Showing posts with label Ushul Fiqh. Show all posts
Showing posts with label Ushul Fiqh. Show all posts

November 15, 2022

Pengantar Ushul fiqih

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pengertian fiqih atau ilmu fiqih sangat berkaitan dengan syara’ karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelumnya memberikan penjelasan tentang arti fiqh, terlebih dahulu perlu dijelaskan arti dan hakikat syari’ah.
Fiqh adalah ilmu tentang hukum Allah yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat mamaliyah furu’iyah, pengetahuan tentang hukum Allah itu berdasarkan dalil tafsili, dan fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan ustidlal seorang mujtahid/fiqh.
Pada waktu Nabi Muhamad Saw masih hidup, segala peroalan hukum yang timbul langsung dinyatakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut Hadits atau sunnah.
Kemudian para ulama’ mustahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan azaz dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan bahasa Arab secara baik. Disamping itu, jika memperhatikan jiwa syari’ah dan tujuan Allah yang menetapkan mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah-kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumber itulah yang disebut ushul fiqh.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ushul Fiqh
Kata “Ushul Fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”.
Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi berarti “paham yang mendalam”.
Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat analiah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”.
Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.
Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya.” Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud definitif dari kata shal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”. Dengan demikian “ushul fiqh” secara istilah teknik hukum berarti: “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci’, atau dalam artian sederhana adalah: “Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan, “Mengerjakan shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum syara’”. Tidak pernah tersebut dalam al-Qur’an maupun hadits bahwa shalat itu hukumnya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah perintah mengerjakan shalat yang berbunyi:

Kerjakanlah shalat
Ayat al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut “dalil syara’”.
Yang disebut “dalil syara’” itu ada aturannya dalam bentuk kaidah, umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.
Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seseorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.[1]
Menurut Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, telah mengemukakan definisi Ushul Fiqh yang lengkap, yaitu:
“Ushul fiqh ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum).[2]
Ushul fiqh ialah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat. Perkataan dasar yang dipergunakan dalam perumusan ini bukanlah dasar dalam pengertian benda (seperti dasar kain untuk baju misalnya). Akan tetapi dasar ialah bahan-bahan yang dipergunakan oleh pikiran manusia untuk membuat hukum fiqih, yang menjadi dasarnya, ialah :
-          Al-Qur’an
-          Sunnah Nabi Besar Muhamad Saw (Hadits)
-          Ra’yu atau akal seperti qiyas dan ijma’.[3]

B.  Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh
Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dall syara’ yan terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalilitu. Dengan kaidah-kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.[4]
Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu antara lain:
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama terdahlu, maka bila suatu ketika menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahlu, maka kita akan dapat mencari jawaba hukum terhadap masalah bau itu denga cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahlu itu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hukum angsesuaidengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang menghendakinya.[5] 

C.  Aturan-aturan Ushul fiqh
a.       aliran Jumhur Ulama Ushul Fiqh
aliran ini dikenal juga dengan aliran ayafi’iyah atau aliran Mutakallimin. Disebut aliran Syafi’iyah karena orang paling pertama mewujudkan cara penulisan Usul seperti ini adalah Imam Syafi’i, dan dikenal sebagai aliran Mutakallimin karena para pakar di bidang ini setelah  Imam Syafi’i adalah kalangan Mutakallimin (para ahli lmu kalam), misalnya Imam al-Qadli Abdul Jabbar, dan al-Imam al-Ghazali.
Dalam perkembangannya metode penyusunan Ushul Fiqh aliran ini diikuti oleh kalangan Malikiyah dan Hanabilah. Oleh karena itu, metode ini juga dikenal dengan metode Jumhur ulama Ushul Fiqh. Buku-buku setandar dalam aliran ini yang disusun ketika itu adalah kitab al-Amd oleh Qadi Abdul abbar al-Mu’tazili (w. 415H), kitab al Mu’amad fi Ushul al-Fiqh oleh Abu Husein Al-Bashri al-m’tazili (w. 436 H).


