BAB
I
PENDAHULUAN
Ajaran Islam bisa dinyatakan kuat bila ajaran
itu telah mentradisi dan membudaya ditengah-tengah masyarakat Islam. Tradisi
dan Budaya menjadi sangat menentukan dalam kelangsungan syiar Islam ketika
tradisi dan budaya telah menyatu dengan ajaran Islam, karena tradisi dan budaya
merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sementara mengubah tradisi
adalah sesuatu yang sangat sulit. Maka suatu langkah bijak ketika tradisi dan
budaya tidak diposisikan berhadapan dengan ajaran, tetapi justru tradisi dan
budaya sebagai pintu masuk ajaran.
Lepas dari itu , agama adalah mustadim
dan membawa misi memustadimkan sesuatu yang belum mustadim, termasuk
mensakralakan 9tidak diperkenankan seseorang menyentuh) sesuatu nilai tradisi
yang sebenarnya tidak sakral.
Sesuai dengan judul, maka
makalah kali ini akan membahas salah satu tradisi-tradisi Islami yang
telah mentradisi dan membudaya
ditengah-tengah masyarakat Islam yaitu upacara adat 7 bulan kehamilan
(tingkepan) atau sering juga disebut Walimatul Haml.
Manusia yang tak sempurna
pastilah produk-produknya tidak akan sempurna termask penyusun, apalagi
sekapasitas mitsli yang berkedangkalan ilmu. Segala kesalahan dan yang
terlewatkan dalam makalah ini mohon maaf dan semoga dapat diupayakan perbaikan.
BAB II
UPACARA 7 BULAN KEHAMILAN
(MITONI) DALAM PANDANGAN ISLAM
1. Pengertian
Mitoni atau walimatul haml artinya selamatan untuk
wanita hamil. Dalam masyarakat jawa disebut tingkepan. Tingkepan
menurut bahasa berarti upacara selamatan tujuh bulan untuk wanita yang sedang
hamil.[1] Di
daerah Jawa Timur bagian pantura, ada yang menyebut acara walimatul haml
ini dengan “mrocoti” suatu bentuk
tafa’ul, dimana calon bayi yang masih dalam kandungan lahir dengan
selamat, lancar dan tiada halangan apa-apa “langsung procot” langsung
lahir. Procot itu sendiri artinya sudah lahir.
Masalah kehamilan ini mendapat perhatian khusus
dalam agama Islam. Bagi pasangan suami isteri yang baru saja melaksanakan akad
nikah, kehamilan adalah harapan pertama dan utama. Kehamilan menjadi kebanggaan
tersendiri dan menjadi berita gembira dalam setiap keluarga. Semua pasangan
suami istri harapan pertama setelah melangsungkan akad nikah adakah selepasnya
mendapatkan keturunan. Do’a yang dipanjatkan pada saat walimatul ‘urusy
tidak pernah ketinggalan, pasti mendo’akan agar kedua pengantin selekasnya
diberi keturunan.[2]
Kata Md. Ali Al-Hamidy ‘turunan” adalah buah atau
hasil dari pergulatan hidup; tujuan akhir dari bersuami istri; dan dia pula
yang menjadi semarak rumah tangga, kalau disusun dengan peraturan yang
sebaik-baiknya.
Sebagai ungkapan rasa syukur para orang tua yang
dikaruniai anak keturunan, sejak janin masih berada dalam kandungan sudah
dipersiapkan segala sesuatunya demi untuk menyongsong kelahirannya. Segala
perangkat dan perlengkapan disiapkan, setiap waktu do’a dipanjatkan, ungkapan
syukur tiada henti meluncur dari hati sanubari setiap insan. Karena itu, berita
kehamilan dari pasangan suami istri menempati tempat istimewa di tengah-tengah
keluarga dan masyarakat.[3]
2. Tradisi Mitoni
Sebgai ungkapan rasa syukur dalam menyambut berita
kehamilan dari pasangan suami istri, dalam masyarakat jawa terdapat suatu
tradisi berupa ritual yang khusus diperuntukan bagi seorang wanita yang sedang
mengandung yaitu selamatan ngapati (saat kandungan berusia empat bulan),
dan mitoni (pada saat usia kandungan genap enam atau tujuh bulan).
