semua keputusan dalam hidupnya merupakan transaksi untuk kepentingan kepuasan diri. Harta dan kekuasaan yang semestinya menjadi media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan komunitas sosialnya sebaliknya digunakan untuk mendapatkan kepuasan seks kepada siapapun yang diminatinya.

Tahta menggoda seseorang untuk berperilaku lalim terhadap rakyatnya. Idealnya, harta atau kemampuan ekonomi, wanita, atau nafsu-syahwat (yang mampu membuat manusia survive di bumi), dan tahta atau kekuasaan politik dijadikan sebagai media untuk pengabdian kepada Tuhan dan sesama. Untuk itu, setiap individu yang mampu eling lan waspada, ingat dan waspada terhadap godaan dan mampu mengaturnya akan menjadi potensi untuk kebaikan hidupnya.

Dalam konteks politik yang terjadi akhir-akhir ini, menurut Boni Hargens4 sebagai binalitas politik karena politik tidak hanya rakus uang (harta) dan kekuasaan (tahta) atau banality of politics, tetapi juga haus seks (binality of politics). Ciri banal dan binal dalam politik kita sangat memalukan dan telah menisbikan prinsip moralitas dalam politik yang menunjukkan defisit moral pribadi para pejabat publik dan defisit moral politik secara general. Permainan uang, janji-janji jabatan, dan pelayanan seks dalam berpolitik menunjukkan indikator dekadensi moral yang amat memprihatinkan.

B.     Seks dalam Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa memandang perempuan sebagai makhluk indah yang dengan kecantikannya menunjukkan sisi keserasian dan keindahan. Menurut falsafah Jawa, perempuan adalah bumi yang subur, yang siap menumbuhkan tanaman. Perempuan adalah bunga yang indah, menebarkan bau harum mewangi dan membuat senang siapa saja yang melihatnya. Wanita ideal dalam budaya Jawa digambarkan panyandra. Panyandra merupakan lukisan keindahan, kecantikan, dan kehalusan melalui ibarat.

Membincang seksualitas perempuan Jawa dimulai dari hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial Jawa yang erat sangkut-pautnya dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan biologis. Masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga dan masyarakat Jawa umumnya, meskipun dalam percakapan banyak lelucon mengenai seks. Bahkan, seorang kiai juga sering bercerita tentang seks kepada santri dan umatnya. Pembicaraan dan pengetahuan tentang seks mengalir di antara teman akrab, kawan seprofesi, atau kawan bermain, dan ada juga yang mendapatkan dari wanita-wanita tunasusila di warung-warung pinggir jalan.

Oleh karena ada rasa tabu dalam pembicaraan seks, orang Jawa memiliki simbol lingga yoni. Lingga melambangkan falus atau penis, alat kelamin laki-laki. Yoni melambangkan vagina, alat kelamin perempuan. Simbol-simbol ini sudah lama dipakai oleh masyarakat nusantara sebagai penghalusan atau pasemon dari hal yang dianggap jorok. Simbol lain seperti lesung alu, munthuk cobek, dan sebagainya juga bermakna sejenis. Pelukisan seksual dalam khazanah filsafat Jawa dikenal dengan isbat curiga manjing warangka yang arti lugasnya adalah keris masuk ke dalam sarungnya.6

Dalam melambangkan proses pembuahan ini Hariwijaya mengungkapkannya sebagai berikut.

Manusia dalam kosmologi Jawa berasal dari tirtasinduretna yang keluar saat pertemuan antara lingga yoni, kemudian berkembang menjadi janin dan dikandung dalam gua garba. Tirta sinduretna merupakan lambang dari air mani atau sperma laki-laki. Gua garba merupakan melambangkan untuk menghaluskan fungsi rahim seorang wanita. Proses magis spiritual ini disimbolkan dalam kalimat alegoris bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alubengkong. Secara harfiah, kalimat tersebut berarti sejenis sambal yang dibungkus daun asam yang diberi lidi alu bengkong. Bothok bantheng bermakna sperma; godhong asem bermakna kemaluan wanita; alu bengkong sebagai simbol alat kelamin pria. Dengan demikian, makna adalah bahwa asal-usul manusia berasal dari sperma yang membubuhi sel telur dari rahim wanita yang terjadi dalam proses persenggamaan. Dalam pandangan yang lain istilah dalam bathok bantheng adalah simbol keberadaan zat, hidup manusia; godhong asem sebagai simbol sifat manusia; alu bengkong melambangkan tingkah-laku. Maknanya, hidup manusia selalu terbungkus oleh sifat dan perilakunya.