b.      Aliran Fuqaha atau Alira Hanafiyah
Aliran fuqaha, adalah aliran yang dikembangkan oleh kalangan ulama  hanafiyah. Disebut aliran fuqaha (ahli-ahli fikih) karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fikih. Dalam merumuskan kaidah Ushul Fiqh mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fikih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Kitab-kitab standar yang disusun dalam aliran ini adalah periode ini adalah antara lain kitab Ta’sis al-Nazhar oleh Abu Zaid Al-Dabbusi (w.430 H), kitab Ushul al-Bazdawi oleh Ali Ibn Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H).
c.       Aliran yang mnggabngkan antara Dua Aliran diatas
Dalam perkembangan selanjutnya, seperti disebutkan oleh Muhammad Abu Zahrah, muncul aliran ketiga yang dalam penulisan ushul Fiqh menggabungkan antara dua aliran tersebut. Mislanya buku Badi’al-Nizam karya Ahamd bin ‘Ali al-Sa’ati (w. 694 H) ahli Ushul Fiqh al-Bazdawi oleh Ali Ibn Muhammad al-Bazdawi dari aliran Hanafiyah dan al-Ihkam fi ushul al-Ahkam oleh al-Amidi (w. 631 H) dari aliran Syafi’iyah buku Jam’u al-Jawami’ oleh Ibnu al-Sibki (w. 771 H), ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah, dan buku al-Tahrir oleh al-Kamal Ibnu al-Humam (w. 861 H) ahli Usuhul Fiqh dari kalangan Hanafiyah.[6]

D.  Pokok Pembahasan Ushul Fiqh
Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas maka bahasan pokok ushul fiqh itu adalah tentang :
1.      Dalil-dalil atau sumber hukum syara;
2.      Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu
3.      Kaidah-kaidah tentang ushaa dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang mengandungnya
Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemungkinan terjadinya benturan antara  dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang  orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam tentang  orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini  memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid.[7]

E.  Perkembangan Ushul Fiqh
Ushul Fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pad awaktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh datang belakang para sahabat dalam melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun meskipun tidak dirumuskan secara jelas.
Usha istinbath hukum yang dilakukan Ibrahim al-Nakha’i dan ulama Irak lainnya mengarah kepada mengeluarkan ‘illat hukum dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru bermunculan kemudian hari.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa metode yang digunkan dalam merumuskan hukum syara’ semakin memperlihatkan bentuknya. Perbendaan metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiwh. Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiwhnya menggunakan metode tersendiri. Ia menerapkan al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadist nabi, berikutnya fatwasahabat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama  Tabi’in sebagai dalil dengan pertimbangan bahwa  ulama tabi’in itu  berada  dalam satu rangking dengannya. Metodenya  dalam menggunakan qiyas dan istihsan terlihat nyata sekali. Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang hidup  di kalangan penduduk Madinah.
Dalam penggunaan qiyas, ia memberikan persyaratan yang begitu berat. Tetapi di balik itu Imam Malik menggunakan maslahat mursalah sedangkan metode yang dirumuskan Imam Syafi’i itulah yang disebut ushul fiqh.
Dengan mencoba mengembangkan ushul fiqh syafi’i dengan cara antara lain, menyerahkan, memperinci, yang bersifat garis besar. [8]


[1] Amir Syaifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Ciputat: 1997), h. 41
[2] Nazar Bkary, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: 1996)h. 16-17
[3] Syafi’i Karim, Fiqh Ushuk Fiqh, (Jakarta: 1995), h. 20
[4] Amir Syarifudin, op.cit., h. 41
[5] Syafi’i Karim, op.cit., h. 53
[6] Satria Efendi, M. Zein, MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: 2005), h. 23-26
[7] Amir Syarifudin, op.cit., h. 41
[8] Ibid, h. 36

IJMA'





1.      Pengertian Ijma’
a.       Secara etimologi
Secara etimologi ijma اڶاجماع berarti “kesepakatan” atau konsensus. Pengertian ini dijumpai dalam Surat Yusuf 12 : 15, yaitu:
$£Jn=sù (#qç7ydsŒ ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs Îû ÏMt6»uŠxî Éb=ègø:$# 4
Artinya:
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur)”