Selamatan ini disebut dengan tingkepan. Ada juga yang menyebut dengan mrocoti,
yang merupakan tafa’ul. Seraya mengharapkan agar janin dalam kandungan dan ibunya sehat, pada saat
kelahirannya lancar, langsung keluar (procot, Jawa) tanpa ada kesulitan
dan halangan apapun.[4]
Orang Jawa menamai usia kehamilan tujuh bulan itu Sapta Kawasa jati. Sapta-tujuh,
kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Artinya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki,
dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir
tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. Namun apabila
pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir maka calon orang tua atau eyangnya akan
membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon
keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan
lancar agar bayi di dalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan seta
keselamatan.
Tradisi Tingkepan ini hanya ada di Indonesia,
khususnya di Jawa. Masyarakat jawa, menurut DR. K. H. Muhammad Ahmad Sahal
Mahfudh, terkenal dengan tradisinya yang beragam, mulai dari yang bersifat
ritual yang berbau mistis sampai yang bersifat seremonial. Kalau dicermati,
tradisi yang ada sekarang itu tidak terbentuk dengan sendirinya. Tradisi di samping
dipengaruhi oleh pola pikir sekarang, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh
generasi pendahulu. Dengan demikian ia selalu menghubungkan pada generasi
pendahulu yang pada saat itu memiliki faham dan agama atau kepercayaan yang
berbeda-beda sehingga tidak semua tradisi sesuai dengan syari’at. Oleh karena
itu, sebagai pewaris tradisi, hendaknya tidak mengadopsinya secara sporadis,
tetapi selalu menimbang atau mengukur terlebih dahulu dengan ukuran syari’at.
Termasuk juga dengan tradisi tingkepan ini, baik dalam acara ritual ngapati
atau mitoni ini.
Pelaksanaan ritual tujuh bulanan ini dihubungkan
dengan proses perkembangan janin yang ada dalam kandungan, di mana manusia
diciptakan oleh Allah dari saripati tanah, kemudian tanah tersebut dijadikan
air mani (sperma) yang ada pada seorang laki-laki, setelah terjadi persemaian
antara sperma (dari seorang laki-laki, dengan induk telur dari seorang
perempuan), maka selanjutnya terjadi pembuahan di dalam rahim seorang
perempuan. Kemudian menjadi janin yang tumbuh berkembang di dalamnya hingga
akhirnya menjadi manusia sempurna. Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman:
“ Dan
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging.
Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maha sucilah Allah, sebaik-baik
Pencipta
(Q. S Al Mu’minun: 12-14)
Proses terjadinya manusia merupakan peristiwa yang sangat
menakjubkan, sebagai tanda keagungan sang pencipta. Bermula dari ujud (benda)
yang tak bernilai (sperma) lalu secara bertahap berubah menjadi janin (embrio),
kemudian tumbuh menjadi segumpal darah hingga menjadi segenggam
daging, selanjutnya tumbuh menjadi tulang belulang yang terbungkus oleh daging,
hingga akhirnya sempurna dan lengkap dengan anggota badan yang tersusun rapi
dan rumit, bahkan dilengkapi dengan akal pikiran, akal budi dan perasaan.
Semua proses tersebut terjadi dengan kuasa Allah SWT,
tanpa kita minta atau kita pesankan sebelumnya. Sebagai ungkapan atas peristiwa yang
menakjubkan itu, ketiga ayat tersebut diakhiri dengan kalimat yang mengagungkan
Allah Ta’ala’
Maha sucilah Allah, sebaik-baik
Pencipta
Mengenai terjadinya janin hingga menjadi manusia yang
sempurna, Rasulullah saw menyatakan proses yang terjadi pada kandungan dalam
rahim, juga ditentukan kepastian (takdir) hidupnya baik yang berkaitan dengan rizki,
masa hidup (ajal) hingga perilakunya nanti di dunia. Semuanya telah ditetapkan
didalam rahim sebelum manusia dilahirkan.
Fase-fase manusia yang paling penting dan genting adalah
tiga hari yaitu saat dilahirkan, saat dicabut nyawanya (meninggal) dan
saat dibangkitkan kembali dari alam kubur. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh
Allah Swt.
Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan
pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari
Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan
hidup kembali".