Hubungan seksual dalam pandangan Jawa merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk menjaga keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia. Keharmonisan akan beraroma kenikmatan tinggi jika menggunakan seluruh tubuh untuk mencari dan mengekspresikan kepuasan satu sama lain. Hubungan seksual demikian adalah seks yang sesungguhnya dan memberi arti yang sangat dalam.

Seks memberikan nilai keharmonisan hidup. Pemenuhan seksual (sexual fulfilment) adalah suatu hal ketika keduanya mencapai suatu momen yang memabukkan (ecstasy). Michael Reiss & J. Mark Halstead, dalam Sex Education menggambarkannya sebagai berikut.

Saya hanya bisa seperti apa bagi seorang pria, namun saya ya….. ketika saya dapat mencapai satu macam ikatan, ketika Anda sedang bersetubuh dan ……..Anda mendekati jiwa pasangan orang lain yang Anda tidak bisa dapatkan di kesempatan lain …. Ketika Anda lihat ke dalam mata pasangan, Anda seperti bisa melihat ke dalam jiwa mereka dan itu adalah ikatan— saya rasa, vagina saya menjadi jiwa saya juga… dan ketika kita berhubungan itu, seperti menggabungkan dua jiwa, dan itulah bentuk ikatan, lalu sensasi suatu rasa bahwa Anda telah menciptakan kepuasan seksual.

Hubungan seksual jika didasari oleh rasa cinta merupakan pemenuhan spiritual. Hal ini barangkali akan lebih mudah dipahami dalam konteks keagamaan. Dalam ajaran Islam, hasrat jiwa untuk menjadi satu dengan Tuhan biasanya diekspresikan secara simbolik dengan terma cinta manusia dan hasrat seksual. Dalam tasawuf, seks orgasme merupakan jalan menyatukan diri hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak-hak untuk dapat menikmati hubungan seks yang mereka lakukan.

Menurut kitab-kitab Jawa klasik, dalam hubungan seksual itu, unsur laki-laki adalah upaya atau alat untuk mencapai kebenaran yang agung, sedangkan unsur wanita merupakan prajna atau kemahiran yang membebaskan. Dipahami bahwa persenggamaan adalah darma suami terhadap istri, dan sebaliknya merupakan kewajiban suami terhadap istrinya. Asmaragama ini ditunjukan kepada suami-istri atau sebuah pasangan tetap. Latihan untuk memahami teori seksual ini diperlukan kesungguhan, keajegan, ketenangan batin, dan sakralitas karena seks merupakan ritual sakral yang hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah mengikatkan diri dengan janji suci perkawinan.

 