Pengertian etimologi ijma’ adalah العرم على شئ (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian ini ditemukan dalam Surat Yunus, 10 : 71:
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur
Artinya:
“Bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu”
Perbedaan antara pengertian pertama dan kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.[1]
b.      Secara terminologi
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh dari kaum muslimin pada suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah SAW atas sesuatu hukum syara’ dalam suatu kasus tertentu.[2]
Adapun pengertian ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijma’ sebagai berikut:
1)      Al-Ghazali merumuskan ijma’ dengan:
عِبَارَةٌ عَنِ اتِّفَاقِ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ خَاصَّةً عَلَى أَمْرٍ مِنَاْلاُمُوْرالدِّيْنِيَّةِ.
Artinya: “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.
Meskipun dalam sitilah ini dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas, yait seluruh umat Nabi Muhammad atau umat Islam. Pandangan Imam Al-Ghazali ini mengalami perubahan dan perkambangan di tangan pengikutnya dikemudian hari.
2)      Al-Amidi, yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan ijma’:
Imam Al-Amidi membatasi ijma’ itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi Muhammad, yaitu ornag-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengungkai dan pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam.
3)      Definisi yang berbeda dai beberapa ulama fiqh
Menurut mereka tidak menitik beratkan kata “semua”. Akan tetapi cukup pada suatu kelompok atau beberapa orang saja. Mereka tisak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena menurut mereka kesepakatan kelompok ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri di luar apa yang ditetapkan oleh Qur’an dan sunah. Bagi mereka ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya sunah yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum (terbebas dari dosa).
4)      Al-Nazham (Pemuka kelompok Nazhamiyah, pecahan dari Mu’tazilah)
Mengemukakan rumusan tentang ijma’ yaitu suatu perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah. Maksudnya setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’ah, meskipun ucapan seseorang, walaupun rumusannya tidak sejalan denga arti lughowi  yang mengartikan ijma’ artinya “kesepakatan”.


5)      Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian ahl al sunnah dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf
Konseusus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus. Dari rumusan tersebut jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan. Dan yang sepakat di sini yaitu semua mujtahid muslim, berlaku sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, karena selama Nabi masih hidup, Al-Qur’anlah yang akan menjawab persoalan hukum karena ayat Al-Qur’an kemungkinan masih turun dan Nabi sendiri sebagai tempat bertanya tentang hukum syara’.[3]

2.      Syarat-syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat disimpulkan beberapa persyaratan ijma’. Syarat-syarat terjadinya ijma’ adalah sebagai berikut:
a.       Yang bersepakat adalah para mujtahid
Para ulama berbeda pendapat tentang istilah mujtahid, secara umum mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath hukum dari dalil-dalil syara’.
Dalam kitab jam’li al-wajam’I disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid orang yang faqih. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa mujtahid itu ahlul halli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat al wahid dalam kitab al-isbat. Bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlul halli wa aqdi. Kedua pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu mengistinbath hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (umum) yang belum mencapai derajat mujtahid tidak dapat dikatakan ijma’. Begitu pula penolakan mereka.
b.      Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Apabila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit maka menurut jumhur ulama hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma; itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud dengan kesepakatan dalam ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan. Sebagian ulama lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskiupun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil shahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.
c.       Para mujtahid harus umat Muhammad
Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad adalah orang-orang mukallah dari golongan Ahl-halli wal aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukallaf adalah muslim, berakal dan telah baligh.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad tidak dapat dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat Nabi lain yang berijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
d.      Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi Muhammad masih hidup, karena Nabi Muhammad senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik dan itu dianggap sebagai syariat.
e.       Kesepatakan mereka harus berhubungan dengan syariat
Maksudnya kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariatnya seperti tentnag wajib, sunah, makruh, haram dll.
Hal itu sesuai dengan pendapat Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan pada maslah-masalah agama juga sesuai dengan pendapat al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat, Syafi’udin dalam Qawaidu Ushul, Kamal bin Hamam dalam kitab Tahriri dan lain-lain.