Oleh karena itu, seyogyanya kita senantiasa
memohon kepada Allah agar diselamatkan dari lirikan dan
sentuhan setan pada hari kelahiran, pada hari kematian supaya selamat dari
tercabut iman dari himpitan kubur dan pada hari kebangkitan supaya selamat dari
siksa dan murka Allah.[5]
3. Pelaksanaan Walimatul Haml
Pelaksanaan walimatul haml dalam tradisi jawa dan
masing-masing daerah tidak sama, waktunya pun berbeda-beda tergantung situasi
dan kondisi kemampuan penyelenggara. Upacara walimatul haml ada yang
dilaksanakan dua kali dan ada yang hanya sekali. Bagi yang melaksanakan dua
kali biasanya dilaksanakan pada bulan keempat (ngapati) dan selanjutnya
pada bulan ketujuh (mitoni).
a. Kehamilan pertama bulan keempat yang
disebut ngapati yaitu membuat selametan beurpa:
-
Nasi
punar yaitu nasi uduk yang dibuat kuning dengan kunyit dengan lauk pauk daging
kerbau, sambal goreng ati, rempela dan jantung.
-
Apem
yaitu kue yang dibuat dari beras ragi dan gula kelapa
-
Ketupat
dengan bentuk kupat sinta, kupat luwar dan kupat jago
Makna selametan tersebut pada dasarnya agar
benih yang dikandung akan tetap sehat dengan mengingatkan wanita yang hamil itu
perlu makan yang bergizi dan perlu minum jamu tradisional.
b. Kehamilan bulan ketujuh
Apabila usia kehamilan telah mencapai usia 7
bulan, upacaranya khusus dengan penuh tata upacara misalnya wanita yang sedang
hamil 7 bulan dimandikan dengan air kembang setaman oleh para sesepuh. Dalam
upacara itu wanita yang hamil berganti-ganti kain batik sampai 7 kali dan
diakhiri dengan kain bermotif sidomuki, sidomulyo atau sidoasih. Kain batik
yang terakhir dngan motif-motif tersebut mempunyai makna agar anak yang
dilahirkan kelak menjadi bahagia. Disamping itu perlu disediakan kelapa gading
muda yang dilukisi wayang Kamajaya dan Ratih, dengan harapan bahwa kelak bila
bayi lahir perempuan seperti Dewi Ratih cantiknya dan bila laki-laki seperti
Hjang Kamajaya bagusnya atau gantengnya.
Mengapa Hyang Kamajaya? Karena Hyang Kamajaya
tidak playboy seperti Harjuna yang istrinya banyak mengapa Dewi Ratih?
Karena Dewi Ratih sangat setia dengan suaminya yaitu Hyang Kamajaya dan tidak
bersedia dimadu seperti Dewi Wara Subadra.[6]
Dalam upacara mitoni atau tingkepan ini disamping
bersedekah juga diisi pembacaan doa dengan harapan si bayi dalam kandungan
diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia.
Dalam hal ini Allah ta’ala berfirman:
Dialah yang
menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan
isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan
(beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri)
bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau
memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang
bersyukur".
Pada hakikatnya kedua bentuk selamatan yang
dikhususkan kepada ibu hamil di atas, baik ngapati atau mitoni
adalah berupa kegiatan sedekah dan do’a dengan harapan agar keinginannya
terkabul, khususnya agar ibu dan janin yang dikandung senantiasa diberi
keselamatan, kesehatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia,
menjadi anak shalih/shalihah.
Mengingat hakikat selamatan adalah sedekah dan
do’a, maka sangat tidak dibenarkan bila seseorang memaksakan untuk menyelenggarakan
selamatan di luar batas kemampuannya apalagi hukum walimah haml ini
tidak wajib mengadakan walimah boleh tidak diadakan, cukup berdo’a sendiri saja
pun tidak masalah. Sekali lagi, jangan memaksakan diri dan walaupun mampu jangan terlalu mewah dan berlebihan.
Hendaknya disadari, bahwa masih ada yang lebih
wajib dan lebih penting dalam urusan anak daripada sekedar melaksanakan walimah
secara berlebih-lebihan dalam kondisi berkemampuan. Allah sangat mengecam sikap
berlebih-lebihan hingga memaksanakan diri dan bersikap boros Allah berfirman:
Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.