C.    Liberalitas Seksual dalam Masyarakat Jawa

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan Jawa berakar di Kraton dan berkembang di Yogyakarta dan Solo. Dalam konteks liberalitas seksual, ada hasil penelitian yang menyoroti tentang virginitas yang terasa sangat mengguncang kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota budaya. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa 97.05% mahasiswa di Yogyakarta telah kehilangan keperawanannya. Nyaris 100% atau secara matematis bisa disepadankan dengan 10 gadis dari 11 gadis sudah tidak perawan yang diakibatkan oleh hubungan seksual. Bukan karena kecelakaan yang memicu robeknya selaput dara vagina. Sebuah kebebasan yang dampaknya membuat semua orang berperadaban merinding tentang akibatnya. Terkait dengan budaya Jawa, apakah free sex tersebut memiliki akar budayanya karena Yogyakarta merupakan standar dan acuan budaya Jawa.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis sampaikan data yang diambil dari dokumen sastra, yaitu novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Pengambilan data dari buku fiksi dengan alasan; pertama, bahwa karya sastra merupakan fakta yang difiksikan. Realitas adalah produk dan konstruksi manusia. Pada tingkat paling ketat kita hanya dapat mengatakan bahwa fakta itu ada, yakni kenyataan, peristiwa, dan pengalaman yang kompleks, multifaset, senantiasa mengalir, tidak pernah habis terumuskan oleh khazanah pola ungkap manusia (kata, nada, gerak, rupa, dan sebagainya). Oleh karena itu, apa-nya pengalaman atau fakta itu selalu bisa diartikulasikan dengan banyak cara, banyak fiksi, banyak ilusi (sains, seni, ilmu-ilmu tradisional, wacana politik, agama, dan seterusnya). Kedua, pada konperensi Sastra Asia Tenggara ke-3 di Singapura pada tahun 1987 memunculkan perbincangan hangat, mengejutkan, dan mendapatkan tanggapan luas terkait dengan kesimpulan makalah, Mohammad Ridho ‘Eisy, peserta dari Indonesia, seorang pengamat sastra yang bermata tajam dan tinggal di Bandung yang dalam makalahnya ia mengupas novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan Buat Emak; Lintang Kemukus Dini Hari; dan Jantera Bianglala), yang menyatakan bahwa novel trilogi karya Ahmad Tohari tersebut merupakan sebuah novel yang mengandung dakwah Islam. Ketiga, menurut pengakuan penulisnya bahwa data sejarah dan budaya yang ada dalam trilogi RDP merupakan fakta riil dan pernah terjadi, hanya saja sebagian dari budaya yang ada itu sudah tidak bisa ditemukan lagi.

Keperawanan dan seks bagi masyarakat yang “berperadaban rendah” di Jawa sebagaimana tergambar dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk menjadi sangat terbuka dan bebas. Free sex yang terjadi saat ini ada alur historisnya dalam budaya sebagian masyarakat Jawa yang belum mengenal agama (Islam) dengan baik dan pendidikan yang tidak memadai. Di antara persepsi tentang keperawanan dan seks yang terbuka bebas tersebut adalah sebagai berikut.

1)      Free sex merupakan sesuatu yang dalam kondisi tertentu dianggap wajar oleh sebagian masyarakat Jawa, meskipun hanya ditujukan pada perempuan tertentu.

Dalam kenyataan riil, para istri saat ini juga permisif terhadap perilaku seksual suaminya yang bertentangan dengan agama. Mereka membiarkannya selama tidak menceraikannya dan tidak menikahi perempuan lain. “Silahkan berzina asal tetap kembali pulang sebagai suamiku”, demikian sikap permisif para istri. Di sisi lain, mereka akan memberontak jika suaminya beristri lagi secara sah (poligami).

2)      Keperawanan bagi perempuan tertentu merupakan hal suci yang hanya bisa dipersembahkan pada suami, tetapi bagi orang tertentu seperti ronggeng atau semacamnya keperawanan menjadi alat mewisuda status atau profesi sebagai ronggeng, artis, atau bintang film. Secara kontekstual, kebanyakan orang Jawa juga suku lain yang permisif terhadap transaksi seks dan keperawanan (juga keperjakaan) bagi kalangan artis atau selebritis.

3)      Keperawanan karena tidak dimaknai sebagai sesuatu yang sakral dan hanya boleh diberikan kepada suami yang sah, maka sebagian masyarakat karena dasar cinta kepada kekasihnya secara sadar melakukan pemberian “hadiah keperawanan” kepada orang yang dicintainya dengan pertimbangan dari pada direnggut oleh orang yang tidak diharapkannya.

4)      Dalam tradisi tertentu, meskipun secara sembunyi-sembunyi, hubungan seks bisa dilakukan secara bebas oleh seseorang dengan tetangganya atau kawannya, dan jika hal ini diketahui oleh istrinya atau suaminya dianggap sebagai kewajaran dan tidak menimbulkan pertengkaran antar suami atau istri. Rasus mengomentari tentang kondisi desanya.

5)      Hubungan seks dengan orang lain bahkan ada yang dijadikan sebagai alternatif penyelesaian problem kemandulan suami karena istri tidak kunjung hamil. Perilaku demikian juga bisa diterima oleh masyarakat dengan istilah lingga, kepanjangan dari peli tangga, artinya penis tetangga.