3.      Macam-macam (Tingkatan) Ijma’
a.       Ditinjau dari segi terjadinya dan martabatnya
1)      Ijma’ Sharih/Qauli/Haqiqi
Adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap sesuatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara’ dan kesepakatan ini dinyatakan secara tegas oleh masing-masing mujtahid.
Menurut Abdul Karim Zaidan ijma’ sharih dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu boleh jadi para mujtahid menghadapi sesuatu masalah, lalu asing-masing mereka menyatakan kesepakatan secara bulat.
Mungkin pula bisa terjadi bahwa para mujtahid tersebut dihadapkan dengan sesuatu masalah, kemudian masing-masing mereka terdapat persamannya. Kemungkinan, boleh jadi pula sebagian mujtahid mengeluarkan fatwa dan fatwa ini sampai ke mujtahid yang lain dan mereka menyetujuinya. Atau, dapat pula terjadi seorang mujtahid menetapkan hukum sesuatu masalah dan ketetapan hukum tersebut disepakati oleh mujtahid yang lain secara nyata.
2)      Ijma’ Sukuti
Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereka diam. Tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Ijma’ sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:
a)      Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan
b)      Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya dan biasanya cukup untuk memikirkan permaslaahannya dan biasanya cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
c)      Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permaslahan ijtihadi, yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni.
Tentang permasalahan yang tidak boleh diijtihadi, atau yang bersumber dari dalil-dalil qathi’, apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan lainnya diam, hal itu tidak bisa dikatakan jma’.
Hal ini karena diamnya mereka tidak dapat dikatakan menyepakati melainkan meremehkan pemberi fatwa tersebut karena ilmunya masih dangkal.[4]
b.      Ditinjau dari segi mujtahid yang berijma’
Ditinjau dari segi mujtahid yang berijma’, ijma terbagi atas beberapa macam, yaitu:
1)      Ijma’ Ummat
Yaitu ijma’ yang dimaksud dalam definisi ijma’ tersebut yaitu kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin setelah wafatnya Rasulullah SAW.
2)      Ijma’ sahabat
Yaitu kesepakatan seluruh ulama sahabat terhadap suatu urusan.
3)      Ijma’ Ahli Madinah
Yaitu kesepakatan ulama-ulama penduduk Madinah terhadap suatu masalah. Ijma’ dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
4)      Ijma’ Ahli Kuffah
Yaitu kesepakatan ulama-ulama penduduk Kuffahterhadap suatu masalah. Ijma’ ini dijadikan hujjah oleh Imam Abu Hanifah.
5)      Ijma’ al-Khulafa al-Arba’ah
Yaitu kesepakatan empat khalifah pertama, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Sebagian ulama menganggap ijma’ ini sebagai hujjah.
6)      Ijma’ al-Syaikhan
Yaitu kesepakatan antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Sebagian ulama juga menganggap ijma’ ini sebgai hujjah.
7)      Ijma’ al-Itrah
Yaitu kesepakatan ulama-ulama ahli bait.[5]

4.      Kehujjahan Ijma’
Para ulama memang berbeda pendapat tentang otoritas ijma’ ini. Perbedaan-perbedaan ini lebih banyak dipengaruhi persoalan-persoalan substansi ijma’ dan aspek-aspek internal masing-masing mazhab ushul. Persoalan substansial ijma’ di sini adalah ijma’ itu dalam arti kesepakatan seluruh mujtahid tanpa terkecuali, atau sebagian besar mujtahid saja.
Kemudian persoalan yang menyangkut aspek internal masing-masing mazhab yaitu terkait pada sumber terbentuknya ijma’ dan penerimaan mereka terhadap ijma’ tersebut.
Terhadap substansial ijma’ terdapat tiga persoalah yang menjadi perbedaan di kalangan mazhab ushul, yaitu:
a.       Tentang ukuran dan batasan ijma’
Para ulama ushul berbeda pendapat tentang ukuran jumlah yang disebut ijma’. Diantara ulama yang mengatakan bahwa ijma’ itu tidak perlu adanya kesepakatan seluruh mujtahid, tetapi sudah dipandang cukup jika jumlah mereka sudah mencaai sebanyak tingkat mutawatir. Akan tetapi, sebagian ulama ushul berpendapat bahwa ijma’ itu harus kesepakatan mujtahid, kalau ada yang tidak setuju meskipun sedikit itu harus kesepatakan mujtahid, kalau ada yang tidak setuju meskipun sedikit tidak dapat dikatakan ijma’.