Sudah menjadi kebiasaan umum di tengah-tengah
masyarakat adanya kecenderungan membesar-besarkan perkara sunat, atau perkara
mubah tapi menelantarkan perkara yang wajib. Kalau menyelenggarakan selamatan
berlomba-lomba secara besar-besaran tapi untuk menyumbang pembangunan masjid,
musholla, madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan lain-lain berlomba
kecil-kecilan, bahkan saling mengundurkan diri. Sikap semacam iniharus
perlahan-lahan diubah. Marilah kita lakukan suatu amalan secara wajar dan
tempatkan sesuatu pada tempat yang layak pula. Kita utamakan perkara yang
terpenting, baru yang agak penting, dan tinggalkan perkara yag mubadzir.[7]
4. Proses Tahapan Pelaksanaan Mitoni
Tahap pelaksanaannya berurutan bermula dari
siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana, sangat cocok dilaksanakan pada
sore hari, ngiras mandi sore dan dihadiri oleh segenap sanak keluarga, para tetangga
serta handai taulan.
a. Siraman
Siraman artinya mandi. Siraman berarti memandikan.
Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang
dikandung. Lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yadan didekor indah,
disebut krobongan atau bisa juga dilakukan di kamar mandi. Sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu
kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunaa diambil dari tujuh sumber
atau bisa juga dari air berbagai merek, yang ditampung dalam jambangan, yaitu
sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari tarakota atau kuningan dan
ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati kantil serta
kenangan. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang bapak dan ibu
teladan dipilih unutk tugas memandikan, seolah tanpa saingan yang pasti
terpilih adalah calon kakek dan neneknya.
Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting
ataupun gelang akar bahar, dan hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik),
calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita
yang telah ditugasi. Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek,
dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau
mengguyurkan air yang berunga-bunga itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan
gayung yang dibuat dari batok kelapa yang masih ada dagingnya.
Bunga-bunga yang menempel di sekujur badan
dibersihkan dengan air terakhir dari dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting
ke lantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua yang hadir mengamati. Jika cucuk
atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin akan berteriak “Cowok! Laki!!
Jagoan! Harno!” dan komentar-komentar lain yang menggambarkan anaknya nanti
bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berkepin-keping, dipercaya anaknya
nanti bakal cewek.
Acara ini bisa berlangsung sangat meriah. Para
tamu berdesak ingin melihat dan ramai berkomentar, sementara sang MC dengan
bersemangat menyiarkan berita seputar pandangan mata. Siraman selesai, sang
calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan
dengan handuk dan hair dryer supaya tidak perlu kerokan, masuk angin.
b. Brojolan
Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat
longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah, putih dan hitam.
Merah melambangkan kasih sayang calon ibu, puth melambangkan tanggung jawab
calon bapak atau bokap bagi kesejahteraan keluarganya nanti. Warna hitam
melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih
kedua orang tuaya. Tidak ada letrek, janur pun jadi.
Calon nenek memasukkan tropong (alat tenun) ke
dalam lilitan kain jarit kemudian dijatuhkan ke bawah. Ini dimaksudkan sebagai
pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol
lahir dengan lancar. Tidak ada tropong, telur ayam pun jadi.
Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau
meneroboskan dua buah kelapa gading yang telah digambari lewat lilitan kain
jarit yang dikenakan oleh calon ibu. Sepasang kelapa gading tersebut bisa
ditato gambar Kamajaya dan Dewi Ratih. Para selebriti perwayangan tersebut
dikenal berwajah cantik dan ganteng. Harapannya adalah agar anak yang lahir
kelak bisa keren seperti mereka. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah
seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.
Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat
calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan dengan ditutupi
kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga
melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan
dalam kehidupan keluarga.
Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu
kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terelah
menjadi dua, maka hadirin akan berteriak: “Perempuan!” Apabila tidak terbelash,
hadirin boleh berteriak: “laki-laki!” dan apabila kelapa luput dari sabetan,
karena terlanjur menggelinging sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh
diulang.
c. Pemakaian Busana
Selesai brojolan, calon ibu dibimbing ke ruangan
lain untuk dikenai busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sidoluhur,
sidoasih, sidomukti, gondosuli, semenraja, babon angrem dan terakhir kain lurik
motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan
ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu
persatu.