6)      Hubungan seks juga ada yang digunakan untuk pendidikan dalam rangka persiapan rumah tangga agar si lelaki mampu menjadi suami secara utuh dalam melaksanakan tugas kesehariannya, baik di atas ranjang maupun pekerjaan (seperti pertanian). Pendidikan seperti itu disebut dengan Gowok. Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak laki-lakinya yang sudah menginjak dewasa, dan menjelang kawin. Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada lelaki itu banyak hal perikehidupan berumah tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan istri secara baik. Misalnya, bagaimana mengajak istri kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur yang terpisah. Masa pergowokan biasanya hanya berlangsung beberapa hari, paling lama satu minggu. Satu hal yang tidak perlu diterangkan, tetapi perlu diketahui oleh semua orang adalah hal menyangkut tugas inti seorang gowok, yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru, sebuah sex education dalam arti yang sangat fulgar yang menurut Ahmad Tohari pernah terjadi secara riil di Jawa (RDP-LKDH, hal. 201).

 Menjadi gowok adalah menjadi seniman pemangku naluri kelelakian dan menemukannya kembali bila kelelakian itu hilang. Sebuah tradisi yang juga ditolerir pada saat ini meski tanpa ada transaksi seperti gowok. Saat ini proses uji coba sebelum pernikahan dilakukan secara sadar oleh calon mempelai saat masih pacaran, meskipun banyak juga yang kemudian tidak jadi pernikahannya.

7)      Hubungan seks ditolerir dengan orang lain yang menyediakan untuk itu seperti ronggeng. Ronggeng bisa dijadikan alternatif bagi para suami yang tidak mampu menahan hasrat seksual saat istrinya sedang hamil, melahirkan dan nifas sehingga harus libur dalam waktu yang lama.

Melakukan hubungan Seks dengan perempuan lain saat tidak mungkin dilakukan dengan istrinya merupakan bukti sifat egoisme laki-laki dalam seks. Perempuan diharuskan “libur” sementara ia mencari sasaran lain yang tidak sah. Menurut Ahmad Tohari, dalam kenyataan para priyayi Jawa yang main judi, minum arak, main perempuan, dan minum candu pun kalau mampu tak jadi masalah. Mungkin hanya mencurilah yang dianggap merusak reputasi kepriyayian Jawa. Itupun kalau dilakukan secara bodoh dan terang-terangan. Kalau caranya halus, apalagi yang diambil adalah uang negara. (Belantik, BLTK, hal.19).

Memperhatikan tujuh kebebasan seks dalam masyarakat Jawa tersebut, menurut pandangan Erich From ini merupakan pelarian seseorang dari problem keterpisahan dan ketakbersatuannya dengan alam. Manusia menghadapi problem hidup setelah mendapatkan kesadaran tentang keterpisahan dan eksistensi ketakbersatuan (disunited existence) dengan alam menjadi penjara yang mengerikan bagi manusia. Manusia selalu amat cemas karena keterpisahan ini. Ia terus berusaha untuk membebaskan diri dari penjara mengerikan ini dengan mencari pertautan diri dengan orang lain dan dunia luar. Problem keterpisahan ini di antaranya diselesaikan dengan cara menenggelamkan diri dalam situasi orgiastik di antaranya berupa pengalaman seksual, dengan orgasme seksual dapat merasakan kepuasan menyatu yang hampir sama dengan trance dan obat bius. Ritus pesta seksual secara kelompok merupakan bagian dari ritus sebagian suku-suku primitif. Pengalaman orgiastik ini membuat manusia mampu bertahan dari derita keterpisahannya, dan untuk menjaga stamina pengalaman ini harus diulang.18 Sebagian individu biasanya berusaha mengatasi problem-problem keterpisahan dengan menggunakan bantuan alkohol dan obat bius. Penyelesaian ini pemakainya sulit untuk lepas dari perasaan bersalah dan penyesalan dan akan berusaha untuk meningkatkan frekuensi dan dosis pada waktu berikutnya. Penyelesaian lewat hubungan seksual (di luar pernikahan) memiliki efek yang hampir sama dengan pemakaian obat-obat bius atau minuman keras. Penyelesaian model ini hanya akan menambah rasa keterpisahan karena tindakan yang tidak didasari oleh cinta takkan pernah bisa menghubungkan jiwa suatu pasangan dan hanya bertahan dalam sementara waktu.