b.      Kemungkinan terjadinya ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakan jumhur ulama berkata ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana.
Menurut Al-Nizam dan golongan Syi’ah, ijma’ itu bisa terjadi dengan mengmukakan beberapa argumentasi, antara lain:
1)      Sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur ulama tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi kriteria.
2)      Ijma’ itu harus bersadarkan pada dalil baik yang zhanni ataupun Qathi’i. apabila berlandaskan pada dalil Qathi tidak diragukan bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’ dan sebaliknya apabila menggunakan dalil Zhanni, dapat dipastikan para ulama akan berbeda pendapatnya dengan kemampuan berfikir dan daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yang menguatkan pendapat mereka. Itulah beberapa alasan terpenting yang dikemukakan oleh mereka yang mengingkari adanya ijma’.
Adapun mereka yang mengakui adanya ijma’ memberikan argumen dengan mengemukakan beberapa contoh, ijma’ yang telah dilakukan oleh para mujtahid dari golongan sahabat, seperti nenek mendapat seperenam dari harta waris, tidak sahnya perempuan muslimin menikah dengan non muslim dan lain-lainnya.
c.       Kehujjahan ijma’ sebagai dalil
Berbagai pandangan yang muncul di kalangan ulama shul baik klasik maupun kontemporer, bahwa ijma’ merupakan salah satu dalul hukum. Akan tetapi, di kalangan ulama ushul timbul perbedaan pendapat tentang hakekat dan kekuatan kehujjahan ijma sebagai dalil hukum baik ijma’ sharih maupun ijma’ sukuti.
1)      Terhadap ijma’ sharih, jumhur ulama sepakat bahwa ia merupakan hujjah qath’i yang wajib diamalkan
Dalam pandangan jumhur ulama, haram hukumnya menyalahi atau menolak ijma’ sharih, sebaliknya bagi al-Nizzam, sebagian khawarij dan syi’ah. Ijma’ sharih tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Mereka mengatakan “Seungguhnya ijma’ bukan hujjah”. Mereka mengingkari dan menolak kehujjahan ijma’.
2)      Terhadap ijma’ sukuti terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh
Pendapat pertama menyatakan bahwa ijma’ sukuti bukan ijma’ apalagi untuk dijadikan hujjah, sekalipun hujjah yang bersifat Zhanni (Imam Syafi’i dan sebagian ulama Malikiyah).
Pendapat kedua mengatakan bahwa ijma’ sukuti adalah hujjah yang qath’i dan tidak boleh ditolak, karena kedudukannya sama dengan ijma’ sharih meskipun kekuatannya sedikit lebih rendah dari ijma’ sharih (sebagian besar pendapat ulama Hanafiyah dan Hanbali)
Pendapat ketiga mengatakan bahwa ijma’ sukuti tidak digolongkan keada ijma tetapi menjadi hujjah yang bersifat Zhanni (pendapat sebagian ulama hanafiyah dan sebagian ulama syafi’iyah).
Menurut al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan syiah, khawarij, dan al-Nizzam dari golongan mu’tazilah.
Al-Hijjab berkata bahwa ijma’ adalah hujjan tanpa harus menanggapi pendapat al-Nizzam, khawarij dan syiah. Menurut syiah baik Zaidiyah maupun Imamiyah sebenarnya menerima ijma sebagai hujjah, tetapi ijma’ yang mereka terima adalah ijma’ dari imam-imam mereka yang dianggap ma’shum (terpelihara) dari kesalahan.[6]

PENUTUP

Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa ijma’ yaitu kesepakatan seluruh dari kaum muslimin pada suatu maslaah setelah wafatnya Rasulullah SAW, atas suatu hukum ysra’ dalam suatu kasus tertentu. Dan ada beberapa macam-macam ijma’.
  1. Dari segi martabat dan terjadinya
1)      Ijma’ sharih/Qauli/Hakiki
2)      Ijma’ Sukuti
  1. Dari segi mujtahid yang berijma’
1)      Ijma’ ummat
2)      Ijma’ sahabat
3)      Ijma’ Ahli Madinah
4)      Ijma’ Ahli Kuffah
5)      Ijma’ al-Khulafa al-Arba’ah
6)      Ijma’ al-Syaikhan
7)      Ijma’ al-Itrah
Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak kesalahan. Untuk itu kami mohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

Dedi Rohayana, Ade.  2005. Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Djazuli, A. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu
Syarifudin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jilid I. Jakarta: PT. Logos Ilmu.