Setiap berganti hingga kain yang keenam, pemandu
akan bertanya kepada hadirin sudah pantas atau belum dan hadirin akan menjawab
serentak: “belum!” ketika kain ke tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain
lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab sudah. Sudah pantas dan selayaknya.
Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk
calon bapak ibunya. Gaya pendudukan seperti ini disebut angreman, bukan
menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami
telurnya.
Sebelum matahari terbenam, sebelum ayam tertidur,
seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan, tuntas, tas.
d. Eyang
Semodern apapun jaman ini nantinya berkembang,
perasaan ketika kita menantikan hadirnya seorang cucu pasti tidak akan berubah.
Rasanya pasti tetap saja mendebarkan. Bagaimaan tidak, karena sebentar lagi,
sepasang papah dan mamah ini akan menjelma menjadi sepasang kakek dan nenek.
Gelar eyang akan segera melekat. Ini artinya kita musti jaga kelakuan, tidak
bisa dan tidak bisa lagi neko-neko dan tidak bisa tidak itu bakal terjadi,
sekitar dua bulan lagi setelah upacara mitoni.
5. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Saat Hamil
Seorang
perempuan yang sedang hamil sebaiknya menjauhi maknan kacang-kacangan, makanan
yang panas, makanan yang rasanya pahit, makanan kelas rendah dan makanan
campur-campur. Makanan yang sangat baik dikonsumsi adalah jambu biji (terutama
di bulan ketiga dan keempat) dan sebagai konsumsi hariann adalah daging ayam,
buah delima, buah apel manis dan lain-lain. Baik juga mengunyah kemenyan Arab
(musthaka atau luban), yang mana denga mengkonsumsi kemenyan Arab ini akan
dapat menambah kecerdasan anak, mempertajam daya ingat, meghilangkan sifat
pelupa dan menghentikan lendir. Sedangkan jambu biji menyebabkan bayi /anak
rupawan (Quran al-Uyun: 42)
Pada
bulan-bulan yang akhir saat menunggu kelahiran – disamping menjaga kesehatan –
sebaiknya senantiasa mengerjakan shalat hajat dan membaca Al-Qur’an, surat
Luqman dan Surat Maryam dan surat-surat yang lain dan memperbanyak do’a berikut:
اُعِيْذُهُ بِا الْوَاحِدِ الصَّمَدِ مِنْ شَرِّ كُلِّ دِيْ
مَسَدِ
Aku memohon perlindungan
untuk kandungan anak ini kepada Allah Yang Maha Esa lagi sebagai tempat meminta
dari kejahatan setiap orang yang dengki.[8]
Menurut Dr.
H. Ali Akbar “Allah menghendaki laki-laki muslim dan perempuan muslimah agar
membentuk keluarga muslim yang akan menghasilkan keturunan-keturunan muslim dan
keturunan-keturunan muslim inilah yang diharapkan akan dapat menghasilkan
keluarga-keluarga dan masyarakat Islam yang berusaha menjamin perdamaian di
dunia ini.
Untuk
mencapai tujuan di atas, Islam menganjurkan menikah dengan perempuan yang
peranak, bukan perempuan yang mandul dan mengajurkan berkeluarga besar, bukan
keluarga kecil. Yang dimaksud dengan keluarga besar di sini adalah keluarga
yang banyak anak, dengan Bapak-Ibu yang sehat mampu pula medidik mereka menjadi
rang-orang Islam yang taat.[9]
6. Hukum Walimatul Haml
Mengenal
hukum ritual yang disebut 7 bulanan atau tingkeban adalah boleh (jawaz). Memang
terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama. Ada yang memperbolehkan dan ada
yang tidak, bahkan ada yang menyatakan sebagai bid’ah aabihah (bid’ah yang
jelek). Bila dalam acara tingkepan hanya diisi dengan kegiatan membaca
Al-Qur’an dan shalawat, ditambah dengan shadaqah dari shohibul baik untuk para
tamu, maka hal itu adalah adat yang baik dan tidak melanggar syariat Islam.