Seiring dengan pemahaman Jawa, menurut Sigmund Freud, dalam Teori Naluri dikatakan; kaum laki-laki hanya menginginkan seks, nafsu seks muncul dalam diri individu, dan dia selanjutnya berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Penyelewengan terhadap hubungan seksual ini banyak terjadi bahkan ada literatur tentang wisata seks. Perbedaan yang jelas dapat dibuat antara wisata seks (sex tourism), dan seks dalam wisata tourism). Wisata seks berhubungan dengan perjalanan ke suatu tempat dengan tujuan melakukan seks, biasanya dengan orang yang lebih muda, lebih miskin dari dirinya.

 

D.    Kearifan Lokal dalam Budaya Jawa

Kebudayaan merupakan unsur pengorganisasian antara individu dan membentuknya menjadi satu kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia di dalam lingkungan hidupnya. Kebudayaan memiliki ciri, yaitu penyesuaian manusia kepada lingkungan hidupnya dalam rangka untuk mempertahankan hidupnya sesuai dengan kondisi yang menurut pengalaman atau tradisinya merupakan yang terbaik. Kebudayaan juga dimaknai sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam satu komunitas dalam rangka adaptasi diri individu dan kelompoknya agar tetap survive dan memiliki kualitas terbaik sesuai dengan pandangan hidup dan pengalamannya. Kebudayaan berarti terkait dengan kemunitas dan identitas sosial seperti Sunda, Batak, Bali, dan Jawa. Secara sosiologis kebudayaan akan berdialog dengan individu dan kelompok sosial, di mana individu akan memberi kontribusi terhadap perkembangan kebudayaan sebagaima orang lain secara individual maupun kelompok selalu memberikan saham untuk pengembangan dan perubahan terhadap budayanya.

Kebudayaan Jawa berakar di Kraton dan berkembang di Yogyakarta dan Solo. Peradaban ini mempunyai suatu sejarah kesusasteraan yang telah ada sejak empat abad yang lalu, dan memiliki kesenian yang maju berupa tari-tarian dan seni suara kraton, serta yang ditandai oleh suatu kehidupan keagamaan yang sangat sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam. Hal ini terutama terjadi di kota Kraton Solo, di mana berkembang berpuluh-puluh gerakan keagamaan kontemporer, yang disebut gerakan kebatinan. Daerah istana-istana Jawa ini sering disebut Negarigung.27 Sementara itu, orang Jawa yang tinggal di luar pulau Jawa disebut sebagai suatu subvariasi dari kebudayaan Jawa yang berbeda. Akulturasi budaya Jawa dengan kebudayaan asing akan memunculkan kebudayaan baru yang merupakan bagian dari varian budaya Jawa.

Heterogenitas budaya Jawa merupakan keniscayaan sejarah dan berlaku untuk kebudayaan apapun di dunia ini. Varian-viarian budaya sebagai konsekuensi dari akulturasi budaya ini semakin agresif bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang mampu membentuk “desa buwana” yang menunjukkan semakin tipis batas budaya suatu bangsa dengan bangsa lain.

Terkait dengan kearifan lokal (local wisdom), masyarakat Jawa mengenal beberapa kata kunci di antaranya adalah Ngana ya ngana neng aja ngana, “meski begitu, tapi yang jangan seperti itu”, demikian ungkapan orang Jawa. Ungkapan ini biasanya disampaikan saat terjadi sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan tatakrama. Wong kok orang duwe perasaan, demikian kata singkat yang sering diucapkan oleh orang Jawa, terhadap orang yang tidak punya tepa salira, tidak punya pengertian tentang bagaimana menempatkan diri secara bijak. Orang yang suka nggugu sak karepe dewe, orang suka semaunya sendiri.

“Rasa” sangat diperhatikan di Jawa dalam rangka menciptakan harmonitas sosial. Masyarakat Jawa yang berperasaan halus, berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain, membantu orang lain sebanyak mungkin, membagi rizki dengan para tetangga, berusaha mengerti perasaan orang lain, dan kemampuan seseorang untuk dapat menghayati perasaan orang lain (tepasalira). Oleh sebab itu, anak-anak selalu diajarkan untuk berusaha untuk mendekati sifat-sifat itu. 