[1] Drs. H. Nasrun Haroen, M.A, Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 51.
[2] Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 73.
[3] Prof. Dr. H. Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jilid I (Jakarta: PT. Logos Ilmu, 2001), h. 112-115.
[4] Ade Dedi Rohayana, M.Ag, Ushul Fiqh, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005), h. 121-125.
[5] Prof. H.A. Djazuli, Op.Cit., h. 75-76.
[6] Ade Dei Rohayana, .Ag, Op.Cit., h. 126-132.

Alquran dan Sunnah Sebagai Sumber Dalil Hukum Syara




 

    Pengertian sumber dan dalil

Sumber adalah rujukan yang pokok dan utama dalam menetapkan hukum Islam yaitu berupa Al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dalil adalah suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang kedudukannya qoth’i (pasti) maupun zhanni (relatif).

Seluruh ulama’ ushul fiqh baik klasik maupun kontemporer sepakat bahwa Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sumber primer hukum Islam.

Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber dalil

-          Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan nama kitab suci Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril, serta diriwayatkan secara mutawattir dan tertulis dalam mushaf.

Cara Al-Qur’an dalam menetapkan hukum

Al-Qur’an diturunkan untuk memperbaiki sikap hidup manusia karena itu Al-Qur’an berisi perintah-perintah dan larangan-larangan. Al-Qur’an memerintahkan yang baik dan melarang yang keji yang selalu berpedoman pada tiga hal, yaitu:

a.       Tidak memberatkan atau menyusahkan

b.      Tidak memperbanyak beban datau tuntutan

c.       Berangsur-angsur dalam mensyariatkan sesuatu.

-          As-Sunnah

Pengertian As-Sunnah

Menurut ulama’ ushul fiqh, sunnah diartikan sebagai semua yang lahir dari Nabi Muhammad, selain Al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan. Sunnah dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a.       Sunnah qauliyah

b.      Sunnah fi’liyah

c.       Sunnah tagfiriyah

As-Sunnah jalan memahami Al-Qur’an

Ahmad menegaskan bahwa mencari ilmu dari dalam Al-Qur’an adalah dengan melalui jalan As-Sunnah dan mencari agama ini adalah dengan jalan as-Sunnah pula. Jalan yang sudah dibentang untuk memperoleh fiqh Islam dan undang-undangnya dengan benar ialah jalan As-Sunnah. Mereka yang hanya memahamkan Al-Qur’an dalam penjelasannya tanpa memahami as-Sunnah, begitu pula dalam mengetahui syariat-syariat Al-Qur’an, akan sesat tidak mengetahui dan kita tidak sampai pada kebenaran.

 

-          Dalil Kulli dan Dalil Juz’i

Para ulama’ membagi dalil syar’i pada dua bagian, yaitu:

1.      Dalil Juz’I (Tafsili) dali yang menunjukkan kepada suatu hukum berupa al-Kitab, al-Qiyas dan Al-Ijma’.

2.      Dalil Kulli yaitu dalil yang masing-masing menunjukkan kepada banyak satuannya, bersifat keseluruhan, dapat juga berupa Al-Qur’an dan al-Hadits.

-          Dalil Qoth’i dan dalil Dhanni

Yang mana Al-qur’an diturunkan secara mutawatir dari segi turunnya berkualitas qoth’i  (pasti benar), akan tetapi hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an adakalanya bersifat qoth’i adakalanya bersifat dhanni (relatif benar).

Suatu dalil yang diyakini datangnya dari syara’ yaitu ayat-ayat Al-Qur’an hadits mutawatir atau hadits mashur dinamakan dalil qoth’i.

Pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya, misalnya ayat-ayat yang mengandung tentang waris, hadud dan kafarat. Sedangkan dalil yang datangnya dari syara’ kepada kita dengan jalan yang tidak mutawatir dan tidak pula masykur disebut dalil dzanni.