Maka kegiatan semacam itu jelas tidak dilarang. Kalaupun ada yang mengatakan
bid’ah maka hal itu termasuk bid’ah hasanah, dan tidak menjadi alasan terlarangnya
kegiatan itu. Dan bila masih terdapat adat yang menyimpang dari syariat
agama, maka para ulama’ wajib
mengingatkan dan meluruskannya.
Dan
sepanjang pengamatan kami, khususnya di daerah kami sendiri, kegiatan tingkepan
ini pada umumnya hanya diisi dengan kegiatan membaca Al-Qur’an, sholawat dan
do’a bersama serta diakhiri dengan makan bersama. Dengan demikian, maka huum
kegiatan tingkepan yang diisi dengan membaca Al-Qur’an dan shalawat adalah
boleh (jawaz).
Di sini
kami kutipkan pula fatwa dari Prof. K.H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. Imam besar
masjid Istiqlal Jakarta dan Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI pusat, yang juga
memperbolehkannya kata beliau, “Menurut pengamatan kami selama ini ritual
semacam ini berisikan do’a bersama agar anak yang ada di kandungan nanti lahir
dengan selamat, kelak menjadi anak yang shaleh dan bernasib baik, ritual itu
biasanya diakhiri dengan makan bersama, menyedekahkan makanan pada tetangga di
sekitar rumah.”[10]
Ini tentu
dianjurkan agama jika dilihat dari isi dan tujuan ritualnya yang tidak
bertentangan dengan norma dan ajaran Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam menyikapi tradisi
masyarakat seperti ini, seyogyanya kita tidak terlalu gegabah dengan memfonis
bid’ah, tersesat atau lainnya sebelum mengetahui benar substansi perbuatannya
kita telusuri terlebih dahulu bagaimana prosesi kegiatan itu, apa latar
belakang, niat, tujuan dan prosesinya. Dan ternyata kegiatan tingkepan ini
dlakukan dengan niat untuk mengajak berdo’a bersama atau meminta do’a para
hadirin yang diundang.
Setelah ditelusuri dan diamati
secara cermat dan mendalam mulai dari niat, tujuannya, tata cara dan prosesinya
ternyata tidak terdapat hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam. Meskipun
kegiatan semacam ini belum ada di masa Nabi dan sahabat termasuk nama kegiatannya.
Banyak perbuatan yang belum
pernah ada pada zaman Nabi SAW baik nama atau prosesinya, kemudian pada
perkembangannya diadakan oleh para sahabat dan ulama pada generasi berikutnya
seperti shalat tarawih, menjilid Al-Qur’an menjadi satu buku, adzan memakai
pengeras suara dan lain-lain. Termasuk juga kegiatan tingkeban ini walaupun
belum pernah dilakukan Nabi dan para sahabat, sepanjang prosesinya tidak ada
yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak ada larangan untuk
melakukannya, apalagi mencegahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aziz S, Moh. Saifullah. 2009. Kajian
Hukum-hukum Walimah (Selamatan). Surabaya: Terbit Terang.
Chafidh, M. Afnan dan A. Ma’ruf Asrori.
2006. Tradisi Islami Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian. Surabaya:
Khalista.
Pusat Bahasa Depdiknas. 2001. Kamus
Besar Bahasa Indnesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap
dan Mengnal Busaya Jawa. Jakarta:
PT. Pradnya Paramita.
http://debrito.net/isi/mitono-satu-peristiwa-seribu-makna.
diakses 14 Desember 2010.
[1] Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, PN Balai Pustaka, 2001, h. 1198.
[2] Ust. Drs. Moh. Saifulloh Al Aziz , Kajian
Hukum-hukum Walimah (Selamatan), (Surabaya: PT. Terbit Terang, 2009), h.
89.
[3] Ibid, h. 90-92.
[4] Ibid., h. 93
[5] Ibid., hal. 94-98
[6] Thomas Wiyasa Bratawijaya, Mengungkap
dan Mengenal Budaya Jawa, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), Cetakan I,
hal. 117-118
[7] Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz, op.cit.,
hal. 101-102
[8] M. Afnan Chafidh – A. Ma’ruf Asrori, Op.Cit.,
h. 11.
[9] Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz, Op.Cit.,
h. 111.
[10] Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz, Op.Cit.,
h. 114-115.