Orang yang memiliki perasaan akan mengerti tentang unggah-ungguh atau tatakrama pergaulan yang pada intinya adalah memberikan rasa hormat kepada orangtua. Tua dalam pemaknaan yang luas seperti tua umur, pangkat-derajat, kekayaan (kaya), dan ilmu (cendekiawan dan ulama). Nilai-nilai budaya Jawa yang menentukan tingkah-laku orang Jawa dalam hubungan sosialnya, bagi Hildred Geertz memilih pengertian “hormat” sebagai titik-temu antara berbagai perasaan individu Jawa yang timbul bila ia berhadapan dengan orang lain. “...have complex meaning which only slightly overlap with the Amirican nation of respect” (Hildred Geertz 1961:110). Pengertian aji (hormat) dan ngajeni (menghormati) dalam bahasa Jawa mempunyai makna yang sama dengan pengertian hormat dalam bahasa Inggris respect karena mengenai perasaan bahwa orang yang bersangkutan adalah lebih tinggi derajatnya, mempunyai kewibawaan, dan memang seharusnya dikagumi dan dihormati.29 Unggah ungguh dan penghormatan ini merupakan unsur kebudayaan Jawa.

Jika orang Jawa memahami budayanya, maka akan tercipta sikap positif di antaranya aja dumeh, jangan sombong dan merasa lebih dari yang lain sehingga bersikap sewenang-wenang. Ia menjadi seorang yang santun, andap asor (rendah hati), tidak aji mumpung (memanfaatkan posisi untuk kepentingan pribadi atau kelompok). Bagi orang Jawa segala sesuatu dipikirkan dengan baik, tidak tergesa-gesa dan tidak menempuh jalan pintas, ora grusa-grusu lan nggege mongso. Kontrol sosial tetap dilakukan dengan bingkai mikul duwur mendem jero, melakukan kritik dan pendampingan dengan tetap menjaga kehormatan orang atau masyarakat yang dikritik atau didampingi. Perbaikan selalu dilakukan dengan pelan dan bertahap sehingga tujuan dapat dicapai tanpa mengorbankan harmonitas yang dijunjung tinggi oleh orang Jawa. Menang tanpa ngasorake, mencapai cita-cita tanpa merendahkan dan mengalahkan. Strategi pendidikan dengan pendekatan semuanya menang. Demikian orang Jawa mengkonstruk budayanya yang diwariskan turun-temurun.

Terkait dengan pelanggaran terhadap norma hubungan seksual yang dilakukan oleh anggota DPR dan penyanyi, dan kontraversi poligami yang dilakukan oleh dai atau kiai atau siapa pun juga terlepas dari status sosial politik dan ekonomi. Dalam konteks budaya Jawa harus dilakukan kontrol dan amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi tetap menggunakan bahasa dan tatakrama Jawa yang didasarkan pada niatan mulia dan dengan cara yang baik sehingga yang bersangkutan bisa menjadi baik atau lebih baik tanpa harus meruntuhkan budaya dan saudaranya sendiri. Ekspos secara besar-besaran dan membabi-buta apalagi menghakimi akan berdampak negatif dan jauh dari prinsip edukatif. Setiap keputusan yang diambil oleh individu ada pertimbangan dan latarbelakang historisnya. Klaim dan penghakiman emosional akan meruntuhkan kemanusiaan yang akhir-akhir ini semakin berat untuk ditegakkan.

 

III.    Penutup

Seks bebas memiliki akar sejarah dalam budaya Jawa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kehidupan free sex yang melanda Yogyakarta dan juga kota-kota besar lain di Jawa ditanggapi secara dingin oleh komunitas Jawa termasuk oleh pendidikan yang berbasis keagamaan seperti pesantren dan STAIN. Sikap permisif ini bisa disebabkan oleh budaya Jawa yang akomodatif, tepo sliro dan semacamnya yang dimaknai pasif-statis sehingga berdampak negatif. Semestinya jargon dan ajaran yang sudah menjadi budaya Jawa tersebut dimaknai positif dan progresif sehingga memunculkan sikap hidup yang dinamis.

Dalam konteks bahasa, sebagai unsur budaya Jawa, bahasa Jawa termasuk rumit dan mengenal stratifikasi sosial memuat budaya feodal model Kraton yang dapat memunculkan harmonitas sosial semu.30 Karena ingin menjaga harmoni, konsep amar ma’ruf nahi munkar menjadi kehilangan greget-nya. Bahasa Jawa krama, tidak cocok untuk membuat ketegasan apalagi untuk pertengkaran. Bahasa halus menuntut kehalusan sikap juga. Dalam kerangka menggunakan bahasa lisan dan bahasa tubuh (body language) masyarakat Jawa mengenal istilah dupak dugang, esem mantri, senyum bupati dirasa cukup untuk merespon sesuatu, tetapi bila lurah marah dengan menggunakan suara yang keras.31 Struktur sosial seseorang mempengaruhi penggunaan bahasa, misalnya orang ningrat, pejabat, atau orang berpendidikan dirasa kurang tepat jika menggunakan bahasa yang kasar dan terlalu banyak, sedangkan orang biasa, awam, atau miskin menggunakan bahasa yang kasar dan jorok dianggap biasa dan dimaklumi (salah kaprah).

Memperhatikan aspek kesejarahan dan bahasa Jawa, pemberantasan free sex akan menemukan nilai kejawaannya jika dilakukan dengan pendekatan yang bijaksana, yaitu meletakkan budaya sebagai dasar untuk mengubah dan memperbaiki sehingga tidak terkesan menggurui dan memancing konflik. Untuk itu, diperlukan perencanaan program pembebasan dan pendidikan yang pelaksanaannya melibatkan berbagai komponen dan menggunakan idiom-idiom Jawa yang sudah mereka kenal adiluhung. Jika hal ini dilakukan, maka perbaikan akan diterima dan diakui. Jika dapat memecahkan persoalan atau pertentangan kita secara seksama dan matang, nantinya tidak ada orang yang akan merasa menang atau kalah, tinggi diri, atau rendah hati, “menang tanpo ngasorake” atau menang tanpa sifat merendahkan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Astri S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta, 1979.

 

Abdusshomad, Muhyyidin. 2005. Fiqh Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari. Malang: Pustaka al-Bayan- Nurul-Islam- Kalista.

 

Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa. Jakarta: Pradnya Paramita.

 

Chodjim, Achmad. 2004. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: PT Serambi Ilmu Selekta.

 

Croock-Brauer. 2005. Quantum Love Between Eros and Libido. Yogyakarta: Baca.

 

Fromm, Erich. 2004. The Art of Love (Gaya Seni Bercinta). Ed. A. Setiono Mangoenprasodjo & Dyatmika Wulan Merwati. Yogyakarta: Pradipta Publishing.

 

Hariwijaya. 2004. Seks Jawa Klasik. Yogyakarta: Niagara Pustaka Sufi.

 

Ilyas, Hamim, dkk. 2003. Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis “Misoginis”. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta – The Ford Foundation.

 

Kedaulatan Rakyat, 18 Desember 2006.

 

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Kompas, 7 Oktober 2006. P3M STAIN Purwokerto | Moh. Roqib 15 Ibda` | Vol. 5 | No. 1 | Jan-Jun 2007 | 106-127

 

Lubis, Muchtar. 1988. “Harmonitas Sosial yang Bagaimana?”, dalam Majalah Pesantren No. 4/ Vol. V/ 1988.

 

Perdana, Divana. 2003. Dugem. Yogyakarta: Diva Press.

 

Purwadi dan Djoko Dwiyanto. 2006. Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional. Yogyakarta: Panji Pustaka.

 

Qomar, Mujamil. 2002. NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan.

Reiss, Michael & J. Mark Halstead. 2004. Sex Education. Yogyakarta: Alenia Press.

Susanto, Astri S. 1979. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.

 

Tohari, Ahmad. 1996. Berhala Kontemporer: Renungan Lepas Seputar Agama, Kemanusiaan, dan Budaya Masyarakat Urban. Surabaya: Risalah Gusti.

 

___________. 2001. Belantik: Bekisar Merah II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

___________. 2004. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.